Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Diburu dengan cepat...
Dentuman roda kereta yang monoton adalah satu-satunya irama di dalam kompartemen gelap itu. Keheningan yang mengikuti pesan terenkripsi terasa lebih bising daripada deru mesin di luar. Sasha—atau Maya, kini—menarik napas, bau debu dan uap minyak kereta menusuk hidungnya. Ia masih duduk merapat di samping Zega, menatap refleksi dirinya yang kusam di jendela.
“Jebakan?” bisik Sasha, suaranya kering. Ia menunjuk laptop Zega yang sudah tertutup. “Bagaimana mereka tahu kita menuju pulau itu? Kita bahkan belum membeli tiket pesawat.”
Zega membalikkan badan, tubuhnya menyentuh paha Sasha di ruang sempit itu. Ia tidak menjauh, melainkan menggunakan kedekatan itu untuk berkomunikasi dengan suara yang lebih rendah. “Bukan tiket yang mereka lacak, Maya. Itu terlalu kasar. Mereka melacak niat. Atau lebih tepatnya, mereka melacak sinyal yang sudah kita tinggalkan sejak awal.”
“Tapi kau bilang kau mematikan semua sinyal…”
“Aku mematikan sinyal kita, ya. Tapi aku tidak mematikan jejak Bara.” Zega menghela napas, gestur kelelahan yang nyata. “Saat kita mencuri *Final Code*, kita mengambil data yang diproteksi berlapis-lapis. Untuk membukanya, Bara menciptakan satu set kunci yang ia letakkan di cloud terpisah. Kunci itu harus diakses dari jaringan pribadi tertentu. Bara sering bekerja di Bali, di Konferensi Teknologi Global. Dia sudah merencanakan ini, Sasha. Dia berencana untuk mengekspos semuanya di sana.”
Sasha merasakan jantungnya berdenyut nyeri. Bara memang seorang visioner, tetapi juga seorang manipulator yang rumit. “Jadi, Express Teknologi memonitor lokasi itu? Mereka menunggu siapapun yang datang dengan ‘kunci’?”
“Persis. Mereka tahu siapa kita, atau setidaknya apa yang kita bawa. Pesan itu hanya konfirmasi bahwa jaringanku di Bali mungkin sudah disadap. Mereka tidak akan mengejar kita di Jawa, itu buang-buang sumber daya. Mereka akan membiarkan kereta ini membawa kita ke titik transfer, lalu—*bam*.” Zega menjentikkan jarinya dengan pelan, suaranya sedingin baja.
“Jadi, kita tetap pergi ke Bali?” tanya Sasha, merasakan ironi yang menusuk. Tujuan mereka kini menjadi sarang lebah yang menunggu mereka.
“Kita harus pergi. Itu satu-satunya tempat untuk membuka data ini tanpa memicu alarm global. Tapi kita tidak akan masuk melalui pintu depan. Kita akan menyelinap. Dan kita perlu menjadi pasangan yang sangat meyakinkan, Julian dan Maya, yang sedang melarikan diri dari segalanya.”
Sasha mencondongkan tubuh, menantang kedekatan mereka. “Apa yang membuat pasangan itu meyakinkan, Julian?”
“Ketergantungan. Keintiman yang tidak bisa dipalsukan.” Zega memegang dagunya, memaksa Sasha menatap langsung ke matanya. “Di depan umum, kau tidak akan pernah lepas dariku. Di ruang pribadi seperti ini, kau harus percaya aku sepenuhnya. Jika ada yang datang, kau harus menjadi orang yang terlihat sangat tertekan dan ketakutan, dan aku adalah jangkar emosionalmu.”
Zega menggeser posisi. Ia bersandar di dinding kompartemen, kakinya yang panjang sedikit terentang. Ia menepuk pahanya yang terbalut denim. “Duduk di sini. Istirahat. Kau terlihat seperti akan pingsan.”
Sasha ragu sejenak. Posisi itu terlalu intim. Tetapi kelelahan fisik dan mentalnya lebih kuat daripada keengganan sosialnya. Ini bukan lagi ruang dewan. Ini adalah kereta api, dan dia adalah buronan. Dia beringsut, menempatkan kepalanya di bahu Zega. Dia merasakan kekerasan tulang selangka Zega, dan bau khas—campuran oli motor, jaket kulit, dan mint dari permen karet yang Zega kunyah. Itu adalah aroma pelarian yang mendalam.
