Cerita cinta seorang duda dewasa dengan seorang gadis polos hingga ke akar-akarnya. Yang dibumbui dengan cerita komedi romantis yang siap memanjakan para pembaca semua 😘😘😘
Nismara Dewani Hayati, gadis berusia 20 tahun itu selalu mengalami hal-hal pelik dalam hidupnya. Setelah kepergian sang bunda, membuat kehidupannya semakin terasa seperti berada di dalam kerak neraka akibat sang ayah yang memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tidak hanya di situ, lilitan hutang sang ayah yang sejak dulu memiliki hobi berjudi membuatnya semakin terpuruk dalam penderitaan itu.
Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan Mara dengan seorang duda tampan berusia 37 tahun yang membuat hari-harinya terasa jauh berwarna. Mungkinkah duda itu merupakan kebahagiaan yang selama ini Mara cari? Ataukah hanya sepenggal kisah yang bisa membuat Mara merasakan kebahagiaan meski hanya sesaat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TCSD 14 : Di Dalam Gua
"Apa? Jadi kalian gagal menangkap Pramono, Mara dan juga Baskara? Anak buah macam apa kalian ini? Padahal aku sudah memberikan imbalan yang begitu besar untuk kalian, namun mengapa kalian sama sekali tidak becus dalam menjalankan tugas kalian?"
Rahang Karta terlihat semakin mengeras dan telapak tangan mengepal kuat-kuat. Lelaki yang hampir masuk usia senja itu benar-benar tidak menyangka jika semua anak buah yang ia kerahkan gagal menangkap Pramono dan yang lainnya.
"Maafkan kami, Juragan. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menangkap mereka, namun sepertinya mereka memiliki ilmu menghilang. Karena pergerakan mereka tidak meninggalkan jejak sama sekali."
"Ilmu apa yang kalian maksud? Mereka tidak memakai ilmu-ilmu seperti itu. Kalian saja yang tidak becus mengejar mereka."
Beberapa anak buah Karta saling melempar pandangan. Dari raut wajah yang terpancar, mereka begitu takut jika sampai sang majikan murka. Jika sampai ia murka, pastinya mereka tidak akan pernah mendapatkan bonus lagi.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan Juragan?"
"Terus kejar Pramono dan yang lainnya sampai tertangkap. Jika perlu di seluruh penjuru wilayah ini. Selain itu, kalian pergilah ke rumah Tanti. Katakan padanya, agar esok ia datang menemuiku."
Anak buah Karta mengangguk mantap. "Baik Juragan."
***
"Maaf Pak, Bu... Bolehkah saya menumpang satu malam di sini?"
Dengan nafas terengah-engah, Pramono tiba di salah satu rumah penduduk di desa kecil yang berada di balik hutan. Sekuat tenaga Pramono menggendong tubuh Baskara untuk bisa menemukan sebuah tempat yang bisa ia gunakan untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah terasa begitu kelelahan.
Dua orang paruh baya yang kebetulan sedang berbincang-bincang di sebuah lincak yang berada di beranda rumah, mengedarkan pandangan mereka ke arah Pramono. Keduanya nampak sedikit terkejut karena di malam hari seperti ini, mereka kedatangan tamu yang sama sekali tidak mereka kenal dan tiba-tiba meminta izin untuk bermalam.
"Maaf, Anda-Anda ini siapa? Dan mengapa malam-malam seperti ini Anda bertandang ke rumah kami?"
Salah seorang wanita yang duduk di lincak itu sedikit khawatir jika yang datang adalah salah satu penjahat yang sedang berpura-pura tersesat atau sedang minta pertolongan.
Pramono mengulas sedikit senyumnya sambil menurunkan Baskara dari gendongannya dan ia dudukkan di salah satu kursi dari rotan yang berada di teras rumah ini. "Saya Pramono Bu. Saya tinggal di desa sebelah. Namun ada suatu hal yang membuat kami dikejar-kejar oleh beberapa orang. Hal itulah yang membuat kami malam-malam seperti ini meminta pertolongan."
Kedua orang itu menatap lekat-lekat Pramono dan Baskara kemudian saling melempar pandangan. Mereka mencoba mencari kebohongan dari dua orang yang ada di hadapan mereka ini. Namun yang mereka lihat adalah raut wajah yang penuh kejujuran.
Lelaki paruh baya yang merupakan pemilik rumah ini menghela nafas dalam. Ia nampaknya tidak sampai hati jika tidak menolong Pramono dan Baskara. "Baiklah kalau begitu. Malam ini, kalian bisa bermalam di sini. Namun aku hanya bisa mengizinkan kalian untuk beristirahat di teras."
