Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Masa Kecil
"Yah ... hujannya makin deras lagi. Mana tempat jualannya masih jauh," lirih Adelia pelan.
Rintik hujan telah berganti dengan derasnya air yang membasahi kota dingin di gelapnya malam.
Adelia tidak membawa mantel hujan. Ia memilih menunggu di sebuah halte bus sampai hujan reda. Namun sialnya, hujan semakin deras. Percikan air dapat membasahi sebagian tubuhnya.
"Aduh ... dingin sekali lagi. Andaikan Reyhan pulang. Jadi ada mobil di rumah," bisiknya pelan.
Tepat saat berdiri, sebuah mobil sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Menyambar percikan air deras. Sampai Adelia basah kuyup.
"Argh, ya ampun!" Adelia hanya menutupi wajah dengan kedua tangannya. Namun, di bawah cahaya lampu halte bus, tubuh mulusnya terlihat jelas di balik dress putih yang ia kenakan.
"Yah ... malah jadi kaya abis mandi. Dingin banget lagi." Tubuhnya bergetar. Terduduk sambil memeluk tubuhnya yang basah kuyup.
Beberapa detik kemudian, seorang pria bertubuh tinggi turun dari mobil sport hitam miliknya. Membawa sebuah payung. Dan memayungi Adelia dengan tiba-tiba.
Sebagian tubuhnya basah oleh air mengalir dari payung. Adelia menatap, ia tidak mengenali pria itu.
"Kamu siapa?"
"Del? Kau tidak lagi mengenaliku?"
Adelia berdiri di bawah payung yang sama. Dengan posisi jarak yang dekat. Mata mereka saling menatap. Pria itu tersenyum manis.
"Ngapain malam-malam di luar? Mana hujan lagi."
Adelia melirik ke arah mobil sport hitam yang terparkir tidak jauh darinya. "Kamu sengaja ya nyiram aku pake mobil mewahmu itu?"
"Nggak, Del. Aku nggak sengaja. Tapi kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Buat apa di sini? Motormu rusak?"
Adelia menggeleng. "Aku tidak ingin bilang. Lagipula kita tidak saling kenal. Kenapa kamu bisa memanggil namamu sedekat itu? Kamu kenal aku?"
"Maaf. Aku tadi tergesa-gesa. Sungguh kamu nggak kenal aku lagi, Del?"
Adelia mencoba mengingat hingga menatap pria bertubuh tinggi lebih lama. Namun tetap saja, ia sama sekali tidak mengenal.
Di tengah keheningan. Hanya ada suara air deras yang mengguyur. Adelia sadar ia terlalu lama bersama dengan pria asing.
"Kamu pria mesum yang mau cari kesempatan, kan? Aku bisa saja teriak."
Pria itu terkekeh. "Astaga ... imut sekali. Del, sungguh tidak lagi mengenaliku?"
Adelia hanya menggeleng. Pria itu mengeluarkan sebuah gambar dari dalam dompetnya dengan tangan setengah basah.
Memperlihatkan sebuah photo kenangan di masa lalu. Di mana seorang anak laki-laki gendut dan gadis kecil yang imut, saling tersenyum dengan memegang mainan masing-masing.
"Itu wajahku. Jadi kamu ... Vin, Vincent? Tapi kamu dulu gendut. Bagaimana sekarang jadi seperti—"
"Seperti pangeran tampan maksudmu?" Vincent Jeremy tertawa lepas. "Tentu saja aku bisa seperti ini, Delia. Dulu ... kamu selalu memintaku menghabiskan sisa makananmu setiap waktu. Ah kamu berdosa padaku, Del."
Adelia terkekeh geli ketika mengingat momen masa kecilnya dulu. "Tapi beneran, Vin. Aku sama sekali nggak ngenalin kamu. Terlalu ... berbeda."
"Aku tahu itu. Perbedaanku hanya fisik, Del. Tapi aku tetap Vincent—si anak laki-laki yang selalu kamu paksa makan agar ibumu tidak marah saat makananmu nggak abis."
"Maaf..." Adelia tersenyum kecil sambil menutup mulutnya. "Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa ada di sini? Bukannya lagi di Belanda ya?"
Vincent Jeremy—teman masa kecil sekaligus tetangga dekat keluarga Adelia. Mereka sekeluarga memilih pindah ke Belanda setelah menyelesaikan jenjang pendidikan dasar, hingga pertemanan itu bubar.
Adelia sama sekali tidak mendapatkan kabar tentang Vincent. Namun sebaliknya, Vincent tahu segala hal tentang Adelia. Pria keturunan blasteran itu sekarang sedang menjalankan bisnis barunya di pinggiran kota—tidak jauh dari tempat Adelia tempati.
"Del, masuk ke mobil yuk! Hujannya makin deras. Ditambah bajumu udah basah. Nanti masuk angin."
"Nggak apa-apa kok. Aku cuma mau ke tempat jualan. Mau beli soto ayam sama sate kambing. Takutnya ... keburu tutup lagi."
