Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Baru,Harapan, Dan Gemuruh Badai
Keputusan Leon untuk menguras aset pribadinya demi Revanza Cipta adalah gema yang nyata dari janji yang diucapkannya di restoran malam itu. Itu bukan sekadar tindakan finansial, itu adalah pernyataan, deklarasi bahwa ia sungguh-sungguh ingin melepaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman masa lalu yang diwakili oleh bayangan dingin Tuan Besar Hartono. Lana melihat tekad membara di mata Leon, sebuah api yang takkan padam, bahkan jika harus membakar habis dirinya sendiri.
"Ini risiko besar, Leon," bisik Lana suatu pagi, saat mereka duduk di kantor sederhana mereka, ditemani aroma kopi pagi dan angka-angka di laporan keuangan yang semakin menipis. Cahaya matahari pagi mencoba menembus kaca jendela, namun suasana masih terasa muram, diselimuti bayangan kekhawatiran yang samar. "Jika ini gagal, kau akan kehilangan segalanya. Apapun yang tersisa dari warisan yang bukan milik Ayahmu."
Leon menghela napas, mengusap wajahnya yang terlihat lelah, gurat-gurat kelelahan mulai tercetak jelas di sana. "Aku tahu, Lana. Aku tahu persis apa resikonya. Tapi aku tidak bisa membiarkan Ayah menang. Dia tidak hanya menyerang bisnis ini, dia menyerang jiwaku, Lana. Dia mencoba membuktikan bahwa aku tidak akan pernah bisa lepas darinya, bahwa aku tidak bisa membangun apa pun sendiri tanpa bayangannya." Matanya menatap Lana, penuh dengan emosi yang kompleks,campuran ketakutan, tekad, dan cinta yang mendalam. "Dan aku tidak bisa membiarkan dia menghancurkan... kita."
Kata "kita" itu bergaung di benak Lana, memberikan kehangatan yang merambat di hatinya, memadamkan sedikit dingin yang merayap. Itu bukan lagi sekadar kemitraan bisnis yang terpaksa, melainkan sebuah ikatan yang lebih dalam, yang diuji oleh badai dan ditempa oleh kesulitan. Mereka adalah dua jiwa yang berlayar bersama di tengah samudra yang bergejolak hebat.
"Kita akan cari cara lain," Lana menegaskan, tekadnya menguat, menyamai api di mata Leon. Ia tahu, pasif bukanlah pilihan. "Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita harus menyerang balik, Leon. Dengan cara kita sendiri."
Strategi 'David Melawan Goliath,' Menari di Ujung Jurang.
Malam itu, kantor sederhana mereka berubah menjadi markas strategi. Meja dipenuhi skema, grafik, dan cangkir kopi dingin yang tak terhitung jumlahnya. Otak mereka bekerja keras, mencari setiap celah kecil di tengah badai yang mengamuk, mencari celah di baju zirah Goliath.
"Kita tidak bisa bersaing dalam skala besar dengan Hartono Group," Lana memulai, menunjuk ke grafik pasar yang menunjukkan dominasi mutlak Hartono. "Kita terlalu kecil. Kita akan dihancurkan dalam pertarungan langsung."
"Jadi, kita tidak bersaing di pasar yang sama," Leon menyahut, matanya berbinar, sebuah ide mulai terbentuk, sebuah visi yang berani. "Kita menciptakan pasar kita sendiri. Kita akan menari di ujung jurang, Lana."
"Bagaimana caranya?"
Leon mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih pelan, dipenuhi dengan rencana yang matang dan sedikit gairah yang tersembunyi. "Hartono Group adalah raksasa tua. Kaku, birokratis, dan lambat beradaptasi. Mereka terlalu fokus pada proyek-proyek besar yang menguntungkan, padat modal, dan punya jaringan yang sudah mapan selama puluhan tahun."
"Kita sebaliknya," Lana menyambung, matanya berbinar cerah menyadari arah pemikiran Leon. "Kita gesit, Leon. Kita bisa berinovasi dengan cepat. Kita bisa mencari pasar niche yang belum terjamah, tempat yang tidak mau repot-repot mereka lirik."
Mereka mulai merancang strategi ‘David Melawan Goliath’, sebuah pertarungan akal dan integritas melawan kekuatan dan koneksi.
Alih-alih bersaing untuk proyek-proyek infrastruktur besar yang diincar Hartono Group, Revanza Cipta akan memfokuskan diri pada proyek-proyek yang membutuhkan keahlian khusus, inovasi teknologi, dan penyesuaian yang fleksibel. Proyek-proyek yang sering diabaikan atau dianggap terlalu kecil oleh perusahaan raksasa. Leon, dengan keahlian teknisnya yang mendalam dan pemikirannya yang visioner, akan menjadi ujung tombak dalam pengembangan solusi kreatif. Lana, dengan keahlian manajerial dan kepandaiannya dalam membangun relasi, akan memimpin pencarian dan pengembangan proyek-proyek ini. Ini adalah tentang kualitas, bukan kuantitas.
Mereka tidak lagi pasif menunggu diboikot. Lana mulai secara proaktif mencari pemasok dari luar jaringan Hartono, bahkan menjangkau UMKM lokal yang punya potensi besar namun belum terjamah, memberikan mereka kesempatan dan membangun loyalitas. Ini adalah proses yang panjang, membangun kepercayaan dari nol, namun mereka melihatnya sebagai investasi jangka panjang, sebuah jaringan yang dibangun atas dasar saling percaya, bukan paksaan. Demikian pula, mereka mulai menjaring klien-klien yang mencari solusi inovatif, bukan sekadar nama besar.
