Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Ngidam yang Tak Terduga dan Razia Penuh Kekhawatiran
Malam itu, setelah seharian penuh istirahat, Ning Azzahra tiba-tiba merasakan ngidam yang aneh. Ia ingin ikut suaminya, Gus Arga, dan kesembilan kakaknya melakukan razia kamar ke asrama santri putra. Bahkan, Umi pun berniat melakukan razia ke asrama santri putri.
"Abah, Umi, Gus Arga, Kakak"," kata Ning Azzahra dengan mata berbinar. "Azza mau ikut razia kamar santri putra!"
Gus Arga, Abah, dan seluruh kakak Ning Azzahra sontak terkejut.
"Tidak, Sayang," kata Gus Arga lembut. "Kamu tidak boleh ikut. Ini tugas laki-laki, dan kamu sedang hamil."
"Betul, Ning," timpal Gus Hilman. "Kamu di rumah saja, istirahat. Biar kami yang urus."
"Iya, Nak," kata Abah. "Kesehatanmu lebih penting. Jangan memaksakan diri."
Namun, Ning Azzahra bergeming. "Tapi Azza ngidam, Gus. Azza ingin ikut melihat bagaimana kakak-kakak dan suami Azza merazia kamar santri. Azza janji tidak akan capek."
Melihat keteguhan Ning Azzahra, dan mengetahui betapa anehnya ngidam ibu hamil, akhirnya Gus Arga dan kakak-kakak mengalah. Mereka tahu bahwa menuruti ngidam ibu hamil adalah hal yang penting, meskipun kali ini cukup unik. Dengan syarat, Ning Azzahra harus selalu didampingi dan tidak boleh berjalan terlalu jauh. Umi pun batal merazia kamar santri putri dan memilih menemani Ning Azzahra.
Maka, rombongan razia pun berangkat menuju asrama santri putra. Gus Arga memegang erat tangan Ning Azzahra, sementara para kakaknya mengelilingi adik bungsu mereka, siap siaga menjaga. Kedatangan rombongan ini, apalagi dengan kehadiran Ning Azzahra, sontak membuat heboh asrama putra.
Saat Ning Azzahra melewati lorong asrama, beberapa santriwan yang iseng dan belum tahu kabar kehamilannya, atau mungkin terlalu berani, mulai menggoda.
"Wah, Ning Azzahra tumben malam-malam ke sini," celetuk seorang santriwan dengan senyum genit.
"Cantiknya Ning Azzahra, bikin hati adem," sambung yang lain.
Gus Arga langsung menatap tajam santriwan itu. "Jaga ucapanmu!" tegurnya dengan nada rendah namun penuh peringatan.
Tak berhenti sampai di situ, saat mereka memasuki sebuah kamar yang sedang dirazia, ada lagi santriwan yang berani melontarkan godaan.
"Ning, kalau capek, sini saya pijitin," kata seorang santriwan sambil nyengir.
Kali ini, Gus Hilman yang maju. "Apa yang kamu bilang?!" bentaknya, membuat santriwan itu langsung pucat pasi. Gus Salman dan kakak-kakak yang lain juga menunjukkan ekspresi marah.
Ning Azzahra sendiri hanya tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur dengan tingkah para santriwan yang berani namun langsung ciut di hadapan suami dan kakak-kakaknya. Ia mengamati Gus Arga dan kakak-kakaknya yang berulang kali harus menegur santriwan-santriwan bandel itu. Setiap godaan yang dilontarkan, selalu disambut dengan tatapan tajam dan teguran keras dari para Gus, seolah menunjukkan betapa protektifnya mereka terhadap Ning Azzahra, terutama dalam kondisi hamil ini.
Malam itu, razia berjalan dengan campuran ketegangan karena tingkah santriwan dan kehangatan dari kasih sayang keluarga yang melindungi Ning Azzahra. Meskipun lelah, Ning Azzahra merasa ngidamnya terpenuhi. Ia melihat betapa Gus Arga dan kakak-kakaknya sangat mencintainya dan menjaganya dengan sepenuh hati.
Sementara Ning Azzahra dan rombongan laki-laki sibuk dengan razia terbatas di asrama putra, Umi, yang merasa energinya tak tersalurkan, tetap menjalankan niatnya merazia asrama santri putri. Dengan dibantu oleh para Mbak Ndalem (pembantu rumah tangga di kediaman Kyai) yang cekatan dan beberapa santriwati senior yang dipercaya, Umi memulai aksinya.
