SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MISI SESUNGGUHNYA
“Semuanya sudah siap?” tanya Gerald sembari menarik pelana kudanya, suara siaga tapi matanya masih menyisakan sisa kantuk.
Tepat tengah malam, mereka bertiga berkumpul di tempat tersembunyi dekat kandang kuda. Udara dingin menusuk, tapi semangat mereka menghangatkan malam itu.
Benson menjatuhkan tas bawaannya ke tanah.
Dug!
“Aduh, berat sekali… ini misi atau pindahan rumah?” keluhnya, menepuk-nepuk punggung yang pegal.
Jaden yang sudah duduk tenang di atas kudanya hanya mengangkat alis. “Kau bawa apa saja, Benson?”
“Bekal, selimut, alat masak, sabun, tiga pasang sandal, karena perjalanan ini akan panjang.” Benson menyeringai bangga.
Gerald melirik tajam. “Tinggalkan semua itu, kau akan repot.”
“Tidak bisa, aku tidak ingin kelaparan dan kedinginan.”
Belum sempat Gerald merespons, suara langkah kecil terdengar dari kejauhan. Mereka bertiga menoleh serempak.
Seorang sosok kecil berlari tergesa dengan ransel di punggung dan pedang yang nyaris lebih besar dari tubuhnya.
“Sudah kuduga,” gumam Jaden pelan.
Daren terengah saat sampai di hadapan mereka. Rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya penuh semangat.
“Saya datang,” katanya tegas, meski napasnya tak teratur.
Gerald menatapnya tajam, dahinya berkerut.
“Kau pikir ini permainan? Ini bukan latihan di barak, Daren! Ini hutan! Liar! Gelap! Penuh bahaya!”
Daren menunduk, tapi tetap berdiri tegap. “Saya sudah siap. Dan saya tidak akan merepotkan.”
Gerald membuka mulut, hendak menolak. Tapi Jaden mengangkat tangan pelan, menghentikan.
“Biar dia ikut,” katanya tenang. “Kalau dia cukup berani mengejar kita malam-malam, dia layak satu tempat.”
Benson yang biasanya bercanda, kali ini menatap ke depan dengan wajah lebih serius dari biasanya.
"Pangeran," katanya, suaranya terdengar lebih berat, "jika kita berhasil... jika kita bisa membawa pulang burung kerajaan itu kembali dan gadis ini ikut serta dan selamat... kita akan mendapat penghormatan. Bukan sekadar pujian... tapi penghormatan yang sakral. Dari istana. Dari rakyat. Bahkan dari sejarah."
Gerald tak langsung menjawab. Ia menatap jalan di depan, namun ekor matanya melirik ke arah Daren yang masih duduk diam di belakangnya, tangan kecil itu mencengkeram mantap di pinggangnya.
Dalam hatinya, suara itu bergema pelan.
“Gadis ini..."
Sosok yang ia anggap remeh beberapa minggu lalu. Anak kecil dekil dari barak pelatihan yang tak pernah tersenyum, tapi selalu datang lebih pagi dari yang lain. Gadis kecil yang tubuhnya penuh memar tapi tak pernah mengeluh. Gadis kecil… yang sekarang duduk di kudanya, membawa pedang yang terlalu berat, dan tekad yang terlalu besar untuk usianya.
Kenapa kau sekeras batu, tapi tetap bertahan?
“Naik,” kata Gerald datar sambil mengulurkan tangan.
Daren menatap tangan itu sejenak, lalu menggenggamnya dan naik perlahan. Kakinya berayun sulit mencapai pijakan, dan pedangnya yang besar hampir mencolok kepala Gerald saat ia mencoba duduk tegak.
“Pelan… pelan! Pedangmu hampir membuatku menjadi Pangeran tanpa wajah,” gerutu Gerald.
“Maaf…” Daren tertunduk canggung, lalu akhirnya duduk di belakang Gerald dengan rapi, tangannya mencengkeram ringan pada pinggang sang putra mahkota.
Gerald diam beberapa detik, lalu menoleh sedikit, tidak bisa sepenuhnya melihat ke belakang. “Pegangan yang kuat. Aku tak mau kau terbang kalau kuda ini meloncat.”
Daren mengangguk cepat. Tapi setelah beberapa detik, ia masih terlalu ragu untuk memegang erat.
Gerald mendesah. “Aku bilang pegangan yang kuat, bukan seperti memegang daun.”
Benson yang melihat itu dari belakang tertawa. “Pangeran, kau terlalu tegang. Itu anak kecil, bukan musuh.”
Jaden menimpali pelan, “Atau mungkin kau gugup ditunggangi gadis kecil.”
Gerald hanya melotot ke arah keduanya. “Diam kalian.”
Kuda mulai berjalan pelan, lalu berlari perlahan mengikuti irama malam.
Daren akhirnya menggenggam dengan benar. Ia bersandar sedikit ke punggung Gerald, mencoba menyesuaikan diri dengan irama gerakan kuda.
