Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Suara mobil berhenti di halaman membuat Bayu spontan bangkit dari duduknya di ruang tamu. Azela yang sedang menyetrika mukena di sudut ruangan ikut menoleh panik. Tangannya refleks mematikan setrika, menyembunyikan kegugupan dalam dada.
“Umi datang...” lirih Azela, wajahnya tegang.
Bayu mengangguk. “Tenang aja. Lakuin yang perlu. Jangan gugup. Umi orangnya halus, tapi teliti.”
Pintu depan dibuka. Wajah lembut Umi Fatimah langsung menyembul dengan senyum lebar. Di belakangnya, Aila menenteng tas kecil sambil menunduk pelan ke arah Bayu dan Azela.
“Assalamualaikum, Nak Bayu... Azela,” sapa Umi dengan suara lembut.
“Waalaikumsalam, Mi...” Bayu membungkuk ringan. Azela menyambut lebih pelan, senyumnya kaku. “Waalaikumsalam, Umi...”
Tanpa banyak basa-basi, Umi Fatimah langsung menggenggam tangan menantunya erat, menatap penuh selidik.
“Nduk, kamu sakit apa? Umi khawatir. Sampai Mas Bayu nggak ngajar.”
Azela menatap Bayu. Napasnya terasa pendek. Mereka belum sempat menyamakan cerita mereka.
Bayu tanggap. Ia menjawab dengan tenang, meski dadanya berdebar.
“Azela sedang hamil, Mi. Tadi pagi sempat keram perutnya, jadi Mas bawa ke dokter kandungan.”
“Alhamdulillaaah...” gumam Umi Fatimah langsung tersungkur duduk di karpet ruang tamu. Matanya berbinar, tangannya spontan menepuk-nepuk bahu Bayu.
“Kamu dengar, Ai... Masmu mau jadi bapak!” ujar Umi ke arah Aila, yang hanya bisa mengangguk dan tersenyum kecil sambil menatap Azela.
Azela menunduk dalam. Hatinya bergetar. Ia tak tahu harus bahagia atau semakin malu. Sebab, ucapan selamat itu mengandung makna yang begitu dalam dan menyakitkan baginya.
Bayu hanya mengangguk, menelan perasaannya sendiri. Ia tak mungkin mengoreksi kegembiraan ibunya. Kebohongan ini adalah bentuk perlindungan.
“Tapi kamu yakin nggak papa, Nduk? Jangan terlalu banyak berdiri. Sudah masuk trimester pertama ini. Harus lebih banyak istirahat,” ujar Umi lembut sambil memeriksa pergelangan tangan Azela.
“I-iya, Mi. InsyaAllah Azela baik-baik saja,” jawab Azela gugup.
“Nah, kalau gitu, Umi nginep sini dulu ya... dua-tiga hari. Umi bantu ngurusin kamu. Biar Mas Bayu nggak repot sendiri.”
Azela membeku. Bayu mengernyit.
“Mi, nggak usah repot-repot. Saya bisa urus sendiri.”
“Ndak, ndak...! Denger ya, nduk... jadi mantu Umi itu berarti kamu anak Umi juga. Ini cucu pertama Umi... masa Umi cuma liatin dari jauh?” jawab Umi sambil mulai membuka tasnya, tanda tak bisa dibantah.
Aila hanya diam. Dia sadar atmosfer rumah Bayu berbeda. Tapi sebagai anak, ia hanya bisa manut pada sang Umi.
Beberapa menit kemudian.
Bayu dan Azela berdiri berdua di dapur.
“Apa kita kuat nutupin semua ini, Mas?” tanya Azela lirih, menggenggam gelas teh yang belum disentuh.
Bayu menatap lurus ke jendela. “Bukan soal kuat atau tidak, Ze. Tapi ini bentuk kita menjaga wajah orangtua. Aib harus ditutup, bukan diumbar. Cukup Allah yang tahu. Yang penting, jangan sampai Umi tahu usia kehamilanmu.”
Azela mengangguk perlahan. “Terima kasih... Mas Bayu.”
Bayu tak menjawab. Ia hanya melangkah pergi ke kamar, untuk menata kembali posisinya sebagai ‘suami’ yang tampak wajar di hadapan ibunya. Karena hari itu, ia tahu... drama mereka baru saja dimulai.
Cahaya matahari sore menerobos kaca jendela dapur. Umi Fatimah sudah sibuk di sana, mengiris bawang dengan cekatan, sesekali mencium aroma sayur bening yang mendidih di panci.
Azela berdiri canggung di dekat rak piring, berusaha membantu, tapi tangannya masih kaku.
“Nak Zela, kamu duduk saja ya. Lagi isi, jangan terlalu banyak berdiri,” ujar Umi sambil tersenyum ramah, “Kalau kamu kecapekan, nanti Mas Bayu yang kena omel. Kan kasihan dia.”
