NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sisi baik arga

"Apa yang sebenarnya sudah terjadi di sini… ini semua tidak mungkin dilakukan oleh dia," ucap orang bertopeng dengan suara pelan namun bergetar.

Ia mulai bangun dari posisi jatuhnya, lutut masih gemetar, pandangan matanya tak lepas dari mayat tanpa kepala yang tergeletak kaku di lantai rumah tua itu. Udara di dalam ruangan begitu pengap, seolah dinding-dinding tua menyerap bau darah dan menahannya di sana.

Dengan napas terengah, orang bertopeng itu melangkah keluar, koper hitam tetap erat di genggamannya. Setibanya di teras depan rumah, ia berdiri tegak, mencoba menenangkan diri. Matanya menatap lurus ke arah depan, ke komplek bangunan yang sepi, hanya diterangi oleh cahaya samar rembulan.

"Ini… ini tidak mungkin. Mana mungkin dia bisa melakukan semua ini…" ucapnya lagi, kali ini lebih keras, seolah ingin menolak kenyataan yang terpampang di hadapannya.

Komplek perumahan tua itu sudah lama tak dihuni, listrik padam sejak bertahun-tahun lalu. Gelap total, hanya sinar rembulan yang menyingkap sebagian kecil pemandangan. Di bawah cahaya itu, ia bisa melihat bercak darah yang berceceran di tanah berdebu, berakhir pada tubuh seorang pria di halaman. Tubuh itu sudah tak bernyawa, dengan tubuh bekas tusukan benda tajam.

Pemandangan itu membuat orang bertopeng terdiam. Tangannya menggenggam koper semakin erat, hingga buku jarinya memutih. Ia tidak hanya merasakan takut, tapi juga kemarahan yang tak bisa ia jelaskan.

Langkahnya maju perlahan, menuruni teras, suara kayu berderit memecah kesunyian. Kakinya menapak tanah halaman, melewati jalur darah yang mengering, seolah sedang berjalan di atas bekas jejak kematian.

Ia berhenti sejenak, mendongak menatap langit yang diterangi rembulan. Nafasnya berat, pikirannya dipenuhi tanda tanya.

“Tidak… ini tidak masuk akal. Dia hanya seorang diri. Bagaimana bisa dia menghabisi mereka semua…?” gumamnya lirih, seolah bicara dengan dirinya sendiri.

Tangannya sempat terangkat ke topeng yang menutupi wajahnya. Namun ia urungkan niatnya melepas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menatap lurus ke sekeliling komplek yang sunyi.

Namun tanpa ia sadari, sepasang mata dari atas genteng salah satu bangunan tua itu, ada yang sedang mengawasi setiap geraknya.

Arga berdiri tegak di sana, tubuhnya kaku bagaikan patung, wajah masih tertutup kain baju. Kedua matanya tajam, dingin, hanya menatap orang bertopeng yang kini berjalan menjauh membawa koper hitam itu.

Dalam diam, Arga mengamati. Bayangan tubuhnya hampir menyatu dengan gelapnya malam, hanya sinar rembulan yang menerangi tubuh nya.

“Pergilah dari sini…” ucap Arga dalam hati, suara batinnya terdengar dingin dan datar.

Perlahan ia menarik kain penutup wajah ke bawah, menyingkap wajahnya yang kini basah oleh keringat dan bercak darah yang belum sempat kering.

Matanya masih tak lepas dari sosok orang bertopeng yang terus melangkah menjauh di halaman,hingga benar-benar pergi dari tempat tersebut.

Keesokan paginya, udara masih lembap dengan sisa embun malam. Burung-burung mulai terdengar dari kejauhan, namun suasana komplek perumahan tua itu tetap sepi, hanya angin yang sesekali menerpa dedaunan kering.

Arga terbangun di sudut sebuah rumah kosong. Cahaya matahari tipis masuk lewat celah jendela pecah, menyingkap wajahnya yang lelah. Ia duduk bersandar, kedua matanya kosong menatap langit-langit.

“Lebih baik aku cari uang dulu… masalah sekolah bisa belakangan,” ucapnya dalam hati, lirih tapi mantap.

Ia bangkit, meraih koper pakaian usangnya, lalu menaruhnya kembali di sudut ruangan berdebu. Ia memilih meninggalkannya di sana. Tempat itu kini menjadi semacam pelarian baginya.

