~Menikah karena cinta itu indah. Tapi bagaimana jika menikah karena wasiat?~
Raga Putra Mahesa tak pernah menyangka, amanat terakhir dari almarhum ayahnya akan menuntunnya ke pelaminan—bukan dengan wanita pilihannya, melainkan dengan Miky Cahya Murni. Gadis 19 tahun yang terlalu cerewet, terlalu polos, dan terlalu jauh dari bayangannya tentang seorang istri.
Apalagi … dia masih belum selesai berduka. Masih hidup dalam bayang-bayang mendiang istrinya yang sempurna.
Miky tahu, sejak awal dia bukan pilihan. Dia hanya gadis culun dengan suara cempreng, langkah kikuk, dan hati yang terlalu mudah jatuh cinta pada sosok lelaki dingin yang tak pernah memberinya tempat.
“Dia mencintai mendiang istrinya. Aku hanya bayang-bayang.” – Miky
“Menikahimu adalah kesialan bagi saya!” – Raga.
Di tengah usaha Miky dalam mengejar cinta Raga, sebuah rahasia terungkap. Rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Raga.
Mampukah Miky bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Atau akankah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kacan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan
Seketika tangan Raga terangkat. Miky reflek memejam, tubuhnya menegang. Tapi ... tamparan itu tak pernah datang.
Sebaliknya tangan besar itu mendarat di dagunya dengan kasar, mengangkat wajah Miky paksa hingga mereka bertatap mata.
Miky menahan napas, matanya bergerak gamang saat mata tak berkedip milik pria itu menyorot padanya.
Raga mengangkat kedua alisnya. "Saya terlalu banyak bicara hari ini," bisik Raga dingin, napasnya menyentuh kulit Miky seperti racun.
Miky tetap diam, ia menunggu kelanjutan dari apa yang akan diucapkan oleh suaminya.
"Dengar Miky, ketika dirimu sekarat saya tak akan mengulurkan tangan, kalau dirimu mati pun saya akan tetap mengenakan cincin ini, yang ini." Ia mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cicin lama yang bersanding dengan cicin pernikahan mereka.
Miky terdiam tapi senyum lirih menghiasi bibirnya. Dengan ringan ia menyingkirkan tangan Raga dari dagunya.
"Mas, kalau Miky bisa muter waktu, Miky akan tetap memilih Mas ganteng sebagai suami Miky," ucap Miky seraya menarik kedua sudut bibirnya, ia tersenyum dengan tulus.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Miky mengambil celah untuk segera pergi. Ia meninggalkan Raga yang tampak terdiam.
***
Keesokan paginya, Miky duduk santai bersama Fika di atas sofa gantung yang berada di dekat kolam renang.
Hari Sabtu menjadikan Miky dan Fika bermalas-malasan. Dua perempuan beda generasi itu tengah asik memakan buah potong yang terdiri dari apel, pir dan juga strawberry.
"Mimi, Fika ceneng banget deh cekalang cudah tidak kecepian lagi, telus bica celita-celita cama Mimi," ungkap Fika dengan mulut penuh.
Miky yang tengah asik mengunyah buah potong sambil memandangi kolam renang sontak menoleh, ia menatap gemas pada pipi Fika yang menggembung.
"Uhhh kamu ini suka banget bikin Mimi gemas." Miky menjawil hidung anaknya seraya menahan geram.
Mata bulat Fika menatap Miky berbinar-binar. "Fika pingin bobok cama Mimi, dipeyuk Mimi cambil dicelitain dongeng kancil, teyus badan Fika dicayang-cayang begini, Mi." Suara Fika dengan menggebu-gebu sambil mempraktekkan apa yang ia katakan.
Miky terkikik geli saat tangan gembul Fika mengusap-usap punggungnya.
Hati Miky menghangat, ia seperti mendapat sahabat baru dalam hidupnya. Fika masih kecil, tapi bisa menjadi pelipur lara hatinya.
"Tempat bobok Mimi sempit dan panas, Sayang. Jadi enggak bisa deh Mimi bobok sama Fika," ucap Miky, raut wajahnya berubah murung.
