Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga dari Sebuah Tanggung Jawab
Halden memilih diam sebagai caranya bertahan.
Pagi itu, ia berdiri di depan cermin, merapikan dasinya dengan tangan yang sedikit gemetar. Wajahnya tampak sama seperti hari-hari lain—rapi, tenang, terkendali. Tak ada yang tahu bahwa di balik kemeja bersih itu, hidupnya sedang terbelah dua.
Ia menatap pantulan dirinya lama.
*Ini tanggung jawabmu,* katanya dalam hati.
*Bukan pilihan lagi.*
---
Karina duduk di kursi ruang tunggu klinik kehamilan, jemarinya sibuk memainkan ujung tas. Saat melihat Halden mendekat, wajahnya tak menunjukkan senyum, tapi sorot matanya melembut—sesuatu yang tak pernah lagi Luna lihat sejak lama.
“Kamu telat,” ucap Karina datar.
“Macet,” jawab Halden singkat. Ia duduk di sebelahnya. “Kamu gimana? Pagi ini mual lagi?”
Karina mengangguk. “Sejak subuh.”
Halden berdiri tanpa diminta, menuju mesin minuman, lalu kembali dengan segelas teh hangat. “Minum pelan-pelan.”
Karina menatapnya. “Kamu nggak harus selalu nurutin aku.”
“Aku mau,” jawab Halden lirih. “Ini… caraku tanggung jawab.”
Kalimat itu menggantung di antara mereka. Karina tak membalas, hanya menerima gelas itu dan menyesapnya perlahan.
Saat nama Karina dipanggil, Halden ikut berdiri. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang pemeriksaan—sepasang calon orang tua di mata siapa pun yang melihat.
Dan di lorong itu—
Nathan berhenti melangkah.
Ia baru saja keluar dari bangsal lain ketika pandangannya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Halden. Dengan Karina. Bersama. Masuk ke ruang pemeriksaan kehamilan.
Langkah Nathan terhenti. Dadanya mengeras.
*Ruang kehamilan?*
Ia berdiri terpaku beberapa detik, memastikan matanya tak salah. Tangannya mengepal pelan. Otaknya langsung menarik satu nama.
*Luna.*
Namun Nathan tidak bergerak. Tidak mendekat. Tidak bertanya.
Belum.
---
Halden duduk di kursi kecil di samping ranjang periksa. Monitor USG menampilkan gambar yang kini terasa semakin nyata. Detak kecil itu terdengar jelas di ruangan sunyi.
Karina menoleh, menatap wajah Halden yang membeku.
“Itu jantungnya,” ucap dokter.
Halden menelan ludah. Ada rasa takut. Ada juga sesuatu yang lain—sesuatu yang tak ingin ia akui.
Setelah pemeriksaan selesai, Karina berdiri pelan. “Aku pengin makan bakso.”
Halden mengangguk tanpa ragu. “Di tempat biasa?”
“Iya. Yang sambalnya banyak.”
Halden hampir tersenyum.
Ia mengantar Karina makan, menunggu saat Karina mengidam, membelikan vitamin, mengantar pulang. Ia menyimpan semua struk di laci mobil. Menghapus riwayat pesan. Mengatur waktu dengan rapi—selalu di sela jam kerja, selalu dengan alasan rapat atau lembur.
Di rumah, ia tetap menjadi suami yang *hadir secukupnya*.
Dan itu yang paling menyakitkan.
---
Luna merasakan perubahan, meski belum tahu bentuknya.
Halden lebih sering diam. Lebih jarang menatap matanya. Namun justru lebih patuh—tak pernah menolak permintaan kecilnya, tak pernah membantah.
Itu membuat Luna gelisah.
Karena perhatian tanpa kehangatan terasa seperti hutang, bukan cinta.
Suatu sore, Luna duduk di kantin rumah sakit bersama Nathan. Mereka tak banyak bicara. Nathan terlihat gelisah, berbeda dari biasanya.
“Kamu kenapa?” tanya Luna akhirnya.
Nathan mengangkat wajahnya. Ragu jelas di matanya. “Nggak apa-apa.”
Luna menatapnya lama. “Kamu jelek bohong.”
Nathan tersenyum tipis, lalu menunduk. “Aku cuma… lagi mikir.”
Tentang kamu. Tentang suamimu. Tentang apa yang kulihat.
Tapi Nathan tidak mengatakannya.
Belum.
Ia belum yakin. Ia belum punya bukti selain satu pertemuan yang bisa saja punya seribu alasan. Dan ia tak mau melukai Luna dengan prasangka.
