NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka di Hati

Udara di rumah kecil milik Tante Rina sejuk dan damai. Di luar, pohon-pohon rindang meneduhkan halaman, dan suara burung terdengar setiap pagi. Jauh dari pusat kota. Jauh dari berita, gedung tinggi, dan Arka.

Namun tak satu pun dari ketenangan itu benar-benar menyembuhkan gejolak dalam tubuhku. Kehamilan ini... tidak mudah.

Malam pertama aku tinggal di sini, aku terbangun pukul dua dini hari dengan tubuh menggigil. Suhu badanku naik. Keringat dingin membasahi leher dan punggung. Aku mencoba berdiri tapi lututku gemetar, tubuhku terasa seperti dililit selimut panas.

Tante Rina segera masuk, panik. “Nayra! Kamu demam, Nak. Kita ke klinik sekarang.”

“Aku bisa tahan... Tante,” sahutku pelan, meski bibirku bergetar.

Kami akhirnya ke klinik desa. Dokter jaga langsung memeriksa dan memberi obat penurun panas. Untungnya, setelah dua jam istirahat dan kompres, suhu tubuhku perlahan menurun.

“Ini normal ya, Bu Nayra,” kata dokter wanita paruh baya itu.

“Tapi harus lebih hati-hati. Ibu hamil dengan kondisi tubuh lelah dan stres tinggi, rentan kena infeksi ringan atau imun drop.”

Aku hanya mengangguk. Tak ingin menyalahkan siapa pun. Tapi dalam hati, aku tahu ini bukan hanya kehamilan yang berat. Ini luka batin yang belum sempat sembuh.

***

Pagi harinya, aku duduk di bangku kayu di teras rumah, membelai perutku yang belum terlihat menonjol, tapi sudah mulai terasa berbeda.

“Selamat pagi, Nak,” bisikku.

“Mungkin kamu belum bisa dengar suara Mama, tapi Mama janji Mama akan sembuh dari semuanya, dari keraguan, dari ketakutan, dari cinta yang pernah terlalu keras.”

Air mataku menetes lagi, bukan karena sedih, tapi karena rindu.

Rindu akan seseorang yang kucintai, yang juga telah menyakitiku dengan cara paling halus perhatian yang membekap.

***

Setiap malam, demam itu kembali datang seperti teman lama yang tak tahu waktu.

Tante Rina selalu berjaga di luar kamarku. Menyiapkan air hangat, mengompres dahi, dan memijat punggungku saat nyeri datang tiba-tiba.

“Kalau kamu terus begini, Nay, kamu harus pikirkan juga soal mental kamu. Bukan cuma fisik,” ujar Tante suatu malam.

Aku mengangguk. “Aku tahu, Tante. Aku cuma belum siap balik. Aku takut dia belum benar-benar berubah.”

Tante Rina menggenggam tanganku.

“Cinta bisa sembuh. Tapi kalau cinta itu menyakitimu terus, kamu juga berhak memilih untuk sembuh sendiri. Termasuk kamu. Termasuk Arka.”

Aku menatap wajah wanita yang sejak kecil menjadi ibu kedua bagiku. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai berpikir bagaimana jika aku tidak kembali?

***

Seminggu berlalu.

Aku mulai rajin menulis surat di jurnal. Bukan untuk dikirim. Tapi untuk menyampaikan rindu yang tak bisa kuteriakkan.

"Ka, hari ini anak kita gerak sedikit. Atau mungkin aku cuma sensitif. Tapi rasanya aneh. Di saat tubuhku panas dingin setiap malam, ada bagian di dalamku yang hidup. Yang mengingatkan aku bahwa cinta kita belum mati.”

"Tapi cinta yang belum mati bukan berarti bisa langsung dipeluk kembali.”

Di malam kedelapan sejak aku pergi, aku terbangun dengan keringat dingin. Tapi kali ini berbeda.

Tubuhku tidak hanya demam. Aku merasakan kram tajam di bagian bawah perut. Aku menjerit kecil. Tante Rina langsung masuk.

“Nayra! Kamu pucat sekali!”

“Aku... aku sakit banget... perutku...,” suaraku gemetar.

Tante panik, langsung menelepon mobil klinik. Kami dibawa ke rumah sakit daerah. Dokter segera memeriksa detak jantung janin.

“Masih stabil. Tapi Ibu mengalami kontraksi ringan dini. Mungkin karena tekanan emosional dan fisik yang berlebihan. Ibu harus benar-benar bedrest dan jangan stres dulu. Kalau tidak, ada risiko kehamilan lemah.”

Mendengar itu, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku nyaris kehilangan anak kami dan semua ini karena aku kabur. Karena aku menanggung semuanya sendiri.

***

Keesokan paginya, aku membuka ponsel yang sempat kumatikan selama beberapa hari terakhir. Membuka blokir Arka.

Ada 38 panggilan tak terjawab dari Arka.