Setelah beberapa saat, Daren berbisik, “Pangeran... ”
“Hm?”
“Terima kasih…”
Gerald tidak langsung menjawab. Tapi Daren bisa merasakan tubuh pria muda itu sedikit rileks.
“Aku tidak bertanggung jawab kalau kau jatuh. Tapi… tetaplah dekat. Jangan membuatku menyesal membiarkanmu ikut.”
Daren mengangguk, meski tahu Gerald tidak bisa melihatnya.
Di belakang mereka, Benson masih mengomel karena sandal cadangannya jatuh entah di mana. Jaden hanya menghela napas panjang.
Dan di atas kuda, di bawah langit malam penuh bintang, untuk pertama kalinya Daren merasa… ia punya tempat. Meski hanya di pinggir pelana seorang putra mahkota yang sangat gegabah.
“Peganganmu mulai longgar.” kata Gerald. Ia fokus menunggangi kuda, tapi merasakan tangan Daren yang sedikit melonggarkan pegangannya.
Daren cepat-cepat menggenggam lebih erat, membuat Gerald nyaris tersedak napas karena terlalu kencang.
“Astaga, bukan dicekik!” protesnya.
Benson tertawa dari belakang. “Ternyata kalian cocok juga! Seperti kuda dan pelananya!”
Jaden menggeleng. “Kuda dan pelana tak pernah saling membentak, Ben.”
“Aku serius,” Benson bersikeras. “Mungkin suatu hari nanti gadis ini bisa menjadi pelindung keluarga kerajaan atau mungkin lebih. Siapa tahu?”
Daren terkejut. “Aku? Pelindung kerajaan?”
“Kau lebih tabah dari banyak orang dewasa yang kutahu,” jawab Jaden ringan.
Gerald diam. Tapi hatinya, untuk sesaat, tidak sekaku biasanya. Ia menatap bulan yang menggantung tinggi di atas kepala mereka dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak merasa sendiri dalam misinya.
Malam ini dimulai sebagai pelarian.
Tapi siapa tahu, mungkin akan berakhir sebagai awal dari sebuah legenda.
Mereka melaju dalam keheningan, hanya suara derap kuda dan desir angin malam yang menemani. Langit mulai dipenuhi bintang, dan bau tanah lembap mulai terasa saat mereka mendekati hutan kecil pertama.
Benson tiba-tiba bersuara, suaranya santai tapi nada sindirannya jelas terasa.
“Aku penasaran… apa reaksi adikmu nanti, jika kita pulang dengan burung itu di tangan?”
Gerald tidak langsung menanggapi. Rahangnya mengeras, namun ia tetap menatap ke depan.
“Petrus, adikmu dari selir ayahmu,” lanjut Benson seolah menambahkan bumbu. “Bayangkan wajahnya… saat melihat kau mendapat pujian dan dia cuma jadi bayangan di belakang.”
Jaden tertawa singkat. “Dia bahkan bukan bayangan. Lebih cocok disebut beban.”
Gerald menarik nafas, panjang. “Cukup!”
Benson mengangkat bahu, tidak merasa bersalah. “Aku hanya bilang apa yang dipikirkan semua orang.”
“Petrus tidak berguna,” sahut Jaden tanpa emosi. “Terlalu sibuk mengejar gelar, lupa bagaimana cara memegang pedang dengan benar.”
Gerald mengatupkan bibir, ekspresinya datar, tapi tatapannya berubah tajam. “Dia tetap adikku.”
“Adik, ya. Tapi bukan saudara seperjuangan,” timpal Benson, kali ini nadanya sedikit serius.
Daren yang duduk di belakang Gerald hanya diam, tapi telinganya mendengarkan setiap kata. Nama Petrus terpatri jelas di benaknya. Adik dari selir… bukan dari permaisuri… berebut pengakuan?
Tapi ia tidak bertanya. Tidak menyela.
Ia hanya menggenggam erat pinggang snag Putra Mahkota dan berpikir:
Orang seperti diriku bisa dibela Komandan Kanel… tapi mengapa keluarga sendiri malah saling menjatuhkan?
Gerald melirik ke belakang, sejenak menatap gadis kecil yang terlihat tenang di balik punggungnya. Entah kenapa, kehadiran Daren membuat pikirannya tak semendung biasanya.
Ia mengalihkan pandangan kembali ke jalan di depan. “Jangan pedulikan Petrus. Kita punya urusan yang lebih penting malam ini.”
Mereka pun melaju lebih dalam ke jalur sunyi, meninggalkan bayangan istana, memasuki hutan yang gelap dan misterius. Tempat legenda burung kerajaan menunggu.
Dari balik kabut, terdengar suara gemerisik aneh... bukan hewan, bukan angin, lalu sepasang mata merah menyala muncul di kegelapan... dan perlahan bergerak mengikuti mereka.