Sontak Fika mengangkat tangan gembulnya, menyatukan telapak tangannya ke pipi sang mimi.
"No no no cedih-cedih, Mi. Fika tidak cuka lihat Mimi cedih." Garis-garis di dahi Fika tampak jelas, seolah anak itu tengah berpikir keras. "Mimi bobok cama Fika caja, Kamal Fika ada AC-nya loh, dingin cepelti di kulkas," bujuk rayu Fika dengan mata berbinar-binar dan suara menggebu-gebu.
Miky yang tadinya tampak murung, sontak mengulum bibir—menahan tawa melihat tingkah lucu Fika. Anak gembul ini memang pandai sekali bicara walau masih cadel.
"Mimi enggak bisa ke lantai 2, Sayang," ujar Miky sambil mengusap kepala Fika dengan sayang.
Mendengar hal itu, membuat mata Fika memicing sambil bersedekap dada yang mama membuat perut buncitnya makin terekspos.
"Papi! Cini Papi, Fika mau bicala," pekik Fika kencang kala melihat Raga melintas.
Sontak kepala Raga menoleh, ia mengernyitkan dahi namun kakinya melangkah mendekat ke sang anak.
Miky ikut menoleh, menatap kedatangan Raga dengan mata tak berkedip.
Sedang tatapan Raga hanya tertuju pada anaknya, seakan Miky adalah makhluk tak kasat mata.
"Ada apa hmm?" Raga berjongkok di depan sang anak, mengulurkan tangan—mengusap pipi gembul bocah berumur 4 tahun itu.
Fika menarik kedua sudut bibirnya, menunjukkan giginya yang berderet rapi. "Papi, Fika mau bobok cama Papi dan Mimi nanti malam, boleh ya, Pi. Boleh ya. Fika pengen dicayang-cayang cambil dipeluk. Nanti Papi bobok di cini." Tangan Fika bergerak ke kanan, "telus Mimi boboknya di cini," lanjutnya sambil menggerakkan tangan ke kiri. "Telus, Fika boboknya di cini," terang Fika menunjukkan posisi di tengah-tengah sambil membayangkan ranjangnya dipenuhi oleh papi-mimi-nya.
Raga masih berjongkok tegak di depan sofa gantung saat Fika melontarkan keinginannya. Seketika itu juga sorot mata Raga menajam, menusuk lurus ke arah Miky.
Pandangan penuh tuduhan itu membuat tenggorokan Miky tercekat. Ia sudah hafal setiap gurat kebencian yang tercetak jelas di wajah pria itu.
"Jangan pengaruhi anak saya," desis Raga pelan namun mematikan.
Miky menggeleng cepat. "Miky enggak ngajarin Fika apa-apa, suer deh," jelas Miky sambil mengangkat dua jarinya.
Raga berdiri, ia bergeser pada Miky lalu membungkukkan badan untuk membisikan sesuatu.
"Kamu manfaatin anak saya untuk tidur bertiga seperti keluarga normal?" tuduh Raga, jelas sekali suara gemeletuk gigi yang beradu dari pria itu.
Fika yang tadinya tersenyum, berubah sedih seketika saat melihat wajah papinya yang tampak marah.
"Papi, jangan malah-malah cama Mimi, kacihan Mimi-nya Fika nanti jadi cedih, Fika cedih lihat Mimi cedih." Tiba-tiba saja Fika sudah menangis kencang sambil mendekap pinggang ramping mimi-nya.
Ucapan yang diiringi suara tangisan Fika membuat Raga menegang. Ia menghela napas kasar, lalu menatap Miky seolah wanita itu adalah biang masalah.
Kemudian, Raga kembali pada anaknya. Diraihnya tubuh sang anak, lalu digendongnya dengan susah payah karena Fika melakukan perlawanan. Anak itu mengulurkan tangan dengan tubuh menegang—meminta bantuan Miky.
"Fika jangan nangis, Sayang." Miky berdiri, ia mengulurkan tangan hendak mengambil alih Fika. Namun, tatapan tajam Raga menghentikan gerakannya.
"Kita tidur bersama nanti malam," ucap Raga tiba-tiba.
