NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Setiap ada tamu yang datang ke rumah, Quin terkadang - sering kali - tidak mau keluar kamar. Dia bahkan pernah terpaksa ke IGD jam dua pagi. Maag-nya kambuh, akibat tidak makan malam ketika ada tamu datang dan Quin sembunyi di kamar tidak mau keluar. Dia akan keluar kamar, kalau memang yang datang adalah keluarga dekat orang tuanya. Dan itu juga biasanya Quin menemui mereka hanya untuk salim, lalu kembali ke kamarnya.

Kali ini Quin sudah amat sangat lapar. Dia tidak mau harus ke IGD lagi malam-malam. Dia ingin keluar dari kamar, mengambil makan, lalu masuk lagi ke kamar. Toh tamunya sepertinya hanya ada di ruang tamu, pikir Quin.

Dengan langkah pelan, Quin mengendap turun tangga. Dia tidak ingin terdengar keluar dari kamar, kemudian mamanya memanggilnya untuk bertemu sang tamu. Karena terlalu fokus memerhatikan suara tamu yang ada di ruang tamu, Quin terlewat satu anak tangga. Akibatnya dia duduk terjatuh dan menyebabkan suara yang sangat keras.

“Aduh!” Lirih Quin.

Mamanya yang memakai baju rumah atas bawah yang semotif, datang dan menatap Quin kaget, “Kenapa?”

“Kepeleset!” kata Quin nyengir, lalu bangkit dan mendekati meja makan. “Ada siapa?”

“Teh Santi,” jawab mamanya sambil duduk di kursi meja makan.

“Teh Santi kenapa?” tanya Quin sambil menyendokkan nasi ke piringnya.

“Mang Ujo, kena begal. Motornya Dima diambil orang,” jelas mamanya dengan nada prihatin.

“SERIUS?” Quin menoleh ke mamanya, kaget.

Papanya datang dari ruang tamu dan duduk di kursi meja makan.

“Masa mama bercanda,” jawab mamanya sambil mengambilkan piring untuk papanya Quin.

“Kenapa?” tanya papanya Quin sambil menerima piring dari mamanya Quin.

“Quin nggak percaya, mang Ujo abis kena begal,” jawab mamanya Quin dengan nada kesal.

“Bukan nggak percaya. Kaget aja, Ma,” Quin menyuap makanan dengan tidak begitu selera.

“Papa tadi kasih uang lebih buat Teh Santi. Buat berobat,” jelas mamanya Quin.

Quin terdiam. Yang dipikirkannya bukan Mang Ujo, tapi Dima. ‘Berarti ayahnya Dima tidak punya motor,’ katanya dalam hati.

Dima, Lala, ibunya, dan ayahnya duduk di sofa ruang tv. Semuanya tertunduk. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Dima tidak menyangka, kalau ternyata ayahnya belum membayar hutangnya. Ternyata ayahnya tidak jadi dapat pinjaman dari Om Budi. Kemungkinan terbesarnya, penagih hutang itu mengambil motor Ayah, pikir Dima.

Dia harus melakukan sesuatu. Dulu dia ingat, Givan punya kenalan mantan preman yang pernah membantu temannya, Kenzi, keluar dari tawuran antar pelajar di Rawa Belong. Dia ingat kalau preman itu mungkin bisa membantunya. Mungkin Givan mau meminta tolong untuk mencari motornya kembali.

“Kalian fokus sekolah dan kuliah saja. Tidak usah memikirkan motor. Ayah akan coba cari pinjaman untuk bisa ngojek lagi. Supaya bisa bayar utang,” jelas ayahnya pelan, karena memang badannya lemas. Sejak GERDnya kambuh, dia jadi jarang makan. Menghindari makanan yang menyebabkan asam lambungnya naik, malah membuatnya jadi jarang makan.

“Ibu juga insya Allah, pesenan lancar. Buat sehari-hari kalian nggak usah khawatir,” jelas ibunya yang sedang memijat kaki ayahnya.

Dima dan Lala hanya bisa saling lirik. Mereka mengangguk dengan memberikan kode mata, seperti mengerti apa yang ada di pikiran mereka satu sama lain. Padahal mereka memikirkan dua hal yang berbeda. Lala berharap Dima menang lomba puisi, agar dapat uang tambahan buat bayar hutang Ayah mereka. Sedangkan Dima akan bicara dengan Givan dan yang lainnya untuk mencari jejak motor ayahnya.

