"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Lima Belas
"Pak Arka?"
Suara Pak Denny, sang manajer divisi pemasaran, terdengar untuk ketiga kalinya. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Arka, tak berani memotong lamunan pria itu secara tiba-tiba.
"Maaf, tapi rapatnya sudah dimulai, Pak. Kami menunggu pendapat Anda soal laporan semester ini."
Namun Arka tak bergeming. Matanya masih terpaku pada sosok Raya di luar ruangan, yang kini tertawa kecil bersama pria bernama Keenan. Tawa yang entah kenapa terasa terlalu renyah di telinganya.
"Pak Arka?" ulang Pak Denny lagi, kali ini sedikit lebih keras tapi tetap menjaga sopan santun. "Apakah Anda mendengar saya?"
Akhirnya, Arka mengalihkan pandangannya perlahan. Ia menoleh, menatap Pak Denny tanpa benar-benar fokus. "Hm?"
"Rapat, Pak. Anda diminta menanggapi presentasi terakhir."
"Oh," gumam Arka singkat. Ia mengangguk, namun jelas pikirannya masih melayang. Tangannya kini menyentuh layar tablet di hadapannya, tetapi tidak benar-benar membacanya. Kata-kata yang dibacakan Pak Denny hanya terdengar seperti dengung samar di telinganya.
Arka mencoba untuk duduk, membuka file yang dikirim oleh tim, namun sesekali matanya tetap melirik ke luar jendela kaca yang membatasi ruang itu. Sorot matanya gelap, dalam, seakan menyimpan badai yang siap meledak kapan saja.
Dan tanpa suara, satu hal memenuhi isi kepalanya:
Apa hubunganmu dengan pria itu, Raya?
*
Jam pulang kerja membuat lobi kantor mulai dipenuhi oleh karyawan yang berlalu-lalang, sebagian mengobrol ringan sambil menunggu lift, sebagian lagi langsung bergegas keluar menuju halte atau tempat parkir.
Di antara keramaian itu, Raya berjalan berdampingan dengan Keenan. Mereka terlihat santai, obrolan ringan yang diselingi tawa kecil membuat langkah mereka terasa ringan.
"Jadi kamu masih sering menggambar, Ray?" tanya Keenan, nada suaranya hangat dan penuh ketertarikan.
Raya mengangguk pelan. "Kadang. Tapi sekarang lebih banyak corat-coret di sela kerja. Nggak sebanyak dulu waktu masih di komunitas."
Keenan tertawa kecil. "Kalau begitu, kamu harus lihat studio baruku. Ada ruang khusus buat menggambar. Mungkin bisa bikin kamu nostalgia."
Namun tawa itu mendadak terhenti ketika sosok tinggi dengan jas gelap berjalan melewati mereka. Arka.
Tanpa memperlambat langkahnya, Arka sengaja melintas sangat dekat, hingga bahunya hampir menyentuh Raya. Sebuah dehaman ringan terdengar tepat di samping telinganya—cukup untuk membuat Raya terdiam seketika.
Lirikan mata itu—tajam, dingin, dan entah kenapa—mengandung sesuatu yang menghantam kesadaran Raya. Arka terus melangkah tanpa kata, tanpa menoleh kembali.
Di belakangnya, asistennya terburu-buru mengikuti langkah cepat sang CEO, hampir setengah berlari agar tidak tertinggal.
Keenan menoleh ke arah pria yang baru saja lewat. "Bukankah itu... Pak Arka? CEO kita?"
Raya tak langsung menjawab. Ia masih terpaku beberapa detik, seolah berusaha memahami arti dari tatapan singkat yang baru saja terjadi.
"Iya..." gumamnya akhirnya, pelan, nyaris tak terdengar. "Itu Pak Arka."
*
Langit mulai meredup, menyisakan cahaya senja yang menggantung di atas gedung-gedung kota.
Raya melangkah cepat menuju area parkir basement, setelah berpisah dengan Keenan di lobi.
Suara langkah kakinya bergema pelan di antara deretan mobil.
Namun langkahnya terhenti.
Sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi di dekat pintu keluar. Lampu depannya menyala, dan seolah telah menantinya, kaca jendela di sisi pengemudi perlahan turun.
Raya menelan ludah saat mendapati siapa yang ada di balik kemudi.
Arka.
Wajah itu masih sama—tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengabaikannya secara gamblang di depan orang lain.
