"Mulai sekarang, kau bekerja sebagai istriku," tegas Gyan Adriansyah kepada istrinya, Jasmine.
Nasib sial tengah menimpa sang gadis cantik yang terkenal sebagai bunga desa. Mulai dari beredarnya video syur yang menampilkan siluet mirip dirinya dengan calon tunangan. Terungkapnya perselingkuhan, hingga dijadikan tumbal untuk menanggung hutang ayahnya pada pria tua.
Namun, ditengah peliknya masalah yang terjadi. Takdir kembali mempertemukan dirinya dengan musuh bebuyutannya semasa kecil dengan menawarkan pernikahan kontrak. Jasmine tak punya pilihan yang lebih baik daripada harus menikahi pria tua.
Akan seperti apakah pernikahan mereka? Gyan yang ia kenal dulu telah berubah drastis. Ditambah lagi harus menghadapi ibu mertua yang sangat membencinya sejak lama.
Yuk simak keseruan ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CatVelvet, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Pertemuan penting
“Akh, aku lupa ternyata disini masih ada sekretarisku,” ucap Gyan sambil cengengesan meledeknya. “Habisnya, kau seperti makhluk tak kasat mata. Kadang-kadang tidak terlihat meskipun ada.“
Fero tersenyum dan menjawabnya. “Ya, karena anda sedang dibutakan oleh cinta. Saya rasa hal itu juga mempengaruhi penglihatan anda sampai-sampai tak melihat ada orang disekitar anda,” jawab Fero menohok.
Cinta buta katanya??
Gyan tertawa cukup sinis. “Hahaha… apa maksudmu mataku juga ikut buta?“
“Ehm… mungkin.“
“Pfftt..“ percakapan mereka menggelitik Jasmine hingga ia hampir tertawa.
Mendengar Jasmine yang menahan tawa membuat Fero juga ingin menahan tawa. Gyan mengernyitkan dahinya dan menatap tajam secara bergantian.
“Kenapa tertawa? Apa itu lucu?“ tanya Gyan.
Jasmine berusaha mengulum bibirnya. “Ah… ya... sedikit. ma-maksudku sekretaris mu,” jawab Jasmine beralasan.
“Fero? lucu??“
“Iya, dia lucu. Memangnya kenapa? Ini kan, pendapatku.“
“Hah…” Gyan menghela napas. “Ya sudah terserah. Oh ya, Fer. Tolong handle dulu pekerjaanku untuk hari ini. Dan jangan lupa pesanku soal desainnya. Kali ini jangan ada kesalahan lagi.“
“Baik.“
“Aku akan pergi dulu bersama…” Gyan menatap Jasmine dalam-dalam. “Calon istriku,” sambungnya seraya menggandeng tangannya untuk meninggalkan ruangan itu.
Jasmine sempat pamit dengan Fero melalui anggukan kepalanya dan senyum tipis. Sepanjang mereka melangkah menyusuri lorong hingga sampai di lobby lantai 1. Semua para staf-nya menyapa bos mereka dengan sangat hormat. Gyan membalasnya dengan senyum tipis namun terlihat berwibawa.
Melihat hal itu, tiba-tiba saja muncul rasa minder dari hati kecil Jasmine. Bocah yang dulunya lemah dan cengeng sekarang bisa sesukses ini. Ditambah perubahan fisiknya yang signifikan. Berbanding terbalik dengan yang dulunya gempal dan pendek. Kira-kira apa yang dia makan sampai bisa tumbuh tinggi seperti ini? Pikir Jasmine.
Ditambah pesona parasnya yang…
Eh? Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya?
Dia memang tampan. Tak heran jika dia akan menjadi banyak incaran para wanita. Tampan dan sukses. Sungguh laki-laki idaman. Pasti banyak staf perempuan yang mengaguminya. Dengar-dengar dari cerita kakek, selain dia pandai mengelola hotel. Dia juga sangat mensejahterakan para karyawannya. Tak ada sebutan anak emas. Dia memperlakukan semuanya sama rata dengan baik dan adil asalkan bekerja dengan sungguh-sungguh.
Sangat menyilaukan… dia seakan bersinar terlalu terang… sedangkan aku, dengan kehidupanku yang menyedihkan ini? Yang suram ini? Masih jauh dari kata sukses. Ku akui dia memang hebat.
Mereka sampai diparkiran mobil. Gyan membukakan pintu untuknya layaknya seorang tuan putri. Gyan mulai menyalakan mesin. Saat dalam perjalanan pun Jasmine masih tetap diam-diam melirik dengan tatapan menyelidik pria di sebelahnya.
“Pandang aku secara terang-terangan. Kenapa harus diam-diam?“
Jasmine terkejut dan langsung memalingkan wajah. 'Eh?? Kok dia tau? Apa jangan-jangan dia bisa baca pikiran orang?? Gawat!' Batin Jasmine dalam hati.
“Ish, percaya diri sekali!“ hardik Jasmine mengelak.
