Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.
Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.
Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.
Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Dominasi Sang Panglima
Langkah Elara semakin berat, menyusuri tanah yang mengering di bawah terik matahari. Keringat mengalir di pelipisnya, tapi bukan hanya panas yang membakar tubuhnya, melainkan ucapan Zevh yang terus terngiang. Hukuman dari sang panglima membuat setiap jejak kakinya bagai menancapkan rasa hina ke bumi Osca.
"Ujung pedangnya tajam… persis seperti mata dan ucapannya," desis Elara tajam, ia menjaga jarak dari kuda hitam Zevh yang melaju tenang di sampingnya.
Zevh menghela napas, matanya tak lepas dari punggung ramping Elara. Sorotnya tenang, namun menyimpan aura gelap yang membuat siapa pun enggan menantang. Ia mendengar jelas bisikan kebencian Elara, bahkan di tengah suara derap kuda.
Para ajudan dan pengawal yang mengikuti dari belakang hanya bisa menahan geram. Genggaman mereka pada tali kekang kuda mengeras. Seorang tawanan berani melawan sorot panglima? Itu sudah cukup untuk menimbulkan amarah. Tapi tak seorang pun berani bertindak. Kata-kata Zevh adalah hukum. Diam adalah pilihan paling aman.
Zevh merasakan amarah mereka, lalu senyum tipis melintas di wajahnya. Aura kegelapan di matanya seolah menjawab kegelisahan pasukannya.
“Selama aku pergi ke Osca… kurung dia di tahanan istana,” ucapnya datar.
Ajudan terdepan menunduk. “Baik, Panglima.”
Elara yang mendengar itu, meremas jemarinya hingga pucat. “Osca… ia pasti akan mendatangi kediaman ayah. Ia masih mencari informasi tentang Arons…” Pikirannya berdenyut cemas.
"Ayah… apa kau bisa menahan tatapan panglima ini? Aku bisa hidup hingga saat ini, semua yang masih hidup di desa, adalah karena kekuatanmu ayah. Aku yakin Osca akan tetap tegak meski badai kekuasaan ini datang."
Namun kalimat Zevh kembali terngiang, menusuk telinganya seperti mantra. “Sejarah Osca akan kubuka helai demi helai.”
Elara menutup rapat mulutnya, berusaha menahan desakan hatinya yang ingin berteriak. “Kau tidak akan tahu apa pun, Panglima. Ayah tidak akan diam. Ia mampu menentang tiga wilayah sekaligus, bila itu demi diriku dan Osca.”
Sesekali, tatapannya melirik ke arah Zevh yang tengah berdiskusi dengan ajudannya. Langkah kakinya tetap menyusuri jalan, menolak menyerah meski lututnya mulai melemah.
Tiba-tiba, kehangatan samar menyentuh bahunya. Kilatan halus, seperti pusaran air, bergetar sekejap di bawah kulitnya. Elara menahan napas, menyentuh bahu itu dengan ragu. Itu tanda keuturunan penjaga sungai Oxair di Desa Osca. Simbol yang membuatnya berbeda dari rakyat biasa, bahkan dari para bangsawan.
"Jika identitas ku terkuak… persahabatan Veron, Zark, bahkan panglima sendiri, bisa hancur. Dan dunia akan tahu aku bukan siapa-siapa kecuali pemantik peperangan empat wilayah sekaligus."
Ia menggigil. “Apakah aku akan menghancurkan dunia demi melindungi Osca?”
Namun Elara tak menyadari satu hal, bahwa pusaran itu hanya bisa dilihat oleh mata Elysight Zevh. Takdirnya, hidup dan mati, sesungguhnya sudah tergenggam dalam tangan panglima yang ia benci itu.
“Gelisah, takut… tapi tetap tulus. Kenapa kau selalu begitu?” suara Zevh merendah, menusuk telinganya, membuyarkan segala pikiran Elara.
Elara mendongak, menahan desakan amarah. “Aku tidak mengerti ucapanmu, Panglima.”
Kuda Zevh berhenti. Tatapan mereka bertemu, mata hitam yang dalam, memantulkan kuasa sekaligus ancaman.
“Jangan takut,” ucap Zevh, suaranya tegas, namun auranya membuat dada Elara sesak.
“Kau tidak akan hancur… oleh siapa pun.”
Senyum tipis nyaris tak terlihat, menghiasi bibir Zevh.
“Hidup dan matimu ada di tanganku.”
Derap kuda Zevh berputar, mengitari Elara yang masih berdiri tegang. Tali yang melilit tangannya mulai menarik perlahan, menjerat tubuhnya dalam kendali panglima. Dalam sekejap, tarikan kuat mengangkat tubuh Elara ke atas kuda.
Tawanan itu kini duduk di hadapan Zevh, tubuh rapat, napas tertahan.
“Semuanya bergerak cepat. Kita harus sampai istana sebelum matahari tenggelam,” perintah Zevh, menghentakkan tali kendali kudanya.
Deru langkah kuda menggema, menghantam tanah dan kerikil. Elara membungkuk tipis, menahan tekanan dari tubuh Zevh di belakangnya. Matanya hanya bisa menatap jalan panjang di depan, sementara hatinya berperang dengan beban rahasia di bahunya.
Ia tahu satu hal. Setiap detik bersama panglima hanya menambah lilitan takdir di sekeliling dirinya. Lilitan yang mungkin suatu hari akan menyeret seluruh Osca ke medan perang.
---
Langkah rombongan kuda setelah lamanya berlari kini berhenti setelah perjalanan jauhnya, sampai matahari condong ke barat melukis bayangan panjang di jalanan batu kota Noctis.
