Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Bayangan Masa Lalu
Malam itu, ruang makan keluarga terasa sedikit lebih hening dari biasanya. Aroma sup yang mengepul dari panci besar di tengah meja tidak cukup menghangatkan suasana.
Semuanya duduk di tempatnya masing-masing, tetapi percakapan yang mengalir lebih terasa seperti sebuah formalitas.
Saat makan malam dimulai, Elmira menyesap sup ikan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya pelan di atas piring. "Rasa sup nya sedikit hambar malam ini. Tolong sampaikan ke dapur untuk lebih teliti lain kali.
"Baik, Nyonya," ucap salah satu pelayan sambil mengangguk sopan. Tangannya masih sibuk menyusun piring di atas meja makan.
Elmira lalu menoleh ke arahnya dan berkata. "Vilya, kalau kamu ingin makan sesuatu yang berbeda, atau belum terbiasa dengan masakan di sini, silakan bilang saja pada pelayan."
Gadis itu hanya mengangguk ringan. "Baiklah," jawabnya tanpa ekspresi, seolah tidak tertarik memperpanjang percakapan.
Elmira masih menahan senyumnya. "Kamu belanja cukup banyak hari ini. Kalau suatu saat kamu butuh uang tambahan, jangan sungkan bilang pada Bibi."
"Uangku masih cukup untuk dipakai." Ucapannya tenang.
Kemudian Elmira kembali berkata, "Menghabiskan puluhan juta dalam sehari bukan hal yang aneh, apalagi untuk perempuan. Kadang, memanjakan diri itu perlu," ujar Elmira dengan senyum tipis yang terjaga.
Elmira sempat melirik ke arah Marvin yang hanya menunduk, menyentuh makanannya tanpa suara. Wajah suaminya tak menunjukkan komentar apa pun, tapi sorot matanya seolah menahan sesuatu yang tak terucap.
Di sisi lain, Arlon mengangkat wajahnya sebentar, keningnya tampak berkerut tipis. Tak ada ucapan yang keluar, hanya tatapan diam yang mengarah padanya.
Elmira memang sengaja mengungkit hal tersebut di depan mereka.
“Hari ini aku menghabiskan banyak uang untuk belanja,” ucapnya sambil menatap Ayahnya tanpa mengalihkan pandangan. “Apa aku perlu melaporkan semua pengeluaran pada Ayah mulai sekarang?”
"Tidak perlu," jawab Marvin singkat. Ia memang tak menuntut laporan apa pun darinya, hanya saja, dia tidak senang dengan perilaku putrinya yang boros.
Elena melirik ke arahnya dengan ekspresi tidak senang diwajahnya. Matanya menyorot sinis. "Kamu jelas membeli begitu banyak barang mewah yang bahkan nggak kamu butuhkan," ucapnya, suaranya terdengar seperti sindiran yang sudah lama tertahan.
Tanpa menoleh, gadis itu hanya meraih sendok dan menyendok sup ke dalam mulutnya. Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya—ia memilih diam, karena tidak semua hal perlu di jelaskan.
Merasa diabaikan begitu saja, Elena makin kesal. Namun bukannya meluapkan amarah, ia menarik napas singkat lalu menoleh ke arah ayahnya dengan senyum tipis. “Ayah, tadi Arabelle bilang dia mau main ke rumah besok. Katanya ingin berkunjung.”
Sendok di tangan gadis itu jatuh ke dalam mangkuk. Suara kecil itu membuat semua orang di meja makan menoleh sejenak.
“Maaf, tanganku licin,” ucapnya datar, sebelum kembali mengambil sendok dan menyuapkan sup ke mulutnya dengan tenang.
Ibu tiri di seberang meja ikut bicara dengan nada pura-pura prihatin. “Padahal sudah berkali-kali kubilang, dia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja bersikeras datang. Mungkin memang salahku, terlalu sering memanjakannya.”
Marvin berdeham pelan lalu berkata, “Elena, kalau ada waktu luang, ajak kakakmu dan kenalkan dia pada Arabelle. Kalian seumuran, pasti bisa saling mengenal lebih baik.”
“Baik, Ayah,” sahut Elena cepat, dengan senyum samar yang sulit ditebak. Ia menoleh sekilas ke arah Vilya. “Aku dan Arabelle akan memastikan Kakak merasa nyaman.”
Tanpa berkata banyak, Vilya meletakkan sendok dan berdiri dari kursinya. "Aku sudah kenyang. Silakan lanjutkan,” ucapnya singkat. Ia bangkit dan kembali ke kamarnya.
Begitu pintu kamar tertutup rapat, tangannya mengepal dan menghantam dinding. Nyeri yang terasa tak sebanding dengan amarah yang mengendap di dadanya.
Arabelle.
Nama itu membakar ingatannya.
Semua penghinaan dan siksaan dari kehidupan sebelumnya kembali satu per satu. Ia masih bisa merasakan dinginnya anggur yang ditumpahkan ke kepalanya. Masih teringat jelas tawa gadis itu ketika memperlihatkan sebuah foto memalukan miliknya lalu menyebarkannya ke hadapan semua orang.
Bayangan masa lalu langsung muncul di benaknya, begitu jelas seolah belum lama terjadi.
Ia bersumpah, Arabelle akan membayar semua yang pernah ia lakukan padanya.