Suatu kondisi yang mengharuskan Zidan menikahi Khansa, teman masa kecilnya yang tinggal di desa, atas permintaan terakhir neneknya yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Disisi lain, Zidan memiliki kekasih setelah bertahun-tahun tinggal di kota.
Pernikahan itu terjadi karena satu syarat yang diberikan Khansa, mau tidak mau Zidan menerima syaratnya agar pernikahan mereka bisa berlangsung.
Bagaimana kehidupan pernikahan Zidan dan Khansa?
Lalu bagaimana hubungan Zidan dengan kekasihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lentera Sunyi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan Sekaligus Kelegaan Hati Zidan
“Maaf!” Spontan Khansa menarik tangannya.
“Kenapa harus minta maaf? Kamu tidak melakukan kesalahan, lagi pula kita suami istri, jadi apa masalahnya jika pegangan tangan?”
Khansa menjadi kikuk mendengar pertanyaan dari Zidan. Mau sampai kapan ia akan terus menghindar dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Namun, disisi lain tidak ada yang bisa ia lakukan. Apalagi untuk memperjelas hubungan mereka.
Sikap Zidan memang tidak se cuek seperti orang yang baru kenal. Zidan sangat perhatian layaknya suami yang mencintai istrinya. Yang jadi masalah untuk Khansa adalah menikah dengan Zidan yang sudah memiliki kehidupan sendiri. Ia hadir dalam sebuah hubungan yang belum pernah ada kata selesai.
“Kok diem? Apa ada yang salah?”
“Kita, hubungan kita yang salah. Entah kota saling mencintai atau tidak, bagiku ini hubungan yang seharusnya tidak terjadi. Kamu, kamu punya orang lain.”
Lagi? Kenapa Khansa selalu membahas hubungannya dengan Zidan itu salah. Mau berapa kali Zidan menjelaskannya pada Khansa jika hubungannya dengan Naya sudah selesai.
“Sa, mau sampai kapan kamu akan bahas masalah ini? Aku sudah memilihmu, dan memutuskan hubunganku dengan Naya. Tapi kenapa kamu selalu berpikir seperti ini?”
Khansa menundukan kepalanya, “Maaf, bukan maksudku seperti itu. Tapi, aku masih tidak yakin akan hubungan ini. Aku masih membutuhkan waktu untuk menerima semua ini, aku sudah berusaha, tapi akalku selalu menghentikannya.”
Zidan menghela nafasnya, ia mengerti jika semua ini memang sulit. Tapi ia sudah memutuskan untuk berada disisi Khansa.
Satu hal yang Zidan pahami, jika Khansa sangat keras pada dirinya sendiri. Dan itu tidak baik jika terus dibiarkan. Sampai detik ini, Zidan selalu berusaha agar Khansa percaya jika ia memilihnya.
Zidan menepikan mobilnya, menghadap ke arah Khansa, meraih tangannya. Khansa menatap tangannya lalu menatap Zidan dengan tatapan bingung. Zidan membalas tatapan Khansa dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Aku tau ini memang sulit untukmu, tapi apa kita tidak bisa mencoba membangun hubungan ini?” Khansa memalingkan wajahnya, berusaha menarik tangannya. Namun, Zidan memegangnya dengan erat.
“Apa kita bisa mencobanya? Aku bukan laki-laki yang lepas dari tanggung jawab setelah menikahi seseorang, Sa.” Zidan berusaha meyakinkan Khansa. “Aku tau jika aku memiliki kekasih, tapi statusnya berbeda dengan hubungan kita.”
Zidan menghela nafasnya, “Awalnya aku memang terpaksa menerima pernikahan ini, tapi sekarang tidak sama sekali. Keterpaksaan itu sudah tergantikan dengan kata syukur.”
Khansa mendongak, menatap mata Zidan yang begitu mantap. Ia memejamkan matanya sebelum membalas ucapan Zidan.
“Sekali saja, mati kita coba bangun hubungan ini. Aku yakin jika kita akan bahagia.”
Sekarang apa yang akan menjadi pilihan Khansa? Menerimanya atau masih akan tetap menghindar?
Berada di posisi Khansa memang tidak mudah, banyak pertimbangan yang harus ia pikirkan. Karir atau cinta, keduanya memang penting. Tapi, bagi Khansa itu sangat sulit untuk dilakukan.
Mungkin sebagian besar bisa melakukannya sekaligus, tapi kebanyakan dari mereka berakhir dengan luka, itulah kenapa yang membuat Khansa bingung.
Maka dari itu, prioritasnya adalah karir. Khansa tidak ingin karirnya berantakan hanya karena cinta yang belum tentu akan membuatnya bahagia, terlebih lagi ia tau benar bagaimana masa lalu Zidan.
