Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Mencoba Menarik Perhatian Lidya
Arjuna menoleh pada Jenny dengan tatapan sedingin es.
“Kamu pikir permintaan maaf bisa menyelesaikan semua ini? Kamu salah besar, Jenny. Kamu dan Tommy … sudah kelewat batas.”
Jenny terisak. “Saya bersedia lakukan apa saja, Pak Arjuna. Asal … asal jangan putuskan kontrak. Proyek ini terlalu besar untuk kami.”
Arjuna mendekat, suaranya tegas, menusuk.
“Mulai hari ini, tidak ada lagi kerja sama, sampaikan pada Tommy. Saya tidak peduli seberapa besar nilainya. Lebih baik saya kehilangan proyek, daripada terus berurusan dengan orang-orang kotor seperti kalian.”
Jenny terdiam, tubuhnya gemetar.
Arjuna mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
“Dan ingat baik-baik, jangan pernah dekati Lidya lagi. Kalau kamu berani menyentuh hidupnya … saya pastikan hidupmu sendiri yang akan hancur.”
Ia mengambil jaketnya, lalu berbalik meninggalkan restoran, menyusul Lidya yang sudah menghilang ke arah lift.
***
Setengah jam kemudian, “Sudah pesan mobilnya?” tanya Arjuna singkat saat mereka keluar dari lobi hotel.
“Sudah. Taksi online, lima menit lagi datang,” jawab Lidya tanpa menoleh, sibuk dengan ponselnya.
Arjuna mengangguk. Mereka berdiri bersebelahan, tapi seakan dipisahkan tembok tak kasatmata.
Sebuah mobil putih berhenti di depan. Sopir membuka kaca. “Taksi online, atas nama Lidya?”
“Ya, betul.” Lidya mengiyakan, lalu segera masuk ke kursi belakang tanpa menunggu Arjuna.
Arjuna menghela napas, lalu ikut duduk di sampingnya. Sopir memastikan alamat tujuan, “Bandara YAI, ya, Pak, Bu?”
“Iya, Mas,” jawab Arjuna singkat.
Mobil melaju, meninggalkan keramaian jalanan kota. Suasana di dalam mobil terasa sesak. Hanya suara radio pelan yang sesekali terdengar.
Arjuna mencoba membuka percakapan. “Koper di bagasi sudah aman. Tidak ada yang tertinggal.”
“Hmm,” sahut Lidya singkat, matanya tak lepas dari layar ponsel.
Biasanya Lidya akan sibuk membicarakan jadwal kerja, mengecek pertemuan klien, atau sekadar berdebat kecil soal itinerary. Tapi kali ini, hanya jemari yang sibuk di layar ponsel.
Arjuna menoleh sekilas. “Besok, kamu jangan langsung kerja. Kalau punggungmu masih sakit, lebih baik istirahat dulu di rumah.”
“Aku tahu,” balas Lidya datar.
Arjuna menahan diri. Ia tahu gadis itu sedang menjaga jarak karena marah padanya, tapi dinginnya tetap menohok.
***
Perjalanan 45 menit terasa panjang. Begitu mobil tiba di bandara, sopir segera menurunkan bagasi. Arjuna bergerak cepat mengambil koper Lidya.
“Biar aku saja—” Lidya sempat bicara, tapi langkahnya terhenti ketika rasa nyeri menusuk punggungnya.
“Jangan dipaksa,” potong Arjuna tegas. “Aku yang bawa.”
Lidya terdiam, membiarkan pria itu menarik koper.
Mereka masuk ke area bandara, langkahnya cepat tapi tanpa kata-kata.
“Sebentar Kak, aku mau beli oleh-oleh tambahan buat Mama,” ujar Lidya saat melihat counter oleh-oleh Yogyakarta.
Arjuna langsung mengangguk. “Pilih saja. Aku yang bayar.”
Lidya menoleh sekilas, ingin menolak, tapi akhirnya hanya menggumam, “Terserah.”
Ia mengambil bakpia, geplak, keripik tempe, juga gudeg kaleng. Tangannya cepat, seakan sengaja menumpuk lebih banyak dari biasanya.
Saat kasir menghitung, Lidya sudah mengeluarkan kartu debit. Tapi sebelum ia menyerahkan, Arjuna sudah lebih dulu meletakkan kartu debit miliknya di meja.
“Mbak, pakai ini saja.”
Kasir tersenyum menerima. Lidya menunduk, berpura-pura sibuk merapikan plastik belanjaannya.
“Biasanya juga aku bayar sendiri,” ucapnya pelan.
“Kali ini biarkan aku,” jawab Arjuna, nada suaranya datar tapi penuh tekanan.
***
Suasana bandara YAI pagi itu ramai. Penumpang lalu-lalang dengan koper dan tas jinjing masing-masing, suara pengumuman bergema di udara.
Lidya berjalan cepat ke arah counter check-in, menyeret koper kabinnya sendiri. Arjuna mengikuti di belakang, sambil menahan gejolak tak sabar yang makin terasa.
“Lidya, biar aku saja yang urus boarding pass,” ucap Arjuna setengah menahan nada.
Lidya berhenti sebentar, menoleh sekilas. “Tidak usah. Aku bisa sendiri.”
“Lid—”
“Aku mau pilih kursi sendiri.” Nada gadis itu dingin, lalu kembali melangkah menuju antrian.
Arjuna mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha meredam kesal. “Kenapa dia jadi begitu keras kepala?” batinnya merutuk.
Di counter, Lidya menyerahkan e-tiket dan identitasnya. Petugas menanyakan pilihan kursi.
“Di dekat jendela, baris paling belakang kelas bisnis,” jawab Lidya cepat.
Arjuna yang berdiri di samping hanya bisa menghela napas. Begitu gilirannya tiba, ia sengaja meminta kursi depan, agak jauh dari Lidya.
Ketika boarding pass di tangan, ia menatap sekilas. “Kita tidak duduk berdekatan.”
“Memang itu yang aku mau,” jawab Lidya singkat, lalu meraih tasnya tanpa menunggu respon Arjuna.
Setelah check-in, mereka berjalan menuju gate. Di tengah perjalanan melewati kafe, Arjuna berhenti sebentar.
“Aku mau beli kopi. Kamu mau apa?” tanyanya.
“Tidak usah.”
“Ada ice chocolate, biasanya kamu suka—”
“Aku bilang tidak usah!” potong Lidya cepat, suaranya dingin dan ketus.
Arjuna terdiam, menatap wajahnya lama. Tapi Lidya sudah berpaling ke papan jadwal penerbangan.
Akhirnya Arjuna membeli cappuccino untuk dirinya sendiri. Lidya berdiri agak jauh, sibuk dengan ponselnya.
Selama di ruang tunggu, keheningan kembali melingkupi mereka.
“Kamu tidak bosan main ponsel terus?” Arjuna mencoba lagi.
“Lebih baik daripada ngobrol basa-basi,” balas Lidya ketus.
Arjuna mengepalkan tangan di pangkuan, menahan diri. “Aku hanya mencoba—”
“Tidak perlu mencoba apa-apa, Kak Arjun,”
Lidya menoleh cepat, matanya tajam. “Aku sudah paham batasnya. Aku adik iparmu. Cukup sampai situ.”
Arjuna terdiam, sorot matanya dalam tapi penuh luka.
Pengumuman boarding menggema, memanggil penumpang menuju gate. Arjuna bangkit, mengangkat koper.
“Lidya … ayo.”
Lidya berjalan duluan, membawa plastik oleh-oleh. Arjuna menatap punggungnya yang menjauh, menahan semua kata yang ingin ia ucapkan.
“Andai saja semua ini bisa lebih sederhana …,” gumamnya lirih, tenggelam di tengah hiruk pikuk bandara.
Saat memasuki kabin pesawat, pramugari menyambut ramah. Lidya melangkah duluan, menemukan kursinya di dekat jendela baris belakang. Ia segera duduk, merapikan sabuk pengaman, lalu menatap lurus ke luar jendela.
Arjuna masuk beberapa menit kemudian, duduk di kursi depan. Ia sempat menoleh ke belakang, melihat Lidya yang sama sekali tidak peduli.
"Kenapa harus seperti ini?" batin Arjuna. Ada perasaan janggal—kesal, tapi juga sedih. Harusnya ia tidak merasa apa-apa. Lidya hanya adik iparnya. Hanya itu.
Tapi sejak pagi itu, kata-kata tajam gadis itu masih terngiang.
Pesawat mulai bergerak. Pramugari menjelaskan prosedur keselamatan. Lidya memasang sabuk pengaman dengan tenang, lalu menutup matanya seakan dunia luar tak penting lagi.
Arjuna memandanginya dari kursi depan melalui celah kecil di antara sandaran kursi. Hatinya mendadak terasa sesak. Ia memalingkan wajah, meneguk ludah.
Bersambung ... ✍️
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
cemburu yee 🤭