Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Harapan
...The Twin-Headed Dragon vs Fire Fighter Squad...
...#4...
“Bukan hanya tanaman ganja yang ada di sana,” ujar Johan tenang, menatap layar besar yang menampilkan ladang hijau di bawah. “Melainkan juga tanaman belladonna yang tersembunyi di antara daun-daunnya.”
Virgo menoleh cepat, alisnya bertaut.
The Ancient One, yang semula duduk tenang, perlahan memiringkan kepala, matanya menyipit dengan sorot tajam.
Sementara di sisi tribun mitologi, para troll dan dwarf mulai berbisik satu sama lain — mereka, para ahli ramuan dan sihir alam, terlihat benar-benar heran.
Mereka tahu semua tentang racun ular, jamur beracun, hingga akar ajaib penyembuh. Namun, nama “belladonna” terdengar asing bagi mereka; sebuah racun dari dunia manusia yang belum pernah mereka dengar.
Di antara kerumunan manusia, seorang pria berjas putih berdiri — Dr. Aldrich Vermund, ahli botani dan medis kimia. Ia memandang ke arah arena, lalu menjelaskan dengan nada tenang namun penuh wibawa:
“Atropa belladonna, atau disebut juga nightshade, adalah tanaman berdaun lebar dengan bunga ungu lembut dan buah hitam mengilap. Meski tampak indah, ia menyimpan alkaloid berbahaya seperti atropin, skopolamin, dan hiosiamin.
Zat-zat ini bekerja dengan menekan sistem saraf parasimpatik, memperlambat reaksi tubuh, dan dalam dosis tertentu — menyebabkan kelumpuhan sementara, bahkan henti napas. Namun, dalam kadar yang tepat, belladonna dapat menimbulkan efek sedatif dan anestetik, menidurkan makhluk besar sekalipun.”
Sorakan kecil terdengar dari tribun manusia; rasa bangga dan kagum bergema di antara mereka.
Virgo mengerjap pelan, bibirnya melengkung samar seolah baru memahami sesuatu yang agung dalam kesederhanaan manusia.
“Jadi… mereka menaklukkan naga bukan dengan kekuatan, melainkan dengan pengetahuan,” ucapnya perlahan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri.
The Ancient One mengepalkan cakar tangannya, mata emasnya menyala dengan amarah tertahan.
“Sihir tanpa mantra... racun tanpa ritual... manusia, apa sebenarnya kalian itu?”
Di bawah sana, naga berkepala dua mulai berguncang, kepalanya berputar seolah kehilangan keseimbangan.
Asap putih keabu-abuan mengepul dari parunya, bercampur dengan aroma getir opium dan belladonna.
Langit Colosseum Langit yang tadinya jingga keemasan kini memudar menjadi ungu pudar — warna yang sama dengan bunga beracun itu.
Suara mendesis tajam terdengar di antara riuh api dan kabut. Jet air bertekanan tinggi itu menembus udara seperti sebilah pedang tak terlihat — memotong tepat di antara sisik obsidian sang naga.
Dalam satu hentakan terakhir, air yang keluar dari selang itu mengoyak kepala pertama sang naga hingga terlepas, jatuh keras ke tanah, dan mengguncang seluruh arena.
Sorak sorai dari tribun manusia meledak serentak.
Mereka berdiri, bertepuk tangan, berteriak, sebagian bahkan menitikkan air mata — bukan karena kemenangan, tapi karena keberanian yang baru saja mereka saksikan.
Namun di sisi seberang, kubu mitologi terdiam.
Para elf menatap nanar. Para centaur bergumam pelan, tak percaya. Dan para dwarf serta troll — yang tadi menyombongkan keunggulan sihir mereka — kini hanya menatap arena dengan rahang mengeras, kebingungan dan cemas.
Di singgasananya, The Ancient One menunduk, kedua sayapnya merapat rapat.
Sebuah desir samar muncul di ujung kukunya — nyaris tak terlihat oleh mata siapa pun.
Gerakan itu sangat halus, seolah sekadar goresan angin.
Namun dari sana, memancar cahaya redup kehijauan yang kemudian meresap ke tanah arena.
Virgo tidak menyadarinya.
Bahkan Johan, yang biasanya peka terhadap segala perubahan, tak menduga sesuatu tengah bergerak di bawah permukaan.
Dan seketika itu juga — bumi bergetar.
Dari tubuh naga yang tersisa, terdengar geraman rendah.
