NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Pelarian di Tengah Hujan

Pelarian di tengah hujan yang mulai turun dengan deras itu membawa mereka pada sebuah gerbang kayu lapuk yang bertuliskan Panti Asuhan Kasih Ibu. Air langit seolah tumpah tanpa ampun, menyapu jejak darah Arfan yang masih merembes dari balik kemejanya yang kini basah kuyup. Fatimah mencengkeram erat lengan Arfan, mencoba menopang tubuh pria itu agar tidak ambruk di atas tanah yang mulai berubah menjadi lumpur licin.

"Tahan sedikit lagi, Tuan Arfan. Kita sudah sampai," bisik Fatimah dengan suara yang gemetar karena kedinginan.

"Jangan pedulikan aku, Fatimah. Masuklah lebih dulu dan cari perlindungan," sahut Arfan dengan napas yang mulai tersengal sengal.

"Tidak akan! Kita masuk bersama sama atau tidak sama sekali," tegas Fatimah sambil mendorong pintu gerbang yang berderit nyaring.

Baskara bergerak dengan sigap di depan mereka, matanya yang tajam terus menyisir setiap sudut halaman yang gelap gulita. Ia tahu bahwa meskipun hujan sangat lebat, para pengejar dari keluarga Al-Fahri tidak akan berhenti mencari sampai mereka menemukan jasad atau tawanan. Dengan satu gerakan kuat, ia mengetuk pintu utama bangunan tua itu dengan pola ketukan yang sangat khusus.

"Siapa di luar malam malam begini?" sebuah suara parau bertanya dari balik pintu kayu yang tebal.

"Ini Baskara, Ibu Maryam. Teman lama Ibu Sarah membawa amanah yang sangat mendesak," jawab Baskara dengan nada bicara yang penuh penekanan.

"Baskara? Ya Tuhan, masuklah cepat cepat sebelum ada yang melihat!" seru wanita tua itu sambil menarik pintu hingga terbuka lebar.

Cahaya lampu minyak yang temaram segera menyambut mereka, memberikan sedikit rasa hangat bagi tubuh yang nyaris beku. Ibu Maryam terbelalak melihat kondisi Arfan yang berlumuran darah dan Fatimah yang mengenakan pakaian lusuh tertutup cadar hitam yang basah. Tanpa banyak bertanya, wanita tua itu segera mengarahkan mereka menuju sebuah ruang rahasia di bawah dapur yang tersembunyi di balik rak bumbu.

"Baringkan dia di sana. Aku akan mengambil air hangat dan kain bersih," perintah Ibu Maryam dengan langkah yang masih cekatan.

"Terima kasih, Ibu. Maaf kami harus merepotkanmu di saat seperti ini," ujar Baskara sambil membantu Arfan berbaring di atas dipan kayu.

"Simpan bicaramu, Baskara. Nyawa pria ini lebih penting sekarang daripada sekadar kata maaf," sahut Ibu Maryam tegas.

Fatimah segera berlutut di samping dipan, tangannya yang masih ternoda lumpur segera meraih kain bersih yang diberikan Ibu Maryam. Ia mencoba membuka kancing kemeja Arfan untuk membersihkan luka tembak di bahu pria itu, namun gerakannya terhenti saat melihat wajah Arfan yang semakin pucat pasi. Ketakutan luar biasa kembali menyerang nurani Fatimah, membayangkan jika Arfan harus meregang nyawa karena melindunginya.

"Tuan Arfan, tetaplah sadar. Jangan tutup matamu, saya mohon," tangis Fatimah pecah di balik kain cadarnya.

"Fatimah... jangan menangis. Ini hanya luka kecil, aku pernah mengalami yang lebih parah," canda Arfan dengan suara yang sangat parau.

"Anda berbohong! Darah ini tidak mau berhenti keluar," Fatimah menekan luka itu dengan kain putih hingga berubah menjadi merah pekat.

Ibu Maryam kembali membawa sebuah botol berisi cairan bening dan sebilah pisau kecil yang sudah dipanaskan di atas api. Ia menatap Fatimah sejenak, memberikan isyarat agar wanita muda itu memberikan ruang baginya untuk melakukan tindakan medis darurat. Sebagai mantan perawat di medan perang, Ibu Maryam tahu betul bahwa peluru itu harus segera dikeluarkan sebelum infeksi menyebar ke seluruh aliran darah.

"Pegang tangannya kuat kuat, Nak. Ini akan terasa sangat menyakitkan," perintah Ibu Maryam sambil mendekatkan pisau ke luka Arfan.

"Lakukan saja, Ibu. Saya siap," Arfan menggertakkan giginya, bersiap menahan rasa sakit yang akan menghujam syarafnya.

"Bismillah... tahan, Arfan!" Ibu Maryam mulai membedah kecil pinggiran luka tersebut.

Teriakan tertahan keluar dari mulut Arfan, tubuhnya mengejang hebat saat logam tajam itu menyentuh bagian dalam bahunya. Fatimah menggenggam erat tangan kiri Arfan, membiarkan kuku pria itu menancap di telapak tangannya sendiri sebagai pengalih rasa sakit. Air mata terus mengalir dari pelupuk mata Fatimah, jatuh membasahi sajadah tua yang menjadi alas tidur Arfan malam itu.

"Sedikit lagi... pelurunya sudah terlihat," gumam Ibu Maryam dengan keringat dingin yang membasahi keningnya.

"Argh! Cepatlah, Ibu!" Arfan mengerang, otot otot lehernya menegang sekeras kawat baja.