Pramono tersenyum simpul. Mendapatkan izin untuk beristirahat dan bermalam di sini saja, ia sudah sangat berterima kasih sekali.."Tidak mengapa Pak, meskipun hanya di depan teras, saya sudah sangat bersyukur karena mendapatkan tempat untuk beristirahat. Terimakasih banyak Pak, Bu. Terimakasih."
Kedua paruh baya pemilik rumah itupun hanya mengangguk pelan, kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
"Pak, tidak apa-apa ya untuk sementara waktu kita bermalam di sini?" Ucap Pramono kepada Baskara yang mulai merebahkan tubuhnya di atas lincak.
Baskara hanya mengangguk pelan. "Terimakasih banyak, Nak."
Tanpa sadar, setetes bulir bening dari sudut mata Baskara lolos begitu saja. Keadaan seperti ini justru semakin membuat hati lelaki paruh baya itu semakin mencelos. Ternyata di sisa hidupnya ini, ia masih dipertemukan dengan orang-orang baik meskipun ia bukanlah seorang lelaki bahkan seorang ayah yang baik.
"Sudah, tidak perlu menangis Pak. Saya percaya bahwa Mara akan baik-baik saja. Dan tidak lama lagi kita akan berkumpul kembali."
Mendengar Pram menyebut nama sang anak, justru semakin membuat air mata lelaki paruh baya itu mengalir deras. Sebagai seorang ayah, ia merasa telah gagal menjadi seorang ayah yang baik untuk sang putri. Sosok seorang ayah yang seharusnya bisa melintas putrinya dari keras dan kejamnya kehidupan ini, justru keadaan seperti neraka lah yang ia hadirkan untuk putri semata wayangnya.
Mara, jika saat ini Tuhan mencabut nyawa ayah, setidaknya ayah akan pergi dengan tenang, karena bisa melihatmu selamat dari juragan Karta. Semoga setelah ini, hanya akan ada kebahagiaan di dalam hidupmu, Nak.
"Pak Bas, ini sudah terlalu malam. Sekarang pak Bas istirahatlah. Esok, akan kita lanjutkan kembali perjalanan kita ke kota."
Baskara menurut. Meskipun hatinya masih diliputi oleh rasa cemas karena belum mendengar tentang keberadaan sang anak, namun ia mencoba untuk memejamkan mata, memeluk mimpi.
***
"Tuan, jika Tuan merasa lelah lebih baik kita beristirahat terlebih dahulu!"
Dewa masih mencoba untuk berlari kencang menembus pekatnya malam sembari menggendong tubuh wanita yang ia anggap sebagai bidadari yang turun dari khayangan. Meskipun rasanya begitu lelah, namun niatnya untuk menyelamatkan gadis ini seakan memupus semua yang ia rasakan. Lelaki itu sungguh tidak perduli jika otot-otot betisnya sudah mulai menegang, punggungnya terasa pegal dan juga peluhnya jatuh bercucuran. Entah sejak kapan Dewa menjadi sosok lelaki yang penuh dengan kepedulian seperti ini. Padahal biasanya ia hanyalah sosok lelaki acuh yang tidak mau tahu dengan urusan orang lain. Namun untuk Mara, lelaki itu sepertinya mengesampingkan bahkan melupakan rasa tidak pedulinya terhadap orang lain.
"Jika kita beristirahat, kamu bisa tertangkap oleh anak buah juragan Karta. Apa kamu mau?"
"Tapi Tuan, sepertinya suara orang-orang yang kita dengar tadi tidak mengejar kita. Apakah mungkin jika mereka bukan anak buah juragan Karta?"
Mendengar Mara berujar sesuatu, tiba-tiba Dewa menghentikan langkah kakinya. Ia berusaha menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya dengan oksigen dalam jumlah banyak.
"Jika mereka bukan anak buah Karta, lalu mereka siapa?"
Mara merotasikan kedua bola matanya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Bisa jadi para polisi hutan yang sedang berpatroli atau mungkin orang-orang yang akan mendirikan tenda di dekat curug , Tuan. Karena biasanya banyak orang-orang yang mendirikan tenda di sana sambil menikmati nuansa yang berada di sekitar curug."
Dewa mencoba mencerna ucapan Mara. Memang ada benarnya yang dikatakan oleh gadis ini. Karena, jika yang mengejar adalah anak buah juragan Karta, pasti mereka sudah ikut berlarian untuk menangkap dirinya dan juga Mara. "Lalu, sekarang kita harus bagaimana?"