Ada 11 pesan suara.

Dan satu email yang hanya terdiri dari satu kalimat.

“Tolong beri aku kesempatan belajar menenangkanmu, bukan menahanmu.”

Hatiku remuk dan untuk pertama kalinya, aku membalas pesannya.

"Aku di rumah Tante Rina. Aku hamil tujuh minggu. Aku baik-baik saja. Tapi aku belum siap pulang. Mungkin nanti. Mungkin belum. Tapi aku tidak benci kamu.”

Tidak lama setelah itu, ponselku berdering. Layar ponsel menampilkan nama Arka.

Aku menatap layar itu cukup lama. Jari telunjukku gemetar.

Ku hapus air mata yang sudah menggenang di pipi, lalu aku angkat.

***

“Ka…” Suara Nayra dari seberang telepon terdengar pelan, serak, dan begitu lemah hingga seketika Arka berdiri dari kursi kerjanya.

“Nayra? Kamu kenapa? Kamu sakit?”

“Hanya… kelelahan,” jawab Nayra singkat. “Aku baru pulang dari rumah sakit.”

Arka menggenggam ponsel lebih erat. “Rumah sakit?! Kamu masuk rumah sakit?! Kamu...kamu baik-baik aja, kan? Janinnya? anak kita, Nayra...dia baik-baik aja, kan?!”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang.

“Ya… masih. Tapi dokter bilang aku kontraksi dini. Kelelahan dan tekanan emosional.”

Jantung Arka seperti ditusuk dari dalam.

“Nayra, tolong, aku ke sana sekarang. Aku bawa kamu ke rumah sakit yang lebih lengkap. Kamu butuh dokter kandungan terbaik. Rumah Tante Rina terlalu jauh dari pusat fasilitas. Aku akan jemput sekarang juga.”

Tapi jawaban Nayra membuat langkahnya terhenti.

“Kalau kamu datang ke rumah ini, aku akan pergi, Ka.”

Suara Nayra tetap pelan, tapi tegas.

“Dan kali ini aku tidak akan meninggalkan jejak.”

Arka terdiam.

“Nayra…”

“Ka, tolong. Aku tahu kamu khawatir. Aku tahu kamu ingin menjaga aku. Tapi kamu harus percaya, menjaga bukan berarti mengejar terus-menerus. Menjaga juga bisa dari kejauhan. Dengan menahan diri. Dengan belajar percaya.”

Arka terduduk kembali. Lututnya lemas. Ia menyandarkan kepalanya ke meja kerja, menutup matanya rapat-rapat.

Tapi Nayra belum selesai bicara.

“Aku butuh waktu, Ka. Butuh ruang. Bukan karena aku ingin lari. Tapi karena aku ingin sembuh. Untuk anak kita juga.”

***

Arka menghabiskan malam itu dalam kegelisahan. Ia membuka berkas-berkas lamanya hanya untuk mencari kesibukan, tapi pikirannya tetap tertambat pada satu hal yaitu Nayra, yang sedang mengandung anaknya, sedang sakit, dan jauh dari jangkauannya.

Ia kembali memutar rekaman suara Nayra dari panggilan barusan.

“Kalau kamu datang ke rumah ini, aku akan pergi.”

Kata-kata itu menghantam keras di dadanya. Ia tahu Nayra serius dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arka merasa bahwa cintanya hanya bisa bertahan jika ia belajar menahan diri.

***

Keesokan harinya, Arka memutuskan mengambil cuti dari semua proyek.

Ia datang ke tempat konseling pribadinya, duduk di ruangan kecil berbau lavender, dan berkata tanpa pembukaan panjang:

“Saya kehilangan istri saya. Bukan karena dia selingkuh. Bukan karena saya jahat. Tapi karena saya terlalu mencintai sampai-sampai dia tidak bisa bernapas.”

Psikolog di depannya mengangguk pelan.

“Kamu siap untuk belajar mencintai dengan cara baru?”

Arka mengangguk.

“Saya akan belajar. Bahkan jika itu artinya hanya bisa mencintai dari kejauhan untuk sekarang.”

***

Sementara itu, di rumah kecil di kaki bukit, Nayra kembali bangun dini hari dengan tubuh panas dan jantung berdebar. Tapi malam ini berbeda.

Karena ketika Tante Rina mengompresnya, Nayra menggenggam tangan wanita itu dan berkata pelan, “Tante, aku kangen Arka.”

Tante Rina tersenyum penuh pemahaman. “Kadang kita butuh jarak bukan untuk pergi. Tapi untuk melihat siapa yang tetap berdiri di ujung jalan menunggu.”

Nayra memejamkan mata. Membayangkan Arka berdiri di kejauhan, menggenggam sesuatu di dadanya, tapi tidak melangkah mendekat. Menunggu dengan sabar. Karena kali ini cinta yang dewasa tahu ruang bukan berarti kehilangan.

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!