NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Yang Menjadi Tempat Bersandar

Pagi di Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih bergelayut di antara atap-atap rumah ketika aku berdiri di dapur, membuat teh untuk Ibu yang sejak semalam hampir tak tidur. Wajahnya makin tirus, matanya sembab, seperti duka yang terus diperas tanpa ampun.

Sejak kepergian cucu pertamanya, Bu Murni lebih sering diam. Tangis yang dulu pecah kini berubah menjadi sunyi yang menakutkan. Ia tak lagi banyak bicara, tak lagi mengomel seperti biasanya. Seolah sebagian jiwanya ikut terkubur bersama bayi kecil itu.

Aku menyodorkan cangkir teh hangat ke hadapannya. “Ibu minum dulu, biar badannya enakan.”

Ia menerimanya dengan tangan gemetar.

“Alya… Ibu merasa kosong,” katanya lirih. “Rasanya semua yang Ibu tawarkan ke hidup malah tinggal kehilangan.”

Aku duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa bukan lagi anak, melainkan penyangga bagi perempuan yang dulu selalu menjadi sandaran hidupku.

“Ibu nggak sendiri,” ucapku pelan. “Sekarang gantian aku yang jaga Ibu.”

Bu Murni menatapku lama. Tatapannya basah, penuh rasa bersalah juga lelah. “Kamu anak pertama… kamu terlalu banyak memikul.”

Aku tersenyum tipis. “Bukannya Ibu yang ngajarin aku kuat?”

Di kamar sebelah, Laras masih terbaring lemah. Tubuhnya belum pulih benar, ditambah shock kehilangan yang datang di usia kandungan delapan bulan. Sejak kejadian itu, ia nyaris tak pernah keluar kamar. Bahkan untuk sekadar makan pun harus dipaksa.

Aku mengetuk pintunya pelan. “Ras… Kakak masuk ya.” Tak ada jawaban. Aku masuk perlahan.

Laras memandang langit-langit dengan mata kosong. Tangannya diletakkan di atas perutnya yang kini terasa hampa. Pemandangan itu selalu membuat dadaku sesak.

“Kamu belum makan,” kataku lembut.

“Aku nggak lapar, Kak,” jawabnya datar.

Aku duduk di tepi ranjang. “Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang mau aku jagain dulu?”

Laras akhirnya menoleh padaku. Matanya berkaca-kaca. “Kenapa harus aku, Kak? Aku ngerasa… aku yang paling banyak bikin sedih orang.”

Aku menggeleng cepat. “Bukan kamu. Ini bukan salah siapa-siapa.”

Ucapan itu seperti membentur tembok tebal di hati Laras. Ia memalingkan wajahnya lagi. “Aku ngerasa jadi beban.”

Kalimat itu menghantamku keras.

Aku menggenggam tangannya. “Kamu adik aku. Dan selama aku masih berdiri, nggak ada satu pun dari kalian yang jadi beban.”

Air mata Laras akhirnya jatuh dalam diam.

Dimas pulang sore itu dengan wajah kusut. Bengkelnya sedang banyak masalah, ditambah kondisi rumah yang makin penuh tekanan. Ia kini lebih banyak diam, kehilangan sosok ayah yang dulu menjadi tempat bertanya soal hidup.

Ia berdiri di ambang pintu ruang tengah, menatap Ibu yang tertidur di sofa.

“Bu gimana?” tanyanya pelan.

“Masih lemah,” jawabku.

Dimas menghela napas panjang. “Aku ngerasa gagal jadi anak laki-laki di rumah ini.”

Aku menatapnya. “Sejak kapan kamu harus sempurna untuk jadi berarti?”

Ia tersenyum pahit.

Aku tahu, luka di hatinya tak kalah dalam dari milik Laras. Dan Raka… bocah itu semakin pendiam. Dunia remajanya yang dulu riuh kini berubah jadi sepi yang kikuk.

Mereka semua terluka. Dan entah sejak kapan, mereka semua mulai memandangku sebagai tempat bergantung.

Malam datang tanpa banyak suara. Ardi pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak makanan hangat, membaginya untuk semua.

“Aku nggak bisa bantu banyak,” katanya pelan padaku di dapur, “tapi paling nggak, perut mereka jangan kosong.”

Aku menatap Ardi lama. Lelaki yang dulu terasa asing di rumah ini, kini justru berdiri paling dekat di sisiku.

“Makasih, Di…”

Ia tersenyum kecil. “Sekarang kamu bukan sendirian.”

Malam itu, aku duduk sendirian di teras. Udara dingin Bandung menyentuh kulit, menyisakan rasa getir yang tak bisa dijelaskan. Dari dalam rumah, terdengar suara Ibu batuk pelan, suara Raka berjalan di lorong, suara Laras menangis tertahan.