“Kita tidak akan tidur,” kata Sasha, memejamkan mata.
“Kita tidak boleh. Tapi kau bisa memejamkan mata.” Zega menggerakkan tangannya ke atas, mencari titik yang nyaman di belakang leher Sasha. Jarinya menyentuh kulitnya yang terekspos, sebuah sentuhan yang lebih dari sekadar dukungan fisik. Itu adalah penanda batas: 'Kau aman di sini'.
“Julian,” panggil Sasha pelan.
“Ya, Maya.”
“Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan tentang Bara. Dia pahlawanku, dia membangun DigiRaya, dia berjuang untuk privasi. Tapi dia juga menjual kita semua untuk pendanaan awal. Dan dia tidak memberitahuku.” Rasa sakitnya keluar, tajam dan tulus.
Zega diam sejenak, suara roda kereta menenggelamkan pengakuan itu. “Orang tidak menjadi jahat atau baik dalam semalam, Maya. Mereka membuat pilihan, di bawah tekanan yang ekstrem. Bara mencoba memperbaiki kesalahannya. Itulah mengapa dia mati. Dia tahu Express Teknologi akan memanfaatkannya. Dia ingin menebusnya dengan membuka *Final Code*.”
“Tapi kenapa dia melibatkan kita berdua dalam bahaya ini?”
“Karena dia tahu Paman Hadi tidak akan berhenti. Dan dia tahu kau adalah satu-satunya yang akan memperjuangkan integritas perusahaan, bukan hanya uangnya.” Zega mengencangkan genggamannya di belakang leher Sasha. “Kau membawa integritas yang Bara korbankan. Itu sebabnya kau di sini, di kereta yang bau ini, bukannya di jet pribadi.”
Sasha tersenyum tipis. Pengakuan itu lebih berharga daripada semua gelar CEO-nya. “Terima kasih, Julian.”
Tiba-tiba, Zega menegang. Tangannya di leher Sasha menjadi kaku. Ia tidak bergerak, tetapi seluruh tubuhnya berubah menjadi alarm senyap.
“Apa?” Sasha berbisik, panik yang dingin menyebar di dadanya.
“Diam. Jangan bergerak. Jangan buka mata,” Zega memerintahkan, suaranya hampir tidak terdengar, menyatu dengan getaran kereta. “Pintu gerbong dibuka. Ada yang tidak seharusnya ada di sini.”
Sasha mematuhi. Ia menyandarkan kepalanya lebih dalam, memeluk pinggang Zega seolah nyawanya bergantung padanya—sebuah akting yang sempurna, namun juga jujur. Ia bisa mendengar langkah kaki di koridor. Bukan langkah kaki kondektur, melainkan langkah kaki yang berat, sepatu bot, ritmis, dan terhenti-henti, seolah sedang memindai setiap kompartemen.
Zega meletakkan kepalanya di atas kepala Sasha. Gerakan ini terasa seperti sebuah penutup, memproteksi wajah mereka dari celah pintu. Ia berbisik di telinga Sasha, napasnya panas.
“Mereka mencari kita, Sasha. Mereka tahu kereta ini adalah rute logis. Mereka akan melewati setiap kompartemen. Kita harus terlihat tidak mengancam, tidak waspada.”
“Bagaimana?” Sasha balik berbisik.
“Pasangan yang sedang mabuk asmara dan kelelahan. Terlalu sibuk dengan diri sendiri untuk memikirkan dunia luar. Aku akan memelukmu. Kau pura-pura tidur, atau lebih baik lagi, pura-pura ada sesuatu yang lebih mendesak daripada petugas keamanan.”
Langkah kaki itu semakin dekat. Cahaya senter tipis melintasi celah di atas pintu. Zega melingkarkan lengannya di tubuh Sasha, menariknya erat-erat ke dadanya. Tangan Zega yang lain bergerak ke atas, memegang dagu Sasha. Ia menolehkan wajah Sasha ke atas, dan dalam kegelapan kompartemen, bibir mereka bertemu. Itu bukan ciuman lembut; itu adalah ciuman terdesak yang dipenuhi dengan adrenalin dan kebutuhan untuk bertahan hidup.
Zega menekan bibirnya ke bibir Sasha, mencicipi keputusasaan dan garam keringat. Sasha merespons, membiarkan dirinya tenggelam dalam keintiman yang dipaksakan ini, ciuman yang merupakan perisai terhadap dunia yang ingin menghancurkan mereka. Ia merasakan kehangatan yang mendalam di perutnya, rasa sakit yang bercampur dengan sensasi baru ini.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu mereka. Mereka bisa mendengar napas berat di sisi lain. Senter berkedip di kaca buram.
