"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PESAN AYAH
Kamu gak perlu melakukan apa-apa untuk merasa dicintai ataupun disukai. Jadilah diri kamu sendiri.
Begitu sebuah balasan yang Luna dapat dari secarik kertas terakhir yang ia terima. Setiap kata yang tertulis di sana seperti menempel di hatinya, menguatkan perasaannya, dan memberi sedikit kelegaan setelah hari-hari yang penuh kebingungan dan penat.
Sudah dua minggu berlalu sejak itu, dan Luna mulai terbiasa menata perasaannya lewat tulisan-tulisan—yang setiap kali selalu mendapatkan balasan dari sosok asing, yang hingga kini masih belum ia ketahui siapa. Setiap lembar percakapan, setiap kata yang tertulis sebagai jawaban itu, ia kumpulkan dengan rapi, menyusunnya menjadi sebuah bundel yang ia simpan dalam buku kecil layaknya diary.
Buku itu kini bukan sekadar catatan, tapi saksi bisu perjalanan hatinya—tempat ia menuangkan rasa penasaran, haru, hingga rasa penasaran yang tak kunjung terjawab. Setiap halaman membawa campuran emosi yang hangat dan misterius, seakan sosok asing itu hadir di dekatnya, walau hanya melalui kata-kata.
Luna menatap buku itu sebentar, bibirnya tersenyum tipis. “Entahlah siapa kamu… tapi tulisanmu bikin aku merasa nggak sendirian lagi,” Gumamnya lirih.
“Luuun,” Terdengar suara lembut memanggil dari luar kamar.
Luna menoleh, dan pandangannya langsung menangkap sosok Herman yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya hangat, senyum kecil tersungging di bibirnya, mata yang lelah tapi penuh perhatian menatap Luna dengan lembut.
"Kamu sedang apa, Nak? Ini sudah jam berapa? Kamu belum berangkat sekolah?"
Luna mengangguk pelan. Matanya tertuju pada jam dinding yang tertempel di dinding, tampak usang dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sudutnya. Jarum pendeknya masih tertuju pada angka enam. "Masih aman, Ayah. Masih ada lima belas menit lagi Luna berangkat." Jawabnya, sambil menyimpan diary itu ke tempat semula—di dalam sebuah laci lemari bajunya ia menyimpan barang istimewa itu dengan hati-hati.
Luna kemudian menggendong tas sekolahnya lalu berpamitan pada Herman. "Baik Ayah, kalau gitu Luna pergi dulu, ya. Ayah jangan lupa minum obatnya."
Luna kemudian menggendong tas sekolahnya dengan kedua tangan, sabuknya terasa agak berat di pundak, namun ia menahan senyum kecil sambil bersiap pergi. Ia menoleh ke arah Herman, yang masih mematung di ambang pintu kamarnya.
“Baik, Ayah. Kalau gitu Luna pergi dulu, ya. Ayah jangan lupa minum obatnya,” Ucapnya lembut, suaranya penuh perhatian, sedikit cemas namun tetap ceria.
Herman mengangguk, matanya menatap Luna dengan rasa bangga dan hangat. “Iya, Nak. Hati-hati di jalan,” Jawabnya pelan, suara serak tipis tapi penuh kasih sayang.
"Oh ya," Luna terhenti sejenak. "Pulang sekolah... gak apa-apa kan, kalau Luna langsung ke toko bunga? Hari ini katanya lumayan banyak pelanggan online. Jadi, Luna harus lebih awal datang ke toko."
Herman tersenyum bijak sembari menangkap kedua bahu anaknya. "Nak. Kalau Ayah sudah sembuh lagi... biar Ayah yang melakukannya."
Luna menggeleng pelan, lalu meraih dan menangkap ruas jemari keriput ayahnya dengan lembut. Tangan yang terlihat lemah itu terasa hangat dan penuh kasih, seakan menyalurkan kekuatan yang selalu ia andalkan sejak kecil. "Ayah, aku senang melakukan pekerjaan ini. Ayah gak perlu khawatir."
"Jaga diri kamu baik-baik."
Luna melempar senyum. "Aku janji, aku akan selalu bisa menjaga diri aku dengan baik, Ayah. Ayah istirahat, ya. Luna pergi dulu."
Herman menganggukkan kepala perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya, Nak. Hati-hati di jalan,” Balasnya sambil menepuk bahu Luna sekali, seolah memberi izin sekaligus dorongan lembut untuk pergi.
Luna menarik napas panjang, menegakkan bahu, lalu melangkah ke arah pintu. Langkahnya mantap, meski masih terasa berat meninggalkan rumah sejenak.
"Luna..." Panggil Herman kali ini.
Luna berhenti saat langkahnya hendak keluar dari gerbang rumah. Ia lalu berbalik mendapati Herman yang kini berdiri di teras rumah. Sosoknya tampak lebih tegap dari sebelumnya meski wajahnya menunjukkan garis lelah. "Iya, Ayah?"
"Ayah sayang sama kamu." Ungkap Herman dengan nada tegas, namun tetap lembut. "Tumbuhlah menjadi gadis yang kuat dan hebat. Dunia ini tak selamanya tentang bahagia. Kamu paham kan maksud Ayah?"
Luna menelan ludah, dadanya berdebar. Kata-kata ayahnya menembus hatinya, membuatnya merasa dicintai sekaligus diberi kekuatan. Perlahan ia mengangguk, bibirnya tersenyum tipis. "Pasti, Ayah. Aku mengerti. Aku pergi dulu, Ayah!"
****