"Lebih baik kita beristirahat sejenak Tuan. Saya rasa Tuan sudah teramat kelelahan menggendong saya." Tubuh Mara sedikit menggeliat, bermaksud untuk turun dari gendongan Dewa.
"Kamu mau apa? Jangan bergerak-gerak seperti ini!"
"Turunkan saya Tuan. Saya bisa berjalan sendiri."
Pada akhirnya, Dewa menurunkan tubuh Mara. Gadis itu melihat-lihat suasana sekitar, dan pandangan matanya menangkap sebuah gua kecil yang sepertinya bisa ia gunakan untuk berlindung.
"Tuan, lihatlah! Di sana ada gua kecil. Bagaimana kalau kita beristirahat di sana?" Ucap Mara sambil menunjuk ke arah gua yang ia lihat tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Pandangan mata Dewa mengikuti arah telunjuk Mara, dan benar saja ada sebuah gua kecil di sana. "Kamu yakin akan beristirahat di sana? Apa kamu tidak khawatir jika di sana banyak terdapat hewan-hewan berbahaya, seperti ular, kalajengking, dan yang lainnya?"
"Sepertinya gua itu akan aman Tuan. Lagipula di sana kita bisa sama-sama mengistirahatkan tubuh kita dengan berbaring."
Hooaaaammmm...
Tetiba Mara menguap dan mengucek-ucek matanya. Pemandangan seperti ini, justru semakin membuat Dewa merasa semakin gemas dengan gadis di hadapannya ini. Wajah Mara seperti semakin menggemaskan, layaknya seorang anak kecil yang sedang menahan rasa kantuknya.
"Apakah kamu mengantuk?"
Dengan cepat, Mara menganggukkan kepalanya. "Iya Tuan, saya benar-benar mengantuk."
Dewa membuang nafas kasar. Sepertinya kali ini, ia akan menuruti keinginan Mara untuk beristirahat di dalam gua itu. "Baiklah. Mari kita ke sana."
***
Dewa duduk manis sambil memperhatikan dengan lekat apa yang dikerjakan oleh gadis di hadapannya ini. Sedari tadi gadis ini terlihat sibuk mengumpulkan ranting-ranting pohon yang akan ia jadikan sebuah api unggun. Tidak hanya itu, si gadis juga berhasil membawa ubi jalar berwarna ungu, yang entah dari mana ia mendapatkan itu.
Dua buah batu Mara gesekkan hingga menimbulkan percikan api, dan seketika api unggun itu telah jadi di hadapan mereka. Tidak lupa, ubi jalar yang berhasil ia temukan, ia letakkan di atas api agar menjadi ubi bakar.
"Tuan, tunggu sampai ubi ini matang terlebih dahulu, setelah itu Tuan bisa beristirahat. Saya rasa, Tuan juga tengah merasakan lapar."
Dewa memegangi perutnya, benar saja semua penghuni di dalam perutnya seakan berdemo minta diisi. "Ya, sepertinya memang begitu."
Dewa menatap takjub gadis yang ada di hadapannya ini. Gadis ini seakan tahu banyak bagaimana caranya bertahan hidup di dalam hutan seperti ini. Dewa berpikir, jika sampai tiga bulan ia tersesat di hutan ini, ia akan tetap bertahan hidup, asalkan dengan gadis ini.
"Nah, sudah matang. Silakan dimakan, Tuan!" Ucap Mara sambil menyodorkan ubi bakar ke arah Dewa. Dan Dewa pun menerimanya dengan penuh rasa syukur.
"Hmmmmm enak juga ubi ini. Apakah ubi ini merupakan jenis ubi yang berbeda dengan ubi-ubi yang dijual di pasaran?"
Mara tersenyum simpul. "Ubi ini terasa lebih nikmat bukan karena berbeda jenis dengan ubi yang dijual di pasaran, Tuan. Namun terasa lebih enak karena kita menikmatinya dalam keadaan lapar. Sesederhana apapun makanan yang masuk melalui mulut kita, di saat kita tengah kelaparan, pasti akan terasa jauh lebih nikmat."
Dewa hanya tertawa renyah mendengarkan ucapan Mara. "Ya, semua yang kamu katakan itu memang benar."
"Tuan, sepertinya tadi ada pembahasan yang belum selesai kita bahas."
Dewa mengernyitkan keningnya. "Benarkah? Apa itu?"
"Apa yang harus saya lakukan, untuk berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan akan memberi saya tumpangan sampai ke Bogor?"