Pasar kota masih ramai, namun ketika rombongan Zevh Obscura memasuki kawasan itu, suasana berubah. Orang-orang menunduk, pedagang terdiam, dan hanya suara ringkik kuda yang terdengar.
Zevh turun lebih dulu, lalu menarik Elara tanpa banyak bicara. Tubuh mungil itu jatuh ringan ke tanah. Tudung jubahnya menutupi wajah, hanya sorot mata emasnya yang tajam memperhatikan deretan makanan pasar.
Perutnya bergejolak. Ia tak peduli pada tatapan asing yang penuh bisik-bisik. Elara mengambil sepotong roti, menggigitnya cepat, lalu menahan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
“Emh… sungguh enak. Aku lapar sekali,” gumamnya pelan, tanpa ingat statusnya hanyalah seorang tawanan.
Para pedagang hanya saling pandang. Ada yang ingin bertanya, tapi tak seorang pun berani. Tawanan yang berani bersuara lantang di hadapan Panglima? Itu sudah cukup membuat hati mereka berdesir takut sekaligus penasaran.
Zevh menautkan tali pengikat tangan Elara pada kudanya. Kemudian dari kejauhan ia mengamati, dingin, seolah ingin menguji setiap langkah gadis itu.
Elara tersenyum tipis pada pedagang, ia makan beberapa jajanan pedagang, lalu membayar dengan koinnya sendiri meski sempat ditolak. "Aku tidak mau kau rugi hanya karena aku tawanan," ucapnya tegas. Senyum itu begitu tulus, membuat pedagang itu tercekat, tak mampu berkata apa-apa.
Tiba-tiba, kuda Zevh meringkik, mengangkat kaki depannya. Elara menoleh, menatap mata hitam kuda itu. Tali di tangannya terikat pada kuda Zevh.
“Ah, jadi kau penjaga baruku?” sindirnya. “Baiklah, awasi aku makan sepuasmu.”
Kuda Zevh mendengus, seolah mengerti. Elara berakhir menuntunnya ke tepi sungai kecil di ujung pasar. Di bawah rindang pohon, ia membasuh tangan, lalu menatap luka-luka di tubuh kuda itu.
“Luka dalammu masih sakit, bukan?” bisiknya. Jemarinya yang basah menyusuri bekas sayatan di paha kuda milik Zevh. Simbol pusaran air di bahunya memancar samar, cahaya biru berkilat, menyusup lembut ke pori-pori kuda, meredakan sakit yang tersembunyi.
“Aku hanya menyembuhkan luka dalam. Luka luar biarkan tetap ada, agar tuanmu tidak curiga padaku.” Elara tersenyum samar, menepuk wajah si kuda penuh kasih.
Namun langkah berat menghampiri. Zevh berdiri tepat di belakang, bayangannya menutupi cahaya senja. Kudanya meringkik lagi, tapi kali ini berbeda, seolah ingin melindungi Elara.
Zevh menepuk wajah kudanya perlahan. “Kau membuatnya senang,” ucapnya datar. Lalu matanya menajam, menatap Elara hingga membuatnya menahan napas. “Tapi kenapa kau selalu membuatku membencimu?” ucap Zevh
Satu langkah maju. Tangan Zevh menyudutkan Elara pada tubuh kudanya. Jarak itu terlalu dekat, terlalu menekan. Sampai kudanya gelisah, lalu meringkik pelan, seakan menolak sikap tuannya.
“Tenanglah, Axten." Ucap Zevh pada kudanya, "aku tidak akan membunuhnya… belum.” Nada Zevh dingin, namun samar-samar terdengar seperti bisikan yang penuh rahasia.
Elara ingin melawan, ingin bicara, tapi tubuhnya menegang saat lengan Zevh melingkar di perutnya. Sentuhan itu berbeda, tidak kasar, tapi sarat tekanan, membuatnya tak berdaya.
“Tidak pernah ada yang seakrab itu dengan kuda perangku,” bisik Zevh dekat telinganya. “Kau… membuatku semakin penasaran.”
Elara menahan debaran jantung, mencoba menutupi kecemasannya dengan menepuk tubuh Axten. “Kuda ini lebih gagah dari tuannya,” sindirnya lirih mengalihkan pembicaraan.
Zevh terdiam sejenak, lalu dengan satu hentakan, ia angkat tubuh Elara ke pelana. Elara tersentak, matanya membulat menatap Zevh.
“Ini malam terakhir kali kau melihat dunia,” ucap Zevh tajam.
Darah Elara berdesir dingin, tapi sebelum ia sempat membalas, Zevh memberi perintah, “Bawa dia ke istana. Kurung. Awasi.”
Para ajudan saling pandang. Keheningan menekan. Seseorang memberanikan diri bertanya, “Panglima… Anda tidak pergi dengan Axten ke Desa Osca malam ini?”
Zevh hanya menatap kudanya lama, mengelus wajahnya dengan lembut yang jarang terlihat. Axten mendengus, seolah menyerap ketenangan itu.
“Kenapa aura gadis ini ada pada Axten…” gumam Zevh, lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Langkahnya menjauh, namun kata-kata terakhir yang meluncur membuat Elara menahan napas.
“Kebencian selalu bisa membuat seseorang bertahan. Kau juga begitu, bukan, Elara?”
Tatapan mereka bertemu singkat, dan pecah saat pengawal menarik Axten untuk berjalan membawa tawanan sang panglima.
Dan senja pun runtuh sepenuhnya, meninggalkan Elara dalam debaran yang tak kunjung reda.
Dan Malam ini kehadiran Zevh Obscura di Desa Osca akan memberi jalan untuk sebuah jawaban