Aluna, 23 tahun, adalah mahasiswi semester akhir desain komunikasi visual yang magang di perusahaan branding ternama di Jakarta. Di sana, ia bertemu Revan Aditya, CEO muda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti drama. Aluna yang ceria dan penuh ide segar justru menarik perhatian Revan dengan caranya sendiri. Tapi hubungan mereka diuji oleh perbedaan status, masa lalu Revan yang belum selesai, dan fakta bahwa Aluna adalah bagian dari trauma masa lalu Revan membuatnya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Revan akhirnya tiba di apartemen. Ia membuka pintu pelan, langkahnya menyusuri lorong yang sunyi dengan hati yang berat. Begitu sampai di ruang tengah, pandangannya langsung jatuh pada sosok Aluna yang tertidur di sofa.
Wajah itu... , Sekali lagi bayangan masa lalu muncul. Ingatan samar-samar kejadian kecelakaan beberapa tahun lalu seolah kembali mencabik jantungnya.
Enggak ..., aku nggak bisa begini terus ....
Revan berdiri beberapa saat, hanya memandangi Aluna dalam diam. Ada desir perasaan bersalah yang membakar dadanya perlahan. Satu sisi dirinya ingin membangunkan perempuan itu, memeluknya, dan meminta maaf atas semua kesedihan dan luka yang telah ia torehkan. Tapi sisi lain—sisi pengecut yang selama ini berdiam di dalam dirinya—menahannya.
"Apa dengan begini kamu akan memaafkan ku, atau kamu akan malah membenciku selamanya!?" gumamnya pelan nyaris berbisik.
Pelan-pelan, Revan melepas jaketnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Ia mendekati Aluna, jongkok di depannya, dan nyaris menyentuh tangan gadis itu, tapi kembali mengurungkan niat.
Aluna menggeliat pelan, matanya membuka setengah, sedikit terkejut melihat Revan di hadapannya.
"Kamu ....., pulang?" tapi segera meralatnya, "Maksud saya, pak Revan sudah pulang?"
Revan mengangguk pelan. “Iya. kenapa tidur di sini? Bukankah Bastian sudah memintamu untuk tidak menungguku?"
Aluna bangkit dengan gerakan lemah. Tatapan matanya masih belum sepenuhnya fokus, tapi nada suaranya tenang, nyaris hambar. “Maaf saya lupa."
"Jangan suka menyiksa diri untuk orang lain." ucap Revan lalu duduk di sofa,ia memijat keningnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak minum. Aluna bisa mencium aroma alkohol yang menyeruak dari bibir pria itu. Ia pun berdiri, melangkah ke dapur tanpa berkata apa-apa lagi. Revan hanya bisa mengikuti langkahnya dari ekor matanya. Tapi sebelum Aluna benar-benar masuk ke dapur, ia berbalik.
"Saya lihat di apartemen ada dua kamar, apa boleh saya tidur di kamar yang sebelah?"
Revan terdiam. Lalu mengangguk.
Aluna kembali melanjutkan langkahnya setelah mendapat jawaban dari pemilik rumah, ia akan membuatkan air perasan lemon hangat untuk meredakan mabuk bos sekaligus suaminya itu.
Setelah beberapa saat Aluna kembali menghampiri Revan yang masih duduk di sofa dengan mata terpejam, "Minumlah."
Mata Revan terbuka setelah mendengar suara Aluna, ia pun meraih gelas dari tangan Aluna dan segera meminumnya, bagaimanapun ia memang butuh itu untuk meredakan mabuknya, karena besok pagi-pagi sekali ia harus menghadiri meeting penting.
"Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari dighosting suami sendiri? Melihat kamu nyaman di tempat lain... sementara aku nungguin kamu di sini." ucap Aluna dengan nada bercanda meskipun isinya sebuah sindiran. Ini hari pertama mereka menikah tapi pria yang berstatus sebagai suaminya itu malah pergi dari siang hingga larut malam tanpa penjelasan yang pasti.
Meskipun nada suara gadis itu terdengar bercanda tapi kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hati Revan perlahan. Ia ingin membela diri, tapi ia tahu Aluna benar. Ia pantas marah, pantas kecewa.
"Jangan banyak menuntut," seharusnya bukan itu yang ia katakan, tapi egonya rupanya lebih mendominasi dirinya. Bibirnya terasa kaku hanya untuk mengatakan maaf.
Aluna menghela nafas pasrah, bagaimanapun pernikahan mereka hanya sebuah perjanjian, "Ya sudahlah, saya mengerti. Untuk kedepanya akan lebih baik jika kita tidak saling ikut campur urusan masing-masing."
Sunyi kembali menyelimuti ruangan. Hanya terdengar desah napas mereka berdua.
"Saya ngantuk, mau lanjut tidur. Kalau kamu mau pergi lagi, jangan lupa buat kunci pintu." ucap Aluna kemudian masuk ke dalam kamar sebelah yang ia minta tadi. meskipun mereka sudah menikah tapi hubungan mereka tidak seperti itu, dan pastinya akan terasa canggung jika mereka harus tidur satu kamar.
****
Pagi itu langit mendung. Udara terasa dingin dan lembab. Aroma kopi perlahan menguar dari dapur. Aluna berdiri di depan minibar sembari mengaduk kopi, sarapan sudah siap tinggal menunggu penghuni apartemen satunya.
"Apa dia akan terlambat bangun?" gumamnya pelan.
"Tapi dia kan gila kerja, mana mungkin sampai bangun kesiangan." Aluna menjawab sendiri kata-katanya.
Akhirnya yang di tunggu keluar juga, pria dingin itu keluar dari kamarnya dengan stelan jas rapi lengkap, langkahnya terhenti begitu melihat Aluna yang berdiri di dapur sambil menyusun roti panggang di atas piring.
"Pagi ....," sapa Revan. Untuk pertama kalinya pria itu menggunakan bahasa manusia.
Aluna tak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk menyusun roti panggang di atas piring. Baru setelah itu ia mengangkat piringnya,
"Sarapan dulu, pak." ucapnya sambil tersenyum sumringah seperti biasanya. Gadis itu benar-benar seperti tidak ada beban dalam hidupnya.
Revan tidak menjawab, ia hanya berjalan pelan, mengambil posisi duduk di meja makan.
Aluna berdecak, ada yang pria sedingin es seperti itu ...
"Kamu biasa minum kopi kan?" tanya Aluna sembari berjalan ke meja makan sembari meletakkan secangkir kopi di depan Revan.
Revan hanya menatap kopi itu dengan tatapan sulit diartikan,
"Kenapa, nggak suka kopi ya? Ya udah aku ambil lagi." ucap Aluna yang hendak mengambil kembali kopi itu, tapi dengan cepat tangan Revan menahan tangan Aluna membuat mereka saling berpandangan dan saling diam, suasana menjadi beku sesaat hingga Revan melepaskan tangan Aluna.
"Aku akan meminumnya." ucap Revan dan mengambil cangkir itu mulai menyesap kopi perlahan.
"Aku mau ini setiap hari," ucap Revan singkat tapi mampu membuat hidup Aluna berhenti sejenak. Untuk pertama kalinya seseorang menghargai jerih payahnya sendiri. Aluna tersenyum ringan mendengar ucapan Revan dan kembali melanjutkan sarapannya.
Bersambung
Happy reading