"Dapat!" Ibu Maryam menjatuhkan sebuah proyektil logam kecil ke dalam mangkuk kuningan, menimbulkan suara denting yang melegakan.

Suasana seketika menjadi hening, hanya suara hujan yang masih menderu di luar bangunan panti asuhan tersebut. Arfan jatuh pingsan karena kelelahan dan rasa sakit yang luar biasa, sementara napasnya mulai berangsur angsur menjadi lebih teratur. Ibu Maryam segera menjahit luka tersebut dengan benang khusus dan membalutnya dengan perban bersih yang telah ditaburi bubuk obat tradisional.

"Dia akan baik baik saja, dia pria yang sangat kuat. Sekarang, kamu juga harus mengganti pakaianmu, Nak," ujar Ibu Maryam lembut pada Fatimah.

"Saya ingin menemaninya di sini sebentar lagi, Ibu. Saya takut dia terbangun dan tidak melihat siapa siapa," jawab Fatimah pelan.

"Istirahatlah, Fatimah. Aku akan berjaga di depan bersama Baskara untuk memastikan tidak ada tikus yang mendekat," sela Baskara dari ambang pintu.

Fatimah mengangguk lemah, ia membiarkan Ibu Maryam menuntunnya ke sebuah kamar kecil yang berada tepat di atas ruang bawah tanah tersebut. Di dalam kamar itu, Fatimah melepas cadar dan kerudungnya yang berat karena air, memperlihatkan wajah aslinya yang penuh dengan guratan kesedihan. Ia menatap bayangannya di cermin tua, merasa asing dengan sosok Zahra yang kini telah bertransformasi menjadi Fatimah.

"Siapa sebenarnya aku sekarang? Apakah pelarian ini akan pernah berakhir?" bisiknya pada keheningan malam.

Ia teringat kembali pada masa lalunya yang mewah namun penuh dengan kepalsuan di dalam istana keluarga Al Fahri. Ayahnya, Pratama, adalah sosok yang tidak segan segan menghancurkan siapapun yang menghalangi jalannya, termasuk putrinya sendiri. Fatimah menyadari bahwa cadar yang ia kenakan bukan hanya sekadar penyamaran, tetapi juga benteng pelindung bagi jiwanya yang telah hancur berkali kali.

Setelah berganti pakaian dengan gamis sederhana milik salah satu anak panti, Fatimah kembali turun ke ruang bawah tanah dengan membawa segelas air putih. Ia melihat Arfan mulai mengigau di dalam tidurnya, menyebut nama Luna berulang ulang dengan nada suara yang penuh penyesalan. Fatimah duduk di samping dipan, merasa ada ikatan luka yang sama antara dirinya dan pengacara yang kini terbaring lemah itu.

"Siapa Luna, Tuan? Apakah dia wanita yang sangat berarti bagimu?" tanya Fatimah dalam hati sambil mengusap kening Arfan yang panas.

"Maafkan aku... Luna... aku terlambat," rintih Arfan di tengah tidurnya yang gelisah.

Fatimah terdiam, ia menyadari bahwa Arfan pun membawa beban masa lalu yang sangat berat, sama seperti dirinya yang dikejar oleh bayang bayang ayahnya sendiri. Tanpa sadar, ia mulai membacakan ayat ayat suci dengan suara yang sangat lembut, mencoba memberikan ketenangan bagi jiwa Arfan yang sedang bertarung dengan trauma. Alunan suara Fatimah seolah menjadi obat penenang yang mujarab, membuat kerutan di dahi Arfan perlahan lahan menghilang.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama ketika tiba tiba suara gonggongan anjing liar terdengar dari arah gerbang depan panti asuhan. Baskara segera memadamkan lampu minyak dan menarik senjatanya, memberikan isyarat agar semua orang tetap diam dan tidak bergerak sedikitpun. Detak jantung Fatimah kembali berdegup kencang, ia tahu bahwa hawa dingin di luar sana bukan hanya karena hujan, melainkan karena maut yang sedang mengintai.

"Mereka di sini," bisik Baskara melalui celah lubang intip di lantai dapur.

"Berapa orang, Baskara?" tanya Ibu Maryam dengan suara yang sangat rendah, hampir seperti desisan angin.

"Empat orang, semuanya bersenjata lengkap. Mereka sedang menyisir halaman samping," Baskara memberikan laporan dengan nada sangat serius.

Fatimah segera mematikan lampu di ruang bawah tanah dan bersembunyi di sudut yang paling gelap, sambil terus memegangi tangan Arfan yang masih belum sadarkan diri. Ia bisa mendengar langkah kaki berat di atas kepala mereka, suara kayu yang berderit karena beban tubuh manusia yang sedang mencari mangsa. Suasana menjadi sangat mencekam, seolah olah udara di dalam ruangan itu habis tersedot oleh ketakutan yang luar biasa.

"Pastikan setiap ruangan diperiksa! Jangan biarkan tikus tikus itu lolos lagi!" sebuah suara kasar terdengar dari arah dapur.

"Baik, Ketua! Kami akan memeriksa gudang belakang juga," sahut suara lainnya yang terdengar sangat dingin.

Fatimah menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah karena tekanan mental yang begitu hebat. Ia melihat Arfan mulai bergerak kecil, tanda bahwa pria itu mungkin akan segera terbangun dan bisa saja mengeluarkan suara yang membahayakan mereka. Dengan penuh keberanian, Fatimah mendekatkan wajahnya ke telinga Arfan dan membisikkan kata kata yang sangat lirih.

Cadar pertama untuk Zahra seolah menjadi beban yang sangat berat saat ia menyadari bahwa persembunyian ini baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!