Gyan tersenyum simpul. Beberapa saat yang lalu ketika meninggalkan ruangan kerjanya. Sepanjang menyusuri koridor sampai lobby. Jasmine tak menyadari bahwa Gyan bisa tau saat tanpa sengaja melihat bayangan mereka melalui pantulan cermin hiasan dinding serta pantulan dinding lift. Gyan bisa menangkap bayangan mata gadis itu yang kedapatan memperhatikannya selama beberapa kali. Apa yang dipikirkan gadis itu tentang dirinya? Gyan sedikit penasaran.
Gyan melonggarkan sedikit dasinya. Suasana terasa hening didalam mobil. Jasmine mulai penasaran kemana mereka akan pergi. Jasmine hanya diminta untuk ke kantornya saja. Tetapi pria itu tak memberitahu dirinya bahwa akan membawanya pergi ke suatu tempat.
“Kita mau kemana?“
“Ke sebuah tempat yang menyenangkan.“
“Tepatnya?“
“Sebuah desa. Desa yang berada cukup jauh dari kota. Tempatnya sejuk dan ada tempat makan yang sangat enak. Kau pasti suka.“
Mendengar kata 'desa' sudah cukup membuat mood-nya menjadi lebih baik. Membayangkan pemandangan hijau yang asri. Hamparan sawah dan kebun. Serta udara bersih yang menyegarkan. Pasti akan membuat dirinya merasa lebih fresh.
Sepertinya hidup di kota tak cocok baginya. Akan tetapi hidup di desa kelahirannya juga seakan tak lagi menjadi tempat yang nyaman untuknya. Para warga yang masih berspekulasi bahwa dirinya bukan wanita baik-baik masih hangat diperbincangkan. Mereka tak henti-henti menggunjing keluarganya. Padahal jelas-jelas sudah ada bukti bahwa gadis itu bukanlah dirinya. Hal ini membuat Jasmine merasa sedih dan kecewa.
Gyan sempat melirik ekspresi wajah gadis disebelahnya yang tadinya sempat tersenyum senang, kemudian berubah menjadi agak muram. Namun Gyan tetap diam tanpa berkomentar apapun.
Akhirnya sampailah pada tempat tujuan itu. Dimana mereka memasuki pedesaan dan parkir di sebuah rumah makan lesehan dengan gazebo yang berada di tengah-tengah sawah. Cuacanya sangat cerah. Hawanya tak terasa panas meski terik matahari bersinar terang. Pemandangan hijaunya begitu indah dengan hamparan sawah dan padi yang baru tumbuh. Ditambah pemandangan berbagai macam bunga disekitar rumah makan itu. Bunga yang cantik dan juga terawat. Udaranya sejuk. Ini adalah rumah makan seafood. Makanan kesukaan Jasmine.
Gyan masih bisa mengingatnya dengan jelas beberapa tahun lalu saat berkunjung ke rumahnya dengan dibonceng oleh kakeknya. Gadis ini tampak sangat bahagia saat dulunya Kakek Haris memasakkan seafood untuk cucunya tersayang ini. Kakek Haris bahkan rela merogoh kocek yang tak sedikit untuk membeli berbagai macam seafood. Seperti ikan kakap, cumi-cumi, kerang, gurita dan masih banyak lainnya. Gadis itu makan dengan lahap seakan enggan berbagi dengan dirinya.
“Suka?“ tanya Gyan menatap wajah sumringah gadis yang digandengnya.
“Tentu saja suka! Aku sangat menyukainya!“ Jasmine menjawab dengan semangat seraya membalas tatapan Gyan dengan wajah ceria.
Menatap wajah antusiasme Jasmine, membuatnya ikut senang dan merasa puas. Tidak sia-sia rasanya mencari tempat sebaik ini agar bisa menghabiskan waktu berdua. Dan senyuman gadis itu… seolah perlahan mampu menghangatkan perasaannya yang selama ini hampa. Tapi entah kenapa hanya dia yang mampu membuat perasaannya terasa lebih berwarna seperti ini? Gyan berfikir, apakah mungkin karena Jasmine adalah satu-satunya teman masa kecil yang menerima dirinya apa adanya. Dan tulus mau berteman dengan dirinya walau agak menyebalkan.
Berbeda sekali dengan teman-teman masa kecilnya dulu disekolah. Jika bukan karena dia adalah murid terkaya dan pintar. Mana mungkin teman-temannya mau berteman dengannya. Percakapan menyakitkan itu pernah ia dengar tanpa sengaja saat berada di toilet sekolah. Teman-teman dekat yang selama ini dianggapnya baik ternyata memiliki wajah asli yang mengerikan. Mengaku sebagai teman baik, namun nyatanya justru menjelek-jelekkan dibelakangnya. Bukankah sifat seperti itu hanya dimiliki oleh seorang pecundang? Bahkan mereka sampai mengatakan muak berteman dengan dirinya. Salah satu alasannya adalah karena selalu mendapat pujian dari guru.