Kepala keduanya, yang sempat tertunduk lemah, perlahan mengangkat wajahnya kembali. Matanya terbuka — tapi kini bukan merah menyala, melainkan emas menyilaukan, seolah ada kekuatan baru yang mengalir dari dasar bumi.
Dalam sekejap, gelombang energi itu menyembur keluar, mementalkan keempat anggota Fire Fighter Squad sejauh puluhan meter.
“Komandan!” teriak Carl sambil mencoba berdiri di tengah puing dan api yang mulai membakar truk mereka.
Truk pemadam itu terguling, tangki airnya bocor, percikan listrik memantik api di permukaannya — ledakan kecil mengguncang udara.
Jonatan berusaha bangkit, helmnya retak, wajahnya penuh jelaga.
Di hadapannya, sang naga yang tersisa menatap saudaranya yang telah mati.
Rahangnya mengatup keras, matanya memerah. Tapi bukan amarah yang tampak — melainkan kesedihan dan penghormatan.
“Saudaraku... kau jatuh oleh keberanian mereka.”
“Dan keberanian itu... pantas untuk dibalas dengan kehormatan.”
Suara itu dalam, bergetar, nyaris seperti dua suara sekaligus — satu menggema dari dunia, satu lagi dari hati.
Kemudian, perlahan-lahan, sang naga mengangkat kepalanya.
Udara di sekelilingnya bergetar hebat.
Api kecil di sekitarnya padam, tersedot oleh tarikan napasnya yang dalam, panjang, dan berat — seolah seluruh oksigen di arena diserap oleh satu makhluk.
Jonatan yang masih di tanah menatap ke atas.
Wajahnya penuh peluh dan darah, namun matanya tetap tenang.
“Semua... mundur sekarang juga!”
Tiga anggotanya berusaha menyeret puing-puing truk yang masih tersisa, tapi jarak mereka terlalu dekat.
Hanya beberapa inchi dari moncong naga yang kini bersiap melepaskan nafas api terbesarnya.
Virgo berdiri, napasnya tercekat.
“Jika dia menghembuskan itu… seluruh arena akan terbakar.”
Dan di singgasananya, The Ancient One menatap tanpa ekspresi — hanya senyum kecil, samar, di ujung paruhnya yang berlapis logam emas.
Tiba-tiba—
Raisa melompat ke depan.
Tanpa ragu, ia menarik pin APAR yang masih tergantung di sabuknya, lalu melemparkannya lurus ke mulut sang naga!
Ledakan keras mengguncang arena.
BOOM!
Gelombang kejut membuat pasir dan batu beterbangan.
Busa putih menyembur keluar dari mulut naga, mengalir seperti busa lautan yang menelan lidah apinya.
Sang naga tersedak hebat, menggeleng-gelengkan kepala, dan dari sela rahangnya keluar semburan busa bercampur darah hangat.
“Sekarang! Ke tempat aman!” teriak Raisa.
Seluruh tim berlari tersengal, bersembunyi di balik reruntuhan truk yang masih terbakar.
Jonatan memegang lututnya, napasnya berat. Ia menatap naga itu yang kini hanya mengeluarkan asap putih dari hidung dan mulutnya.
“Apa yang baru saja terjadi, Raisa?” tanyanya di sela napas.
Raisa menoleh, wajahnya berlumur jelaga namun senyumnya tenang.
“Di dalam tenggorokan naga,” katanya perlahan, “tepatnya di anak lidahnya, terdapat kobaran kecil yang disebut api jiwa. Dari sanalah semua semburan api berasal. Dan jika api jiwa itu padam…”
Ia berhenti sejenak, lalu memandang sang naga yang kini terengah lemah.
“…maka hilang sudah kekuatan napas apinya.”
Jonatan menatapnya tak percaya.
“Dari mana kau tahu itu?”
Raisa tersenyum tipis, menegakkan helmnya yang sedikit miring.
“Sebelum bertarung, sebelum menyelamatkan, kita seharusnya mempelajari terlebih dahulu bahaya apa yang kemungkinan mengancam di medan. Apa ketua sudah melupakan prinsip itu?”
Jonatan terdiam, lalu tertawa kecil di tengah luka dan asap.
“Jadi sebelum dipanggil ke arena, kau belajar tentang mitologi naga?”
Raisa mengangguk mantap, menatap naga yang kini hanya tersisa napasnya.
“Ya, Ketua. Karena setiap makhluk punya kelemahannya—bahkan yang tampak abadi sekalipun.”
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !