Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 — Menata Nafas, Menata Langkah
Ketika notifikasi m-banking berbunyi siang itu, Zahwa langsung menatap layar tanpa berkedip.
Komisi dari Pak Arham: MASUK.
Nominalnya cukup besar, cukup untuk bernafas, cukup untuk hidup beberapa bulan, cukup untuk memulai lagi.
Zahwa menutup mulutnya, menahan isak yang tiba-tiba menyeruak.
Bukan karena uang itu, tapi karena rasa lega yang akhirnya menetes turun ke seluruh tubuh.
“Alhamdulillah… Ya Allah… terima kasih,” bisiknya lirih.
Bu Tiara yang sejak tadi menemaninya di dapur ikut tersenyum lega.
“Nah, kan. Rezeki tidak akan salah alamat. Bahkan kalau kamu dilempar sejauh apa pun, Allah tetap bisa menemukannya.”
Zahwa mengusap matanya.
Ia tahu ia tak bisa tinggal di rumah Bu Tiara terlalu lama.
Bu Tiara sudah sangat baik menjadi tempat persinggahan, tapi ia harus segera berdiri sendiri.
Begitu napas kembali stabil, ia mulai bertanya ke beberapa grup perumahan dan teman lama.
Bukan rumah besar, bukan apartemen mewah yang ia cari hanya:
• Tempat kecil tapi aman
• Ada dapur sederhana
• Cukup ruang untuk menyimpan stok frozen food
• Dan lingkungan yang tenang, jauh dari drama rumah tangga orang lain
Beberapa jam mencari, akhirnya ia menemukan satu kontrakan kecil di pinggir kota.
Rumah petak, sederhana, bersih, dengan satu kamar dan dapur yang meski mungil, tapi jendelanya besar, cakup cahaya, enak untuk masak dan bikin konten.
Pemiliknya, seorang ibu paruh baya, langsung menyambut Zahwa saat ia datang melihat.
“Kontrakan ini masih kosong, Nak. Kalau mau langsung huni juga boleh. Banyak ibu-ibu muda yang usaha makanan juga di sini. Aman, Insya Allah,” kata sang pemilik tersenyum ramah.
Zahwa mengangguk, melihat sekeliling.
Tidak ada perabot, tapi dindingnya bersih, lantainya halus, dan terasa damai.
Tempat ini… terasa seperti titik awal.
Ia langsung membayar sewa untuk beberapa bulan, sekaligus membeli beberapa perlengkapan dasar:
• kompor kecil
• panci dan wajan
• kulkas untuk stok frozen
• meja lipat serbaguna untuk cutting dan packing
• lampu ring sederhana untuk bikin konten
Sederhana, tapi lengkap.
Tidak mewah, tapi cukup untuk memulai.
Sore itu, saat kotak-kotak barang mulai ditaruh di lantai kontrakan kecilnya, Zahwa merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dalam hidupnya:
Kebebasan.
Tidak ada suara sindiran.
Tidak ada wajah dingin Farhan.
Tidak ada mata menuduh.
Tidak ada tekanan dari ibu mertua.
Tidak ada langkah kaki yang membuatnya merasa tidak layak.
Hanya ia… tugasnya… dan dapur kecil yang akan menjadi saksi kerja kerasnya.
Ia menata bumbu, satu per satu.
Ia membersihkan kulkas sambil sesekali tersenyum kecil.
Ia menata meja lipat sambil membayangkan konten pertamanya:
“Masakan Nusantara otentik untuk klien luar negeri.”
Ponselnya berbunyi, pesan dari Daniel :
> “Mbak Zahwa, terima kasih bersedia.
Ibu saya rindu masakan rumahan Indonesia.
Bisa kirim beberapa pilihan menu untuk sample?”
Zahwa mengetik cepat:
> “Insya Allah saya siapkan.
Saya akan kirim konsep menunya malam ini.”
Kemudian ia duduk sejenak di lantai yang belum ada karpetnya, memandangi calon dapur mungil tapi terang itu.
Kontrakan ini memang kecil.
Tapi justru dari sinilah hatinya mulai membesar kembali.
Hari pertama hidup baru Zahwa dimulai—dengan komisi sederhana, dapur sederhana, tapi semangat yang tidak lagi bisa ditahan siapa pun.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama…
Zahwa tidur tanpa rasa takut.