“Karena menurut gue, mereka nggak bisa seenaknya gitu, ngambil motor orang! Kecuali emang motor bokap gue itu jadi jaminan. Kan ini nggak! Bokap gue bilang, utangnya itu utang pinjol biasa, nggak pake jaminan apa-apa!” jelas Dima pada Givan dan Jejen yang duduk di kursi warung Bu Neneng yang masih tutup.

Givan yang manyun dan dengan dahinya berkerut, menggaruk-garuk kepalanya, bukan cuma karena sedang berpikir, tapi memang kepalanya gatal karena ketombean.

Beberapa murid melewati warung Bu Neneng. Di antaranya ada Shanaz yang jalan kaki dari gang depan ke sekolahan.

“Dim!” Shanaz menghampiri Dima, “Selamat ya, puisinya lolos seleksi! Pokoknya gue suruh sodara gue, tetangga gue, semuanya bantuin vote elu!”

“Eh, makasih,” jawab Dima salah tingkah.

“Tapi sodara gue ada yang nanya. Itu arti puisinya apa?”tanya Shanaz serius.

“Ya kalau arti kan terserah yang baca aja. Beda orang beda pengalaman, akan beda juga cara mengapresiasi seni,” jelas Dima dengan singkat.

“Buset, makin nggak ngerti gue! Ya udah, terserah elu, pokoknya gue vote!” Shanaz kemudian pergi ke gerbang sekolah.

“Makasih, Nas!” teriak Dima bersamaan dengan Quin yang turun dari mobil papanya. Dima langsung berpaling ke Givan dan yang lainnya ketika matanya beradu dengan Quin secara tidak sengaja.

Quin lalu masuk ke gerbang sekolah, sementara Dima kembali bicara pada Givan dan Jejen.

“Jadi gimana?” tanya Dima pada Givan dan Jejen.

“Apanya gimana?” tanya Givan balik.

“Ah elah, kan tadi gue udah jelasin!”

Givan bertanya pada Jejen, “Aduh, gue lupa. Gara-gara Shanaz, tadi dia ngomong apa Jen?”

“Itu, kalau seni itu beda-beda!” jelas Jejen.

“Bukan itu!” teriak Dima kesal. “Soal motor gue!” kata Dima berbisik.

“Oooh, motor! Motor elu ilang, terus? Mau cari di mana?” tanya Givan bingung dan kembali menggaruk kepalanya.

“Minta tolong temen lu. Yang preman itu! Yang pernah nolongin Kenzi!” Dima berusaha menjelaskan dengan tenang.

“Haduh, gimana ya?” Givan kembali berpikir dengan serius.

Tiba-tiba Danu datang dan merangkul Dima yang dari tadi berdiri, dari belakang. “Wuidih, pagi-pagi mabar nih?”

“Bukan mabar!” jelas Jejen. “Rapat!”

“Rapat apaan?”

“Rapat seni!” ujar Jejen bercanda.

“Seni apaan sih?” Danu bingung.

Terdengar suara bel masuk berdering.

“Ah elah, nggak tau, ah! Ntar siang aja abis sekolah, gue ke rumah elu, Van!” kata Dima sambil bergegas masuk ke gerbang sekolah diikuti oleh Danu, Jejen, dan Givan.

Murid-murid di kelas sudah duduk rapi, tapi guru belum datang. Dima dan gengnya datang masuk ke kelas. Quin pura-pura tidak melihat Dima jalan melewati lorong mejanya. Begitu juga Dima, pura-pura tidak peduli kalau Quin tidak melihatnya jalan di sebelahnya.

Quin berbisik pada Nisa yang duduk di sebelahnya, “Tadi Dima ngobrol sama Shanaz.”

“Terus?” Nisa heran, apakah Dima bicara dengan murid perempuan yang juga pernah sekelas dengannya adalah salah?

“Kira-kira dia nanya Shanaz apa nggak soal siapa yang daftarin dia lomba puisi?” tanya Quin heran.

“Astaga!” Nisa memutar kedua bola matanya.

“Kenapa?” Quin malah heran, karena Nisa cuma menjawab seperti itu.

“Ssshh!” Nisa memberikan kode pada Quin dan melihat ke depan kelas. Guru sudah datang.

Quin memperbaiki posisi duduknya. Dia menoleh sekali ke arah Dima yang ternyata sedang menatapnya dari belakang. Quin bergegas menatap ke depan. ‘Apa Dima curiga sama gue?’ katanya dalam hati.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!