"Kamu lagi ngidam ya? Perutmu ada isi, kan?"
"Darimana kamu tahu, Vin?"
Vincent tersenyum. "Aku sudah bilang sebelumnya, Del. Aku tahu segalanya tentangmu. Tanpa kamu beritahu pun, aku sudah tahu."
"Oh diam-diam kamu cari tahu aku, ya? Terus tadi kamu pasti sengaja nyiram aku pake mobil mewahmu itu, begitu?"
"Nggak! Itu tadi beneran nggak sengaja. Rupanya setelah aku lihat ternyata temanku dulu."
"Beneran?" Adelia memastikan.
Vincent mengangguk pelan. "Ya udah ayo ke mobil. Nanti aku yang belikan makanan apapun kamu mau."
"Motorku gimana? Nanti diculik dong."
"Del ... tenang saja. Nanti tinggal suruh orang buat ambil motor kesayanganmu itu. Ayo!"
Adelia mengangguk. Ikut masuk ke dalam mobi yang sama. Sebelum ke tempat makanan yang Adelia inginkan, Vincent terus-menerus memaksa untuk membelikan gaun baru.
Meskipun sempat menolak, namun Adelia sadar kalau tubuhnya terlihat jelas dari balik dress putih yang basah.
Vincent tidak hanya membeli satu gaun, melainkan sepuluh. Adelia menolak keras, tetapi Vincent memaksa. Berkata kalau itu sebagai hadiah dari teman kecilnya.
Makanan yang Adelia inginkan juga sudah tercapai. Wanita itu makan dengan lahap, Vincent hanya menatap sambil tersenyum bahagia.
"Udah kelar ngidamnya? Sekarang kita mau ke mana?"
"Pulang. Ke mana lagi?"
"Beneran kamu mau langsung pulang, Del? Enggak mau ketemu keluargaku dulu? Mama dan papa sering membicarakanmu."
"Memangnya mereka juga ada di sini, Vin?"
Vincent menggeleng pelan. "Nggak. Tapi, aku bisa video call mereka sekarang. Kamu mau?"
Mengangguk dengan cepat. Adelia berbaur lebih banyak bersama keluarga kecil Vincent. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara—adiknya perempuan, dan dari keluarga harmonis.
Pembicaraan mereka memakan sedikit waktu. Adelia banyak bercerita tentang masa kecil mereka saat Vincent selalu saja menjadi pelindung sisa makanan.
Kedekatan itu membuat Adelia seperti kembali ke masa lalu dulu. Di mana saat ia masih memiliki keluarga yang utuh, tidak seperti sekarang.
Hingga tidak tersadar, Adelia meneteskan air mata. Begitupun dengan ibunya—Vincent dari balik telepon. Mengakhiri panggilan dengan sedikit drama.
"Udah puas ngomongnya? Mereka itu masih sering bahas kamu, Del. Sebenarnya mama juga ingin ngajak kamu ke Belanda dulu. Cuma kamu tahu sendiri kalau keluargamu sama sekali tidak ingin kamu jauh ... aku bisa memakluminya."
"Nggak apa-apa kok, Vin. Bisa ngobrol di telepon aja rasanya udah senang banget. Rasanya seperti ... aku kembali ke masa kecilku dulu yang paling sempurna."
"Sekarang pun kamu sempurna, Del," bisik Vincent hampir sepenuhnya tak terdengar oleh Adelia.
"Apa katamu barusan?"
"Oh nggak! Aku nggak bilang apa-apa. Ya sudah sekarang kita ke mana? Pulang?"
"Aku mau pulang, tapi di rumah ... suamiku juga nggak pulang."
"Terus kamu mau aku temani sampai pagi?" tanya Vincent dengan sedikit bergurau. "Kalau kamu mau aku temani di telepon juga boleh. Mana nomermu, Del?"
"Ah kamu ini. Ya sudah ini nomerku. Makasih banyak atas waktunya malam ini, Vin. Kalau seandainya tadi kita nggak ketemu. Mungkin ... tempat jualannya tutup."
"Itu artinya takdir tidak ingin memisahkan kita sepenuhnya, Del. Ya sudah ayo kita pulang."
Adelia hanya mengangguk. Ia pun yakin takdir tidak akan semudah itu bisa mempertemukan seseorang tanpa ada tujuan di baliknya.
Malam berlalu dengan cepat. Adelia tiba di rumah sambil tersenyum saat melihat begitu banyak barang belanjaan yang sedang berserakan di atas kasurnya.
Lain halnya dengan Vincent. Ia masih menatap dari jarak jauh ke arah rumah Adelia. Ia tidak benar-benar pergi.
"Kasian kamu, Del. Andaikan aku dulu tidak pergi. Mungkin ... kamu tidak sendirian sekarang. Tapi aku, harus mencari pria itu," lirihnya pelan dengan penuh tekad.