"Aku ingin kamu menemaniku untuk mengunjungi beberapa tempat yang berada di sini. Apakah kamu bersedia? Ya anggap saja kamu bekerja sebagai pemandu wisata."
"Hanya itu saja?"
"Iya, itu saja. Karena aku pikir, ada baiknya jika aku mengajak orang asli daerah sini, agar tidak terlalu banyak bertanya untuk menunjukkan jalan."
Mara terlihat sejenak berpikir. "Baiklah kalau begitu Tuan."
Setelah ubi jalar yang ia nikmati habis tanpa sisa, Mara bangkit dari posisi duduknya. Tanpa membuang banyak waktu, ia mulai melepaskan lilitan jarik yang ia pakai. Dewa yang melihat hal itu mendadak wajahnya dipenuhi oleh keterkejutan.
"Hei, apa yang akan kamu lakukan? Mengapa kamu melepaskan lilitan kain yang kamu pakai ini? Tolong jangan lakukan itu, aku tidak ingin berbuat macam-macam."
Mara hanya memasang wajah penuh tanda tanya. Ia teramat tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Dewa. "Tuan berbicara apa? Saya melepaskan lilitan jarik ini agar bisa menjadi alas untuk tidur. Memang Tuan mau, kalau tidur tanpa alas?"
Mara memperlihatkan legging hitam yang ia kenakan. "Lihatlah Tuan, saya memakai dalaman." Ucap Mara sambil menggelar kain jarik itu agar bisa menjadi alas untuk tidur.
Wajah Dewa berubah pias, ternyata ia salah kira dengan apa yang dilakukan oleh Mara. "Oh seperti itu? Aku kira...."
Dewa menjeda ucapannya tatkala melihat Mara mulai membuka kancing kebaya yang ia pakai. Lelaki itu terperangah. Mulutnya menganga lebar. "Loh apa lagi yang akan kamu lakukan? Mengapa kamu melepaskan pakaianmu? Kamu ingin menggodaku dengan bertelanjang di hadapanku?"
Lagi, Mara hanya bisa berdecak. "Tuan jangan berpikir macam-macam. Saya tidak akan bertelanjang di hadapan Tuan. Lihatlah, saya juga mengenakan manset."
Setelah kebaya yang ia pakai lolos dari tubuhnya, Mara memperlihatkan sebuah manset tipis warna putih yang ia kenakan. Hal itu justru semakin membuat Dewa hanya bisa menelan salivanya kuat-kuat. Dua benda besar dan padat yang ada di tubuh Mara seakan semakin menggoda Dewa untuk bisa menyentuh, memegang, ataupun meremasnya.
Ya Tuhan... Apa gadis ini tidak sadar jika seperti ini justru semakin membuatku terangsang? Dengan pakaian tipis seperti itu, semakin menampakkan dengan jelas, apa yang tersimpan di balik manset yang ia kenakan. Dan itu.... Ya Tuhan.. Bra warna hitam yang dipakai gadis ini semakin nampak jelas.
Berkali-kali Dewa sibuk bermonolog dalam hati. Sampai-sampai ia tidak sadar, jika Mara sudah mulai melepaskan sanggulnya. Dan kini rambutnya terurai yang membuat gadis itu terlihat semakin cantik.
"Tuan, saya tidur terlebih dahulu. Saya sudah tidak kuat menahan kantuk."
Mara mulai merebahkan tubuhnya dan mengambil posisi miring, memunggungi Dewa. Dan tidak perlu menunggu waktu lama gadis itu sudah larut dalam mimpinya. Sedangkan Dewa, ia masih berupaya untuk mengendalikan perasaan asing yang tetiba menggelayuti hatinya. Tidak hanya itu, pisang tanduknya yang tiba-tiba menggeliat dan berdiri, seakan membuat Dewa semakin frustrasi.
Rasa kantuk dan lelah yang tetiba menyergapnya, membuat Dewa juga ingin bersegera beristirahat. Ia rebahkan tubuhnya di sisi Mara, mencondongkan tubuhnya untuk menghadap punggung gadis ini. Entah mengandung magnet apa tubuh gadis di hadapan Dewa ini. Yang membuat Dewa semakin mendekatkan tubuhnya di tubuh Mara. Ia peluk tubuh gadis ini dari belakang. Dan sesekali ia menyesap aroma tubuh gadis ini melalui ceruk leher yang saat ini menjadi tempat paling nyaman untuk membenamkan kepalanya.
Tuhan, jaga aku agar tidak melakukan sesuatu yang lebih jauh daripada ini.
.
.
. bersambung...
mengecewakan😡