Sangat tidak mungkin kekasihnya akan menerima begitu saja jika Zidan tiba-tiba meninggalkannya. Apalagi jika Zidan tidak memberikan kejelasan yang logis.
Khansa sendiri tidak tau alasan apa yang digunakan Zidan untuk memutuskan kekasihnya. Tapi ia sangat yakin jika Zidan tidak mengatakan jika dirinya sudah menikah.
“Kamu sudah tau benar apa yang menjadi pilihan dan prioritasku. Jika di dalam perjalanan ini hubungan yang kita miliki saat ini bisa dipertahankan, dan menumbuhkan cinta, karena itu sudah menjadi jalannya.”
Ada rasa kecewa yang dirasakan Zidan mendengar jawaban Khansa. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Khansa atas rasa sakit yang dirasakannya.
“Biarkan hubungan ini mengalir sesuai arusnya, hanya dengan begitu kita akan bisa melihat bagian mana yang paling deras, dan arusnya tetap bertahan lurus tanpa berbelok ke arah lain. Atau mungkin berbalik arah yang mungkin tidak pernah kita inginkan.”
Khansa menghela nafasnya, menatap Zidan yang tidak mengalihkan pandangannya sama sekali.
“Kita jalani saja bagaimana hubungan ini, dan buktikan jika hubungan ini memang bisa layak dipertahankan. Aku akan berusaha mencobanya meski aku sendiri tidak yakin.”
Zidan tersenyum mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh Khansa. Ia melepas sabuk pengamannya lalu mendekat dan memeluk Khansa dengan erat.
Khansa memejamkan matanya, menikmati pelukan hangat yang diberikan Zidan. “Terima kasih,” lirih Zidan yang masih memeluknya.
Keduanya berpelukan cukup lama, hingga Zidan melepaskan pelukannya dan menatap mata Khansa begitu dalam.
Khansa tersenyum tipis, “Kita lanjut jalan? Atau kita akan terus tetap disini?”
“Ah iya, maaf. Kita lanjut jalan sekarang, maaf karena sudah membuat perjalanan kita semakin lama.” Zidan kembali membenarkan posisi duduknya, memakai kembali sabuk pengaman yang dilepaskan sebelumnya.
Zidan kembali melajukan mobilnya, entah kenapa suasananya menjadi canggung setelah mereka berpelukan.
“Apa masih jauh?” tanya Khansa yang berusaha mencairkan suasana.
“Tidak, di depan ada perempatan, dan kita akan belok kiri, setelah itu sampai.”
“Benarkah?” Khansa mengikuti arah pandang Zidan yang menatap ke depan.
Memang benar ada perempatan, dan mobil mereka langsung belok kiri. Mungkin sekitar sepuluh meter mereka sudah memasuki kawasan mall.
Khansa melihat ke arah luar, senyumannya begitu lebar. Saat di desa pernah pergi ke pusat perbelanjaan yang jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Namun, tidak sebesar mall yang ada di depannya.
Itulah kenapa Khansa sedikit terkejut melihatnya, sangat besar dan sangat ramai. Mungkin tiga kali lebih ramai dari yang biasanya Khansa kunjungi.
Karena Khansa yang melamun, tidak menyadari jika Zidan sudah keluar. Bahkan membukakan pintu mobil untuknya.
“Kita masuk?” Zidan mengulurkan tangannya.
“Ah iya.” Khansa menerima uluran tangan Zidan, lalu keluar dari mobil.
Ada sedikit keraguan dalam diri Khansa karena melihat mall yang begitu ramai. Ia juga merasa takut, jika nanti tersesat.
“Tidak perlu takut, aku akan terus menggandeng tangan kamu.” Zidan menarik tangan Khansa untuk masuk ke dalam mall.
Khansa menatap tangannya yang digenggam oleh Zidan. Ada rasa kelegaan dalam hatinya, mengikuti langkah kaki Zidan yang membawanya masuk ke dalam mall.
Mata Khansa berbinar saat mereka berdua sudah berada di salam mall. Ia benar-benar merasa takjub dengan kemegahannya.
Mereka berhenti di tengah-tengah keramaian, “Kita akan pergi kemana?” tanya Khansa karena mereka masih diam.
“Sebentar ya? Aku masih mengingat dimana toko bukunya.” Khansa mengangguk patuh, beralih mengamati sekitarnya.
Sepertinya semua ada disini, satu tempat tapi menjual semuanya. Jika begini tidak perlu berpindah tempat untuk belanja hal lain. Cukup satu tempat, semua yang dibutuhkan tersedia.