Semuanya seperti serpihan pecah yang berusaha disatukan kembali dengan tanganku yang gemetar.

Aku menarik lututku, memeluk diri sendiri. Kenapa selalu aku ? Kenapa aku yang harus terlihat kuat ? Air mata jatuh tanpa suara.

Ardi datang dan duduk di sampingku. Ia tak bicara. Hanya menyandarkan bahunya agar aku bisa bersandar. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku membiarkan tubuhku roboh begitu saja di pelukannya.

“Capek ya…” katanya lirih.

Aku mengangguk. “Aku takut kalau aku ikut jatuh… mereka semua ikut jatuh.”

Ardi mengusap rambutku perlahan. “Kamu manusia, Alya. Kamu boleh lelah. Kamu boleh jatuh. Dan kalau kamu jatuh, aku yang akan jadi tempatmu bersandar.”

Dadaku bergetar.

Malam itu, di antara dingin Bandung dan rumah yang penuh luka, aku akhirnya sadar:

Aku bukan hanya anak sulung.

Aku kini telah menjadi tempat bersandar bagi semua duka di rumah ini.

Dan aku tidak tahu… sampai kapan aku sanggup menahan semuanya sendirian.

Pagi berikutnya datang tanpa benar-benar membawa terang. Matahari memang naik, tetapi rasanya sinarnya terlalu pucat untuk mengusir dingin yang menetap di rumah ini. Aku bangun paling awal, seperti biasa, karena tubuhku tiba-tiba saja sudah terbiasa siaga sejak semua luka ini berjatuhan satu per satu.

Aku menyiapkan sarapan sederhana. Nasi hangat, telur dadar, dan teh manis. Tidak ada yang istimewa, tapi setidaknya perut mereka tidak kosong. Aku menata semuanya di meja makan, lalu memanggil satu per satu.

Ibu keluar lebih dulu. Langkahnya pelan, bahunya turun seperti memanggul beban yang terlalu berat. Ia duduk tanpa banyak bicara, menatap piring di depannya beberapa detik sebelum akhirnya menyentuh sendok.

“Makannya pelan saja, Bu,” kataku lembut.

Ia mengangguk. Tatapannya sempat menatapku lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ia memilih diam.

Tak lama kemudian Dimas keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak lebih kusut dari kemarin. Ia duduk berseberangan denganku, menyendok nasi tanpa suara.

“Bengkel buka hari ini?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya singkat.

Aku tahu, ia sedang memaksa dirinya untuk tetap berfungsi, meski hatinya sedang porak-poranda. Dan aku tak ingin memaksanya bicara jika ia belum siap.

Laras belum juga keluar. Aku akhirnya menghampiri kamarnya lagi. Ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela. Cahaya pagi menyentuh wajah pucatnya.

“Kamu harus makan, Ras,” ucapku lembut.

“Aku nanti saja, Kak.”

“Kami nunggu kamu di luar.”

Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk kecil. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan langkah tertatih. Raka menyusul setelahnya. Bocah itu tampak lebih kurus dari terakhir kali aku memperhatikannya. Matanya cekung, menyimpan lelah yang bukan semestinya dimiliki anak seusianya.

Kami makan bersama dalam sunyi.

Meja makan yang dulu penuh canda, kini hanya diisi suara sendok yang sesekali beradu dengan piring. Tidak ada yang berani memulai percakapan, seolah semua takut salah bicara dan membuka kembali luka yang belum menutup.

 ~~~

Siang hari, rumah kembali sepi. Dimas berangkat kerja. Raka berangkat sekolah dengan langkah berat. Laras masuk lagi ke kamarnya. Tinggallah aku dan Ibu di ruang tengah.

Aku membantu Ibu melipat baju di sofa. Tangannya bergerak perlahan, sering terhenti seolah pikirannya melayang entah ke mana.

“Alya…” panggilnya tiba-tiba.

“Iya, Bu?”

“Ibu merasa… gagal menjadi orang tua.”

Kata-kata itu membuat tanganku berhenti melipat.

“Kenapa Ibu bilang begitu?” tanyaku.

“Ibu gagal menjaga rumah ini tetap utuh. Gagal menjaga anak-anakku tetap bahagia.”

Aku menggeleng kuat. “Bukan begitu, Bu. Rumah tangga itu bukan cuma tanggung jawab satu orang. Dan kebahagiaan kami tidak ditentukan oleh satu peristiwa.”

Ibu menggigit bibirnya. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Sekarang semua bergantung padamu,” katanya lirih. “Ibu takut kamu ikut hancur karena menanggung terlalu banyak.”

Aku meraih tangan Ibu. “Aku memang capek. Tapi aku belum hancur, Bu. Dan aku tidak akan membiarkan kita semua jatuh.”

Ibu menangis dalam diam. Aku memeluknya pelan.

Saat itulah aku benar-benar merasakan: bukan hanya adik-adikku yang bersandar padaku, tapi juga Ibu—satu-satunya pilar yang dulu menopang kami semua.

 ~~~

Sore hari, Ardi datang membawa kantong berisi buah dan obat-obatan. Ia berbicara pelan dengan Ibu, lalu menoleh padaku.

“Kamu kelihatan capek sekali hari ini,” katanya.

Aku tersenyum tipis. “Aku memang capek.”

“Kamu terlalu memaksa diri.”

Aku terdiam. Barangkali ia benar. Tapi bagaimana caranya berhenti, jika semua orang di sekelilingku masih jatuh satu per satu?

Ardi menggenggam tanganku. “Kamu tidak harus memikul semuanya sendirian. Biarkan aku ikut memegang sebagian.”

Aku menatapnya lama. Ada kejujuran di matanya yang tak bisa kupungkiri.

“Kamu nggak keberatan?” tanyaku pelan.

“Sejak kapan aku pernah keberatan memeluk hidupmu, Alya?”

Dadaku terasa sesak. Dalam pernikahan yang dimulai dari keterpaksaan, justru di titik terendah ini aku menemukan bahu yang paling tulus.

 ~~~

Malam itu, Raka tiba-tiba mengalami demam tinggi. Tubuhnya menggigil hebat. Ibu panik, Laras menangis ketakutan, dan aku kembali berdiri di tengah semuanya sebagai pengendali.

“Tenang, Bu. Kita bawa ke klinik sekarang,” ucapku tegas.

Ardi langsung menyiapkan mobil. Kami menggotong Raka yang tubuhnya lemas. Di dalam mobil, bocah itu menggenggam tanganku erat.

“Kak… jangan tinggalin aku…” katanya dengan suara lirih.

“Jangan ngomong begitu,” kataku sambil menahan tangis. “Kakak di sini.”

Di klinik, dokter menyebutkan hanya infeksi biasa karena kelelahan dan daya tahan tubuh yang menurun akibat stres. Mendengarnya, kakiku terasa lemas. Ternyata bukan hanya kami yang terluka dalam diam anak sekecil Raka pun telah terlalu banyak memikul duka.

Saat akhirnya kami pulang dan Raka tertidur dengan infus kecil di tangannya, Ibu duduk di samping ranjangnya dengan wajah pucat.

“Kalau sampai Raka kenapa-kenapa juga…” ucapnya gemetar.

Aku memegang bahunya. “Tidak akan, Bu. Cukup satu ini saja. Tuhan tidak sekejam itu.”

Meski sesungguhnya hatiku sendiri tak lagi yakin dengan kalimat itu.

 ~~~

Larut malam. Semua akhirnya tertidur. Aku duduk sendirian di ruang tamu, menatap lampu yang redup. Tubuhku terasa remuk. Kepalaku berat. Tapi pikiranku menolak berhenti.

Aku berpikir tentang ayah. Tentang perceraian. Tentang bayi yang pergi sebelum sempat dipeluk. Tentang adik-adikku yang hancur perlahan. Tentang Ibu yang semakin rapuh. Tentang Ardi yang diam-diam menjadi pelindung.

Dan tentang diriku sendiri yang perlahan kehilangan ruang untuk bersandar, karena semua orang telah lebih dulu menjadikanku sandaran.

Ardi keluar dari kamar dan duduk di sampingku.

“Kamu masih terjaga?”

Aku mengangguk pelan.

“Kamu hebat,” katanya tiba-tiba.

Aku tertawa kecil yang nyaris menjadi tangis. “Aku cuma bertahan.”

“Itu sudah lebih dari cukup,” ucapnya.

Aku menoleh dan menatapnya. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya sebagai suami dari perjodohan. Aku melihatnya sebagai teman seperjalanan dalam badai yang sama.

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Kalau suatu hari nanti aku benar-benar jatuh…” bisikku.

“Aku akan jadi lantaimu,” potongnya. “Biar kamu nggak jatuh sendirian.”

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.

Malam itu, aku akhirnya memahami satu hal dengan sangat jelas:

Menjadi tempat bersandar tidak selalu berarti kuat tanpa henti.

Kadang, menjadi tempat bersandar berarti juga berani mengaku lelah dan membiarkan diri disandari kembali.

Dan mungkin, di situlah arti sesungguhnya dari bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!