Kabar razia dadakan ini menyebar dengan cepat di kalangan santriwati. Kepanikan melanda. Mereka kalang kabut menyembunyikan barang-barang yang dianggap melanggar aturan pesantren. Ponsel pintar diselipkan di balik tumpukan mukena, novel-novel percintaan disembunyikan di antara kitab-kitab kuning, make-up disembunyikan di dalam kotak pensil, dan berbagai pelanggaran kecil lainnya berusaha disamarkan.
Umi, dengan langkah tenang namun penuh wibawa, memasuki satu per satu kamar asrama. Para Mbak Ndalem dan santriwati senior mengikuti di belakangnya, membantu memeriksa setiap sudut ruangan. Mereka membuka lemari, memeriksa kolong tempat tidur, dan menggeledah setiap barang bawaan.
Suasana tegang menyelimuti asrama putri. Para santriwati berusaha bersikap tenang dan sopan, namun mata mereka tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Mereka takut barang-barang terlarang mereka ditemukan dan dihukum.
Satu per satu pelanggaran ditemukan. Ponsel pintar yang seharusnya tidak boleh dibawa ke pesantren disita. Novel-novel percintaan yang dianggap mengganggu konsentrasi belajar juga diamankan. Kosmetik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan pesantren dikumpulkan. Bahkan, beberapa santriwati kedapatan menyimpan majalah-majalah hiburan yang dianggap tidak mendidik.
Barang-barang yang disita dikumpulkan di aula pesantren. Para santriwati yang kedapatan melanggar aturan dipanggil satu per satu. Mereka diberi nasihat dan teguran oleh Umi. Beberapa di antaranya dihukum dengan membersihkan masjid, menghafal surat-surat pendek, atau menulis surat permohonan maaf kepada orang tua.
Razia ini mengguncang pesantren putri. Para santriwati menyadari bahwa mereka harus lebih disiplin dan mematuhi peraturan pesantren. Mereka juga belajar bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan dari Umi, yang memiliki mata setajam elang dan hati yang penuh kasih sayang.
Meskipun ada rasa takut dan khawatir, para santriwati juga merasa berterima kasih kepada Umi karena telah mengingatkan mereka untuk selalu berada di jalan yang benar. Mereka menyadari bahwa peraturan pesantren dibuat untuk kebaikan mereka sendiri, agar mereka bisa fokus belajar dan menjadi santriwati yang berakhlak mulia.
Kehadiran Ning Azzahra dalam razia kamar santri putra ternyata memicu kejadian yang tak terduga dan cukup meresahkan. Meskipun sudah ditegur berkali-kali, sekitar dua puluh santriwan yang tampaknya memiliki tingkat kenakalan di atas rata-rata, terus menerus melancarkan aksi godaan kepada Ning Azzahra.
Godaan itu tidak hanya berupa celetukan iseng atau tatapan kagum, tetapi sudah menjurus ke arah yang kurang sopan dan bahkan berani. Beberapa santriwan mencoba mendekat dan mencari kesempatan untuk menyentuh Ning Azzahra, meskipun hanya sekilas. Ada pula yang melontarkan kata-kata gombalan yang berlebihan dan membuat Ning Azzahra merasa tidak nyaman.
Puncaknya, ada seorang santriwan yang berani menatap Ning Azzahra dengan tatapan yang sangat intens dan vulgar, seolah-olah merendahkan martabatnya. Ning Azzahra merasa sangat terkejut dan ketakutan. Ia segera bersembunyi di balik tubuh Gus Arga, suaminya.
Gus Arga yang melihat kejadian itu, naik pitam. Kesabarannya habis sudah. Ia tidak bisa lagi mentolerir kelakuan para santriwan yang sudah kelewatan batas. Dengan wajah merah padam, ia menghampiri para santriwan itu dan membentak mereka dengan suara keras.
"Kalian sudah keterlaluan!" bentak Gus Arga dengan geram. "Kalian tidak punya sopan santun! Kalian tidak menghormati istri saya! Kalian tidak menghargai saya sebagai guru kalian! Saya tidak akan memaafkan kelakuan kalian!"
Kakak-kakak Ning Azzahra juga ikut marah. Mereka maju mendekat dan memberikan tatapan tajam kepada para santriwan itu. Abah, yang biasanya tenang dan bijaksana, juga tampak kecewa dan marah.