Gyan memesan banyak menu kesukaan Jasmine yang masih ia ingat dengan jelas. Tapi saat menatap Jasmine, sepertinya gadis itu sudah tak berminat lagi curi-curi pandang padanya. Pandangannya hanya tertuju pada bunga-bunga disekitar rumah makan itu. Bahkan ada tempat khusus disebelah rumah makan itu yang menawarkan berbagai macam bunga koleksi mereka. Matanya selalu melirik kearah sana. Gyan menoleh sejenak. Dia teringat dengan area halaman rumah Jasmine yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang cantik.
Tak berselang lama. Pesanan mereka pun tiba. Jasmine menatap satu-persatu hidangan yang yang diletakkan di atas meja. Sungguh mencengangkan. Berbagai pesanan makanan laut yang melimpah. Seperti ikan kakap bakar, cumi pedas, aneka Seafood dengan saus Padang termasuk kepiting jumbo dan lobster ukuran besar yang dihidangkan memenuhi meja. Dan ada beberapa menu sayuran sebagai pelengkap. Jasmine sampai menganga melihatnya. Ia menelan ludahnya terkagum-kagum. Rasanya tak sabar untuk segera mencicipi.
“Sepertinya sesuai dengan seleramu,” tebak Gyan dengan tepat.
Jasmine baru sadar akan sesuatu. Dia kok… bisa tahu betul makanan kesukaanku? Apa ini cuma kebetulan??
“Ehm…” Jasmine berdeham dengan agak gengsi. “Kebetulan ini adalah makanan kesukaanku. Terimakasih.“
Gyan tersenyum simpul. “Kalau begitu makanlah sepuasmu.“
Serius?! Wahhh… senangnya!! Batin Jasmine kegirangan namun tetap menjaga ekspresi gengsinya.
Jasmine mengupas kulit udang. Dan meletakkannya dipiring Gyan sambil tersenyum sumringah.
“Sebagai tanda terimakasih,” ucapnya.
Namun Gyan meletakkan udang itu kembali pada piring Jasmine. Senyuman gadis itu memudar bersama dengan tanda tanya di benaknya.
Jasmine, sepertinya kau lupa. Batin Gyan.
“Aku alergi udang, lobster, kepiting dan kerang. Jadi aku hanya akan makan ikan. Aku memesan seafood hanya untukmu. Jadi kau saja yang habiskan semuanya.“
Jasmine sempat terkejut dan terdiam menatap Gyan yang mulai mencicipi rasa ikannya dengan garpu. Kebaikan pria itu serta ingatan tentang makanan kesukaannya membuatnya agak malu. Karena dirinya samasekali tak mengingat banyak soal pria dihadapannya.
“Kenapa bengong?“ tanya Gyan memecah lamunannya.
Jasmine menggelengkan kepalanya. “Aah nggak apa-apa,“ Jasmine kembali melanjutkan mencicipi hidangan lezat dihadapannya.
Gyan menatap rambut panjang Jasmine yang terurai begitu saja. Nampaknya gadis itu lupa untuk mengikatnya hingga merasa cukup risih saat menyantap makanan. Namun karena antusiasme serta tangannya yang terlanjur terkena saus dari makanan yang sedang ia kupas kulitnya. Sepertinya ia tak peduli seberapa mengganggunya rambut yang terurai itu.
“Dimana ikat rambutmu?“
“Ada di tas. Kenapa?“
“Ck!“ Gyan berdecak sambil pindah posisi mengambil ikat rambut di tas Jasmine.
“Kau mau apa?“
“Mengikat rambutmu.“
“Eh?? Nggak usah!“ tolak Jasmine.
“Sudah diam,” Gyan menemukan tali rambut itu dan mengikatnya perlahan. Meski caranya agak kaku namun ia berusaha mengikatnya. Walau agak berantakan sedikit, tapi setidaknya itu jauh lebih baik.
Jasmine merasa gugup saat Gyan tak sengaja menyentuh tengkuknya. Kenapa pria yang dulunya sering ia usili, sekarang berubah menjadi sebaik ini?
“Sudah. Lanjutkan makannya. Lain kali, jangan diurai kalau mau menyantap makanan. Itu akan sangat mengganggu!” ucapnya mengomel dengan kesal.
“Iya,” Jasmine tertunduk malu. Ada debaran yang muncul dari dalam hatinya.
Apa Rendy dulunya pernah bersikap seperti ini? Dia bahkan selalu bilang, bahwa jangan pernah mengikat rambutku. Biarkan terurai begitu saja karena terlihat lebih cantik. Bahkan saat makan, meski aku sedikit terganggu. Akan tetapi dia tak membiarkanku untuk mengikatnya.
Jika dia benar-benar menyayangiku. Bukankah dia seharusnya tau cara memikirkan apa yang membuatku merasa nyaman?
Ataukah sebenarnya saat itu… karena dia tak mencintaiku makannya dia acuh soal kenyamananku?
Entahlah… pengkhianatan ini membuatku benar-benar marah dan tak bisa mempercayai apapun tentangnya lagi.
***