Azela mengangguk pelan. Tapi rasa sungkan di dadanya makin menggunung.
“Umi...” panggilnya pelan. “Maaf kalau Azela belum bisa jadi menantu yang Umi harapkan.”
Umi Fatimah langsung menoleh. Ia menatap Azela dengan sorot hangat yang tak menghakimi sedikit pun.
“Nduk... denger ya,” ucap Umi sambil duduk di bangku rotan di sudut dapur, “Perempuan itu bukan dinilai dari seapa kamu. Tapi dari keinginan dia memperbaiki diri. Dan kamu, sudah jadi istri anak Umi. Itu sudah cukup. Sekarang kamu cuma butuh satu hal...”
Azela menatap dengan mata berkaca.
“Belajar.” Umi tersenyum. “Belajar jadi istri salihah. Belajar jadi ibu yang baik. Belajar jadi wanita tangguh. Kalau kamu niat karena Allah, semua pasti ada jalannya.”
Azela tak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir diam-diam.
Umi Fatimah mengelus punggung Azela perlahan. Tak tahu bahwa tangis menantunya itu bukan semata karena haru, tapi karena malu. Karena semua kebaikan itu... berdiri di atas kenyataan yang disembunyikan.
Sebelum senja datang.
Umi menemani Azela makan di ruang makan kecil. Aila duduk di samping, ikut membantu menyendokkan sayur bening ke piring Azela.
“Kata Mas Bayu, kamu minta diajarin agama, apa benar...?” tanya Umi sambil menyuap nasi ke mulutnya.
Azela mengangguk. “Iya, Mi. Azela ingin belajar pelan-pelan. Supaya bisa jadi ibu yang nggak cuma pintar secara ilmu kedokteran... tapi juga bisa ngajarin anak mengenal Tuhannya.”
Umi Fatimah tersenyum bahagia. “MasyaAllah... Umi senang dengarnya. Mas Bayu itu insyaAllah bisa jadi guru yang baik. Tapi kamu juga harus siap. Anaknya tegas dan dingin.”
Aila tertawa kecil. “Umi aja sering kena semprot kalau lupa jadwal ngaji.”
Azela mengangguk, sedikit tersenyum. Dalam hatinya muncul sedikit rasa hangat. Mungkin, ini semua adalah awal dari lembaran hidup baru yang lebih baik.
Meskipun status pernikahannya tak seindah harapan, tapi ia berjanji... akan memperbaiki diri semampu yang ia bisa. Setidaknya, demi buah hatinya yang sedang tumbuh di dalam rahim, dan demi rasa hormatnya pada sosok Bayu, pria yang tak mencintainya, tapi tak juga pernah merendahkannya.
Malam hari di kamar utama…
Cahaya temaram dari lampu tidur menyinari ruangan dengan samar. Azela berbaring di atas ranjang, membelakangi Bayu yang menggelar sajadah dan karpet tipis di sisi dekat jendela. Udara dingin menelusup lewat celah angin malam, namun tak ada yang membuka suara. Hening, kecanggungan merambat perlahan seperti kabut yang tak mau pergi.
Bayu memejamkan mata, tapi tidak tertidur. Sementara Azela berkali-kali membalik tubuhnya, resah oleh sesuatu yang tak bisa ia tenangkan.
Pukul satu dini hari, Azela terbangun. Matanya nanar menatap Bayu yang tidur berselimut tipis. Udara malam semakin menusuk. Ia bangkit perlahan dari ranjang, mengambil selimut cadangan di lemari, lalu mendekat dan meletakkan selimut itu ke tubuh Bayu dengan hati-hati. Gerakannya pelan, nyaris tak bersuara.
Lalu, ia membungkuk sedikit, berbisik lirih tepat di samping wajah suaminya.
“Terima kasih, Mas… karena tetap memperlakukanku dengan hormat… meski aku tahu aku bukan siapa-siapa di hatimu. Aku bersyukur… setidaknya Allah memilihkan laki-laki sebaik Mas Bayu untuk menjaga aku dan anak ini...”
Tangis kecil terdengar tertahan. Azela cepat-cepat menghapus air matanya dan kembali naik ke ranjang.
Namun, Bayu membuka matanya perlahan. Ternyata sejak tadi dia tidak benar-benar tidur.
Pria itu menatap langit-langit kamar, diam. Hatinya terasa sesak. Bukan karena kata-kata Azela… tapi karena wajah seseorang terus hadir di pikirannya. Senyuman itu, sorot mata itu, suara lembut yang selalu menggetarkan hatinya. Perempuan yang tak pernah tahu bahwa Bayu selalu menanti… meski tahu cintanya tak bersambut.
“Astagfirullah…” gumamnya dalam hati.
Bayu menarik nafas panjang, menatap jendela yang gelap. Ia merasa asing di ruangannya sendiri. Perasaan di hatinya terlalu ruwet untuk dicarikan nama.