Di sana, rutinitasnya menunggu: bekerja sebagai kuli panggul, mengangkut barang demi sekadar menyambung hidup.

Bagi orang lain, ia hanyalah pemuda biasa dengan pakaian lusuh yang berjuang mencari nafkah. Namun tak ada yang tahu, bahwa di balik wajah tenang dan tubuh letihnya, tersembunyi bayangan gelap semalam—pedang, darah, dan teror yang ia tinggalkan di rumah tua itu.

Pagi itu pasar mulai ramai, hiruk pikuk orang berbelanja terdengar dari setiap sudut. Pedagang sibuk menawarkan dagangan, sementara beberapa orang tampak kerepotan mengangkut barang.

“Nak, cepat tolong aku untuk angkut barang ini,” ucap salah satu pedagang wanita sambil melambaikan tangan ke arah Arga.

Arga yang sejak tadi mondar-mandir menawarkan bantuan, tersenyum ceria. Dia segera melangkah mendekati pedagang tersebut dengan langkah ringan.

“Mana barang yang harus aku angkut Buk?” tanyanya sopan.

Pedagang itu tersenyum melihat kepolosan arga. “Itu, naikkan semua karung itu ke atas mobil ya.”

“Siap Buk,” jawab Arga sigap.

Tanpa banyak bicara, ia langsung memikul karung satu per satu. Keringat mulai menetes di wajahnya, sesekali ia mengusap dengan tangan kirinya. Meski nafasnya ngos-ngosan, Arga tidak pernah mengeluh. Ia tetap tegar, menjalani pekerjaan itu dengan penuh kesungguhan. Baginya, setiap tenaga yang dikeluarkan berarti harapan bisa membeli makanan untuk bertahan hidup.

“Wah, kamu kerjanya cepat banget,” ucap si pemilik warung yang sejak tadi memperhatikan.

Arga tersenyum malu, menggaruk kepalanya yang basah oleh keringat.

“Biasa aja Buk,” jawabnya lirih.

Karena sikapnya yang sopan dan tidak pernah menuntut upah lebih, pedagang itu merasa iba. Ia pun memberikan sebungkus nasi serta sebotol air.

“Ini buat kamu, jangan ditolak. Kamu pasti lapar kan?”

Mata Arga berbinar, ia menerima dengan kedua tangan sambil menunduk.

“Terima kasih banyak Buk. Aku benar-benar merasa senang atas kebaikan yang telah ibuk berikan,” ucapnya tulus.

Bukan hanya memberikan sebungkus makanan dan sebotol air saja, pedagang tersebut juga menyelipkan beberapa lembar uang lebih ke genggaman Arga sebagai imbalan kerja kerasnya.

"Waduh Buk… ini uangnya kebanyakan," ucap Arga heran sambil menatap lembaran itu.

Sang pedagang hanya tersenyum lembut, lalu menepuk bahu Arga dengan penuh kehangatan. "Ingat Nak… kamu sudah sering membantu aku sejak lama. jadi Upah ini wajar untuk kamu terima. Jangan merasa sungkan."

Arga terdiam sejenak. Ada rasa hangat di dadanya, bercampur antara syukur dan getir. Di satu sisi ia terbiasa hidup susah, di sisi lain ia merasa seperti memiliki keluarga baru di pasar itu.

Dan bukan hanya dari satu pedagang saja—nyatanya, hampir semua pedagang di sana memperlakukan Arga dengan cara yang sama. Setiap kali tenaganya dibutuhkan, mereka selalu memberi lebih: entah itu tambahan uang, makanan, atau sekadar doa tulus agar hidup Arga dimudahkan.

Dalam hati, Arga tersenyum tipis. "Mungkin benar, sekolah bisa belakangan. Yang penting sekarang aku bisa bertahan hidup, dan mereka percaya padaku".

Hari pun terus berjalan. Arga melanjutkan pekerjaannya, memanggul karung demi karung tanpa mengeluh. Sinar matahari semakin terik, tapi semangatnya tak padam. Hingga menjelang siang, tubuhnya basah oleh keringat, namun kantongnya kini terisi cukup untuk makan beberapa hari ke depan.

Di siang harinya, Arga akhirnya memutuskan untuk beristirahat sebentar di sebuah dagang nasi yang ada di dalam pasar.