Seketika itu juga suara tangis Fika berhenti. "Benelan, Pi?" tanyanya sambil menatap papinya dengan mata berbinar-binar, padahal beberapa detik yang lalu ia menangis histeris.
Kepala Raga mengganguk, membuat Fika bersorak seketika.
Miky yang melihat hal itu diam-diam tersenyum. Ah, ia jadi kangen ayahnya.
"Papi mau berangkat ke resto, Fika di rumah sama bibi Yeyen ya."
Fika menggeleng kuat. "Fika mau cama Mimi, Fika boleh kan Pi main di kamalnya Mimi?"
Raga menarik napas panjang, kemudian menoleh ke arah Miky. "Di kamar tamu deretan ketiga," tutur Raga. Tidak mungkin ia membiarkan Fika bermain di ruang sumpek, sempit dan di atas ranjang kecil.
Wajah Miky berubah kaget, ia bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Apalagi saat tiba-tiba Raga menyodorkan Fika ke padanya. Ya, walau itu atas desakan dari Fika.
"Jaga anak saya, jangan sampai anak saya terluka!" ucap Raga penuh peringatan.
Kepala Miky mengangguk mantap. "Hati-hati ya, Mas. Semangat kerjanya."
Raga mendengus tapi walau begitu ia tidak mengeluarkan kalimat mematikannya karena saat ini ada Fika di antara mereka.
***
Malam di kamar ruang tamu terasa sunyi. Miky merasa nyaman di sini dengan ranjang empuk, luas, kamar ber-AC serta kelengkapan lain yang membuat Miky merasa lebih hidup.
Fika sudah tertidur di tengah-tengah Miky dan Raga, tangan gembul milik anak itu tak hentinya melepas dekapan lengan Miky.
Miky berbaring diam, memandangi langit-langit kamar. Sesekali ia melirik ke arah Fika yang asik memeluk lengannya.
Entah mengapa, sebuah pertanyaan mengganggu pikirannya. Dan untuk mendapatkan sebuah jawaban akhirnya ia melirik Raga sejenak.
Rupanya pria itu masih terjaga dengan posisi berbaring terlentang.
"Mas," panggil Miky pelan.
Raga tak merespon.
Miky mencebikkan bibir, namun tak urung ia tetap melanjutkan apa yang dirinya ingin tanyakan.
"Emmm kalau ... kalau Miky hamil setelah malam itu, Mas mau gimana?"
Keheningan tercipta, Raga perlahan menoleh. Matanya menatap Miky dengan sangat tajam.
"Hamil?" Suaranya dingin. "Kalau kamu hamil, kamu urus sendiri, jangan harap saya mau mengakui anak itu."
Deg!
Miky tersentak mendapat jawaban dari mulut suaminya, detik itu darahnya seakan berhenti mengalir.
Susah payah Miky menggerakkan bibirnya. "J-jadi kalau memang terjadi, anak itu nggak ada artinya buat, Mas?"
Raga mendekat, membungkuk dengan mata menohok ke matanya.
"Selamanya anak saya hanya satu, hanya Fika!"
Tangan Miky bergerak meremas ujung selimut melampiaskan rasa sakit di hatinya.
Miky terdiam.
Kata-kata itu menancap kuat di hatinya, mengalahkan pisau bermata tajam.
Tiba-tiba Fika menggeliat kecil, menggumam dalam tidur, sontak saja Miky langsung merengkuh tubuh anak itu ke dalam pelukannya.
Miky menarik napas perlahan, namun belum sempat membuangnya dengan pelan suara Raga lebih dulu mengusik perasaannya.
"Kalau kamu benar-benar hamil, jangan harap saya izinkan anak itu lahir!"
Bersambung ....
Hari-hari denger ucapan jahat Raga, apa nggak sumpek itu telinga Miky?
Jangan lupa angkat jempole ya zeyeng🤭🤭🤭🤭 Oh iya buat readers yang terpilih jangan lupa follow Othor biar bisa Othor chat🤗 ada pulsa 10k 🤭🤭🤭
jedeeerrrrrr
sambungin lagu thor
zigizaga zigi to zaga zigzig to zagzag
welcome to our family