“Aku capek,” lanjut Luna pelan. “Kadang aku ngerasa sendirian, Nat. Bahkan di rumah sendiri.”
Nathan menahan napas. “Na… kalau suatu hari aku bilang sesuatu yang mungkin bikin kamu sakit… kamu bakal lebih milih tahu atau tetap tenang?”
Luna menatapnya, bingung. “Kenapa kamu nanya gitu?”
Nathan menggeleng cepat. “Nggak. Lupakan.”
Tapi Luna tidak lupa.
---
Malam itu, Halden kembali pulang lebih larut. Luna sudah tidur setengah terjaga.
“Kamu makan?” tanya Luna tanpa membuka mata.
“Udah,” jawab Halden.
Padahal yang ia makan terakhir adalah bakso dengan Karina, sambal berlebih, karena Karina bilang itu satu-satunya yang membuat mualnya reda.
Halden berdiri di sisi ranjang, menatap Luna lama. Ada rasa bersalah yang menyesakkan, tapi ia menekannya dalam-dalam.
*Sedikit lagi,* katanya pada dirinya sendiri.
*Asal semua aman.*
Di balkon, Halden membuka ponselnya.
**Karina:**
*Aku capek hari ini. Tapi aku senang kamu ada.*
Halden mengetik balasan singkat.
**Halden:**
*Istirahat yang cukup. Jangan lupa vitamin.*
Ia menyimpan ponsel, menghela napas panjang.
Ia tahu ia sedang bermain api.
Menjaga satu kehidupan, sambil mengkhianati kehidupan lain.
Dan di sudut kota yang sama, Nathan berdiri di parkiran rumah sakit, menatap ke arah gedung klinik kehamilan yang lampunya mulai redup.
Ia menggenggam kunci mobil erat-erat.
*Kalau ini benar,* pikirnya,
*aku harus pilih: melindungi Luna dari rasa sakit… atau dari kebohongan.*
Dan di antara mereka semua, kebenaran terus tumbuh
seperti janin kecil yang tak bisa disembunyikan selamanya.
------------
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang aneh.
Halden semakin lihai membagi waktu. Pagi untuk Luna, siang untuk Karina, malam kembali menjadi suami yang terlihat lelah tapi “bertanggung jawab”. Ia mengantar Karina kontrol, menunggu di parkiran saat Karina mual hebat, bahkan rela keluar tengah malam hanya karena Karina menginginkan mangga muda dengan garam.
“Maaf, aku nyusahin,” ujar Karina suatu malam saat Halden menyerahkan plastik berisi buah.
“Kamu nggak nyusahin,” jawab Halden refleks. “Ini anak aku juga.”
Karina menatapnya lama. “Kalau begitu, kenapa aku masih sendirian di foto USG?”
Halden tak menjawab.
Ia selalu diam ketika Karina mulai bicara tentang masa depan. Tentang nama bayi. Tentang kemungkinan sekolah. Tentang hari ketika perutnya tak bisa lagi disembunyikan. Diam adalah satu-satunya cara Halden bertahan tanpa harus memilih.
Sementara itu, Luna mulai mencatat hal-hal kecil yang mengganggunya.
Jam pulang Halden yang makin tak menentu.
Panggilan yang dijawab dengan suara pelan lalu ditutup cepat.
Kemeja yang kadang beraroma asing—bukan parfum, tapi bau rumah sakit yang berbeda dari bangsalnya.
Namun Luna menepis kecurigaannya sendiri. Ia lelah. Ia tak ingin mencurigai tanpa bukti. Ia masih ingin percaya.
Nathan tidak setenang itu.
Dua kali lagi ia melihat Halden di area yang sama. Sekali di apotek kehamilan, sekali di parkiran klinik. Selalu dengan Karina. Selalu dengan jarak yang terlalu dekat untuk sekadar “rekan”.
Nathan bahkan sempat mengikuti mereka dari jauh—cukup untuk melihat Halden membuka pintu mobil Karina, cukup untuk melihat tangan Karina menggenggam lengan Halden saat tertawa kecil.
Ia berhenti di sana.
Karena semakin jelas gambarnya, semakin berat tanggung jawabnya.
Malam itu, Nathan membuka chat Luna, jarinya menggantung lama di atas layar.
Ada begitu banyak kata yang ingin ia tulis.
Ada begitu banyak peringatan yang ingin ia berikan.
Namun yang terkirim hanya satu kalimat sederhana:
*Jangan lupa jaga diri kamu ya.*
Luna membalas dengan emoji senyum.
Dan justru itu yang membuat dada Nathan terasa perih.
Bab ini belum berakhir,
namun retakan sudah terbentuk.