Zega melepaskan ciuman itu hanya untuk bernapas. Ia menyandarkan dahinya di dahi Sasha. “Mereka sedang menilai apakah kita adalah target,” desis Zega, matanya setengah tertutup, memproyeksikan citra sepasang kekasih yang terjerumus dalam gairah malam.
Sasha, dengan denyut nadi yang berpacu kencang, memeluk Zega lebih erat. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas ke bahu Zega, akting seorang wanita yang baru saja mengalami momen intim dan ingin melanjutkan. Ciuman kedua Zega lebih lambat, lebih posesif, bertujuan untuk menghapus keraguan di luar pintu.
Setelah terasa seperti keabadian, langkah kaki itu menjauh. Satu set langkah, kembali ke arah gerbong depan. Mereka lolos.
Zega menarik diri, napasnya terengah-engah. Ia menatap Sasha, matanya yang tajam mencari kerusakan. Sasha juga terengah, wajahnya memerah bukan hanya karena ciuman itu, tetapi karena nyaris tertangkap. Batasan antara Julian dan Zega, antara Maya dan Sasha, baru saja hancur berkeping-keping.
“Mereka sedang mencari data kita, Sasha,” Zega berkata, kembali ke mode profesional. “Jika mereka melihat kita terlalu bersih atau terlalu waspada, mereka akan tahu. Kita harus menjadi sepasang kekasih yang kacau balau, putus asa, dan tak terorganisir. Itu penyamaran terbaik.”
Sasha menyentuh bibirnya yang bengkak. “Aku mengerti perannya, Julian. Tapi bagaimana kita bisa lolos dari jebakan di Bali jika mereka sudah menunggu di sana?”
Zega kembali mengeluarkan laptopnya, menyalakannya dengan jaringan satelit tersembunyi. Ia mengabaikan keheningan tegang yang tercipta setelah ciuman mereka, memfokuskan kembali pada data. Layarnya memancarkan cahaya redup di wajah mereka.
“Kita tidak akan ke Bali besok. Mereka akan memblokir semua penerbangan dan kapal feri dari Jawa Timur. Kita butuh jalan memutar.” Zega menunjuk sebuah titik terpencil di peta. “Ada satu cara untuk memotong jalur mereka. Sebuah pulau kecil, jalur penyelundupan yang tidak akan pernah terpikirkan oleh Hadi atau Express Teknologi. Kita akan menggunakan jalur laut ilegal.”
“Jalur penyelundupan?” Sasha membelalakkan matanya.
“Ya. Itu berarti kita harus turun dari kereta ini jauh sebelum mencapai Surabaya. Di Madiun. Kita akan bertemu dengan jaringan lama yang aku kenal. Mereka tidak peduli dengan data atau DigiRaya, mereka hanya peduli pada uang kripto. Tapi ada risiko besar.”
Zega memutar layar laptop, menunjukkan peta jalur laut yang rumit, yang membentang dari pesisir Jawa Timur, melewati pulau-pulau kecil, hingga mencapai Nusa Tenggara Barat, sebelum memutar kembali ke Bali.
“Kita akan memasuki wilayah yang diatur oleh hukum yang berbeda, Maya. Hukum kelautan, hukum rimba, dan hukum yang tidak tertulis. Kita akan berada di tangan para penyelundup. Setelah kita turun di Madiun, kita harus siap menghadapi bahaya yang tidak hanya berasal dari Hadi, tetapi juga dari orang-orang di sekitar kita.”
Zega menutup laptop. Ia memegang tangan Sasha yang dingin, menulis lagi huruf J dan M di telapak tangannya. “Mulai sekarang, kita tidak punya nama lain. Kita harus bergantung pada insting dan satu sama lain. Kau siap meninggalkan jejak peradaban, CEO Sasha?”
Sasha mengangguk, rasa takutnya kini bercampur dengan gairah pelarian yang tak terhindarkan. “Aku siap, Julian. Kapan kita harus turun?”
Zega menoleh ke jendela, di mana lampu-lampu kota kecil yang berkedip mulai terlihat samar. “Satu jam lagi. Bersiaplah, karena di Madiun, kita meninggalkan rel dan masuk ke dalam lumpur.”