Gosip dan kampanye hitam Hartono Group adalah senjata mereka. Tapi Revanza Cipta punya cerita yang berbeda, sebuah kisah tentang perjuangan dan integritas. Leon dan Lana memutuskan untuk lebih terbuka, membagikan kisah perjuangan mereka dalam membangun perusahaan yang berintegritas dari nol. Mereka mulai aktif di media sosial profesional dan forum industri, bukan untuk menyerang balik, melainkan untuk menunjukkan transparansi, nilai-nilai yang mereka yakini, dan semangat yang mereka bawa. Mereka ingin menciptakan citra perusahaan yang muda, inovatif, etis, dan berani melawan raksasa korup yang usang. Sebuah cerita yang akan menarik simpati dan dukungan dari mereka yang muak dengan praktik bisnis lama.
Di tengah kegelapan yang mengepung, seberkas cahaya tak terduga datang dari Arvino. Suatu sore, ia datang ke kantor Revanza Cipta yang sederhana, membawa beberapa dokumen di tangannya, auranya yang tenang bagai embun penyejuk.
"Lana, Leon," sapa Arvino, senyumnya seperti biasa, menenangkan dan tulus. "Aku dengar kalian sedang kesulitan akhir-akhir ini. Aku harap kalian baik-baik saja."
Leon mengangguk, ada sedikit kelegaan di wajahnya melihat kehadiran Arvino. "Ayahku tidak main-main kali ini. Dia menggunakan semua kekuatannya."
Arvino mengamati ruangan, melihat jejak-jejak kerja keras mereka, tumpukan dokumen, papan tulis penuh coretan ide, dan aura kelelahan namun penuh gairah yang terpancar dari Lana dan Leon. "Aku punya beberapa kenalan," katanya, suaranya pelan namun penuh bobot. "Mereka adalah investor kecil, tapi punya visi yang sama dengan kalian. Mereka mencari proyek yang segar, yang berani berbeda. Dan yang terpenting, mereka percaya pada integritas. Mereka sudah mengikuti sepak terjang Hartono Group, dan... mereka ingin melihat sesuatu yang baru."
Lana dan Leon saling pandang, terkejut, napas mereka seolah tertahan. Arvino bukan hanya seorang sahabat, ia adalah jembatan yang tak terduga, pembawa harapan di saat paling genting.
"Tapi ada satu syarat," lanjut Arvino, menatap Leon dengan serius, seolah menguji kedalaman tekadnya. "Mereka ingin bertemu langsung denganmu, Leon. Mereka ingin melihat langsung api di matamu, tekadmu, bukan hanya di atas kertas saja."
Leon mengangguk cepat, tanpa ragu. "Aku bersedia, Arvino. Kapan pun. Di mana pun. Aku akan tunjukkan kepada mereka apa yang sedang kami perjuangkan."
Pertemuan itu pun diatur dengan cepat. Leon dan Lana mempersiapkan diri dengan matang, lebih dari sekadar presentasi bisnis. Mereka tidak hanya memaparkan rencana dan proyek, tetapi juga berbagi kisah perjuangan mereka, visi mereka untuk perusahaan yang etis, dan komitmen mereka untuk tidak menyerah pada tekanan dari Hartono Group. Leon berbicara dengan kejujuran yang langka, tentang keinginannya untuk membangun warisan yang berbeda dari ayahnya, sebuah warisan yang didasari pada nilai, bukan kekuasaan semata. Lana mendukungnya, menambahkan detail teknis, memvalidasi angka-angka, dan meyakinkan para calon investor tentang potensi pasar niche yang mereka bidik. Mereka berbicara dengan jiwa, bukan sekadar data.
Dan keajaiban terjadi. Sekelompok kecil investor itu, yang sebagian besar adalah pengusaha muda yang juga muak dengan praktik bisnis lama, tertarik. Mereka tidak menawarkan dana sebesar yang ditarik oleh Tuan Besar Hartono, tetapi itu cukup untuk memberikan Revanza Cipta napas baru, sebuah kesempatan kedua untuk hidup, sebuah suntikan darah segar yang sangat mereka butuhkan. Sebuah bukti bahwa integritas masih punya tempat di dunia bisnis.
Badai belum reda, bahkan mungkin baru permulaan dari fase paling brutal. Namun, api di dalam dada Lana dan Leon semakin berkobar, menerangi jalan mereka di tengah kegelapan. Mereka tahu ini baru permulaan dari pertempuran panjang. Hartono Group tidak akan menyerah begitu saja. Namun, dengan modal baru, strategi yang jelas dan inovatif, dan yang terpenting, ikatan yang semakin kuat di antara mereka, Lana dan Leon siap menghadapi apa pun yang datang. Kupu-kupu di leher Lana kini tidak hanya berdenyut, tetapi seolah mengepakkan sayapnya dengan anggun, siap terbang lebih tinggi, membawa harapan baru menuju cakrawala yang belum terjangkau. Mereka tidak hanya membangun perusahaan, mereka membangun sebuah kisah tentang ketahanan, integritas, dan cinta yang berani menantang segala rintangan, sebuah kisah yang pantas untuk diceritakan.
Bagaimana Tuan Besar Hartono akan bereaksi terhadap kegagalan serangannya kali ini, terutama setelah Revanza Cipta berhasil mendapatkan investor baru melalui Arvino? Akankah ia meningkatkan tekanannya, ataukah strategi ‘David Melawan Goliath’ Revanza Cipta akan mulai menunjukkan hasil yang tak terduga?