"Halo ibuk cantik, gimana kabarnya, udah dua hari enggak bertemu," ucap Arga ramah sambil duduk di kursi warung sederhana itu.

Pedagang nasi pun menoleh dan menatap wajah Arga yang sudah duduk di depan warung.

"Tumben-tumbenan mampir, biasanya juga langsung pulang," jawab pedagang bernama Bu Surti.

Arga tersenyum menatap dagang nasi langganannya itu yang menyapanya dengan hangat.

"Hari ini aku dapat upah lumayan, jadi aku sempetin mampir beli nasi," jawab Arga sambil mengusap keringat di dahinya.

Surti menghela napas, lalu berjalan keluar warung dan duduk di samping Arga.

"Arga, meski kamu enggak punya uang, kamu tetap boleh makan di sini. Soal uang bisa dibayar belakangan," ucap Surti sambil menepuk bahu Arga dengan lembut.

Arga terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kebaikan itu. Ia menatap Surti dengan mata sedikit berkaca.

"Terima kasih banyak Buk. Kalau enggak ada warung ini, mungkin aku udah sering kelaparan."

Surti hanya tersenyum, lalu kembali berdiri untuk mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan lauk seadanya dan segelas air putih. Ia meletakkannya di depan Arga.

"Makanlah, biar badanmu kuat. Jangan sampai kamu sakit, ingat, Dunia ini keras, jadi kamu harus kuat menjalaninya."

Arga menunduk, merasakan setiap kata itu seperti menampar sekaligus menguatkannya. Dengan perlahan ia mulai menyuap nasi, sementara Surti kembali melayani pembeli lain.

Di saat Arga sedang asik makan, dari arah belakang terdengar suara langkah kaki mendekat.

“Buk, di sini jual air minum enggak?” tanya seorang remaja wanita dengan nada lemas.

Arga yang sedang makan seketika menoleh ke arah suara itu. Tatapannya langsung dipenuhi rasa iba ketika melihat seorang remaja wanita berdiri dengan wajah pucat dan lemas sambil memegangi perutnya.

Remaja itu tidak memperdulikan pandangan Arga, ia tetap menatap Surti yang sudah bergegas mengambilkan sebotol air minum dari rak kecil di warungnya.

“Ini Nak… minumlah dulu,” ucap Surti lembut sambil menyerahkan sebotol air.

Gadis itu menerima botol dengan tangan gemetar. Belum sempat Surti kembali ke kursi, Arga sudah berdiri dan menyodorkan sebungkus nasi serta lauk yang ia beli untuk di bawa pulang.

“Makan aja ini dulu… kamu kelihatan nya belum makan,” ucap Arga pelan.

Remaja wanita itu menatap Arga sebentar, terlihat ada keraguan, tapi perutnya yang berbunyi memaksa ia untuk menerima. Perlahan ia duduk di bangku kayu panjang di dekat Arga, membuka bungkus nasi, lalu memakan nya dengan lahap.

Surti memperhatikan dengan senyum tipis. “Kasihan, pasti dari tadi kamu belum sarapan?”

Gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa mengangkat wajahnya, masih fokus menghabiskan makanan. Sementara Arga menatapnya dengan perasaan campur aduk—antara iba, penasaran, dan entah kenapa ada rasa ingin tahu lebih jauh tentang siapa sebenarnya gadis yang tampak sendirian itu.

Suasana warung yang semula sepi kini terasa berbeda, ada rasa hangat yang perlahan tercipta di antara mereka bertiga.

“Gimana, mau tambah lagi?” tanya Arga tersenyum.

Wanita itu hanya tersenyum malu lalu mengangguk pelan.

“Tambah lagi seporsi Buk,” kata Arga ke Surti.

Surti hanya tersenyum dan memenuhi

permintaan Arga, di dalam hatinya ia kagum melihat sosok pemuda itu. Bagaimana tidak, dirinya sendiri masih kesusahan mencari uang untuk makan, tapi tetap saja memikirkan orang lain.

Tak lama, sepiring nasi dan lauk sederhana kembali terhidang di meja. Arga mendorong piring itu pelan ke arah wanita tersebut.

“Nih, makan lagi. Jangan sungkan, anggap aja seperti makan bareng saudara sendiri.”

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!