"Masuk," ucap Arka tanpa nada, tanpa amarah, tanpa senyum. Tapi justru itulah yang membuat Raya bergeming di tempatnya.
"Arka... kenapa kamu di sini?"
Arka tak menjawab, hanya menoleh sejenak dengan tatapan yang tak bisa ditebak. Lalu ia menambahkan, "Aku ulangi, masuk."
Raya akhirnya membuka pintu dan duduk di kursi penumpang. Tak ada suara. Hanya dengung mesin dan aroma mobil yang familiar membuat ruang hening terasa menekan.
Mobil melaju pelan, menyusuri jalan keluar basement tanpa arah jelas.
"Aku nggak tahu kamu bisa sedekat itu dengan pria lain," ucap Arka, masih fokus pada jalan di depannya, seolah hanya membuang komentar tanpa emosi.
"Kami cuma ngobrol soal kampus," balas Raya pelan.
Arka mendengus. "Lalu kenapa kau terlihat sangat menikmati obrolan itu?"
"Karena memang obrolannya menyenangkan. Aku nggak salah, kan?"
Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan yang sepi. Arka memutar tubuhnya, kini menatap Raya langsung.
"Bukankah kita sepakat untuk bersikap selayaknya pasangan suami istri, meski harus menyembunyikannya dari dunia?" Tatapannya dalam, tak berkedip.
Raya menggigit bibir bawahnya, merasa terpojok.
"Apa kamu cemburu?" tanyanya pelan.
Arka menyentuh dagu Raya, mengangkatnya perlahan agar mata mereka bertemu. Tatapan itu masih sama—tajam, tapi kini ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rapuh, lebih manusiawi.
"Bukan... Tapi aku tak suka ketika seseorang yang aku pikir hanya milikku, tersenyum seperti itu pada pria lain."
*
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara radio yang mengalun pelan, dan deru mesin yang teratur. Raya melirik sekilas ke arah Arka, yang tampak diam dan menegang, tangannya menggenggam setir kuat-kuat seolah sedang meredam sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.
Saat mobil berhenti di basement apartemen, Arka turun lebih dulu tanpa berkata apa pun. Ia membuka pintu depan dengan langkah cepat dan masuk, meninggalkan Raya yang masih termangu di dalam mobil.
Raya menarik napas panjang sebelum menyusul masuk. Saat ia menutup pintu, suara "klik" dari kuncinya terdengar jelas—Arka menguncinya dari dalam.
Suasana rumah gelap dan sunyi. Hanya lampu meja yang menyala di ruang tengah. Arka berdiri membelakangi Raya, bahunya sedikit naik-turun. Ia seperti menahan sesuatu—emosi, atau mungkin... rasa takut.
"Apa kamu nggak percaya padaku?" tanya Raya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.
Arka membalikkan badan. Wajahnya dingin, tapi matanya... mata itu seperti lautan yang sedang bergejolak.
"Aku mempercayaimu, Raya," ujarnya pelan namun tegas. "Tapi aku tidak mempercayai pria lain di sekitarmu."
Raya menatap Arka, hatinya berdebar karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan. "Keenan cuma teman lama. Aku nggak pernah menganggap dia lebih dari itu."
"Tapi dia menganggapmu lebih dari sekadar teman," sahut Arka cepat, berjalan mendekatinya. "Tatapan itu... aku mengenalnya. Aku laki-laki, Raya."
Kini jarak mereka hanya tinggal satu tarikan napas. Arka mengangkat tangan, menyentuh pipi Raya, lalu turun menyentuh lehernya, menghentikan tangan di sana—merasa detak jantung yang sama cepatnya.
"Katakan padaku, Raya..." suaranya merendah, "kalau hanya aku yang ada di hatimu."
"Aku—"
Namun belum sempat Raya menjawab, bibir Arka sudah mencium bibirnya—lembut, perlahan, tapi penuh penuntutan. Seakan ia ingin menghapus semua jejak Keenan dari ingatan Raya. Menciptakan ulang perasaan yang hanya milik mereka berdua.
Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut. Arka menggandeng tangan Raya, menuntunnya masuk ke kamar. Tak ada kata yang perlu diucapkan, karena malam ini mereka bicara lewat sentuhan, lewat nafas, lewat degup yang saling menyatu.
Arka ingin memastikan... bahwa Raya benar-benar miliknya.
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........