"Kalian telah mencoreng nama baik pesantren ini!" kata Abah dengan nada tegas. "Kalian telah melanggar aturan pesantren dan merendahkan martabat seorang wanita. Kalian akan mendapatkan hukuman yang setimpal!"
Para santriwan itu ketakutan melihat kemarahan Gus Arga, kakak-kakak Ning Azzahra, dan Abah. Mereka menundukkan kepala dan meminta maaf.
"Kami mohon maaf, Gus," kata salah seorang santriwan dengan suara bergetar. "Kami khilaf. Kami tidak bermaksud menyakiti hati Ning Azzahra."
"Kami janji tidak akan mengulangi perbuatan kami," timpal santriwan yang lain.
Gus Arga, kakak-kakak Ning Azzahra, dan Abah tidak langsung memaafkan para santriwan itu. Mereka ingin memberikan pelajaran yang setimpal agar para santriwan itu tidak mengulangi perbuatan mereka di kemudian hari.
Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk memberikan hukuman yang berat kepada para santriwan itu. Mereka dihukum dengan membersihkan seluruh area pesantren selama satu bulan penuh, menghafal Al-Quran sebanyak tiga juz, dan menulis surat permohonan maaf kepada Ning Azzahra dan seluruh keluarga Al-Hasyimi.
Selain itu, mereka juga diskors dari kegiatan belajar mengajar selama satu minggu. Jika mereka mengulangi perbuatan mereka, mereka akan dikeluarkan dari pesantren.
Hukuman ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para santriwan itu dan membuat mereka lebih menghormati wanita dan menjunjung tinggi kesopanan.
Setelah memberikan hukuman, Gus Arga membawa Ning Azzahra kembali ke ndalem. Ia merasa sangat bersalah karena telah membawa istrinya ke tempat yang tidak aman. Ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Rombongan razia melanjutkan perjalanan ke lantai dua dan tiga asrama putra. Namun, situasi tidak banyak berubah. Dua puluh santriwan yang sama, seolah tak jera dengan teguran Gus Arga dan kakak-kakak Ning Azzahra di lantai bawah, kembali melancarkan aksi godaan mereka. Tatapan-tatapan nakal, bisikan-bisikan genit, dan bahkan beberapa upaya untuk mendekat kembali terjadi.
Gus Arga, yang sedari tadi berusaha menahan emosi demi kesehatan istrinya, kini tak bisa lagi membendung kekesalannya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat. Kecemburuan dan kemarahan memuncak. Ia kembali menegur para santriwan itu dengan nada yang lebih tajam dan mengancam. Kakak-kakak Ning Azzahra, terutama Gus Hilman dan Gus Salman, sudah bersiap-siap dengan daftar hukuman yang akan mereka berikan. Mereka bertekad akan memberikan pelajaran yang tak akan terlupakan bagi santri-santri kurang ajar itu.
Setelah lantai tiga selesai dirazia, kini tersisa lima lantai lagi, yang merupakan area santri senior. Abah Kyai Ghozali sempat berujar dengan yakin, "Insya Allah, santri senior tidak akan berbuat macam-macam. Mereka sudah lebih dewasa dan mengerti aturan." Namun, Gus Hanif, salah satu kakak Ning Azzahra yang dikenal skeptis dan teliti, tidak sepenuhnya yakin. "Kita harus tetap periksa, Abah. Terkadang, justru yang senior yang lebih pandai menyembunyikan," ujarnya.
Maka, mereka pun melanjutkan penggeledahan hingga lantai paling atas. Dan benar saja, di salah satu kamar santri senior, mereka menemukan sesuatu yang benar-benar tidak terduga dan membuat darah seluruh rombongan penggeledah mendidih. Di dalam sebuah lemari yang terkunci rapi, tersembunyi beberapa bungkus rokok, korek api, dan yang paling mengejutkan, sebuah ponsel pintar yang sangat canggih lengkap dengan kartu SIM dan paket internet. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa! Barang-barang terlarang ini jelas melanggar aturan keras pesantren.
Gus Arga, Abah, dan semua kakak Ning Azzahra menatap barang-barang itu dengan wajah merah padam. Kemarahan mereka tak terbendung. Ini adalah pelanggaran serius yang dilakukan oleh santri yang seharusnya menjadi teladan. Gus Hanif hanya menghela napas, "Sudah kuduga." Namun, mereka semua sepakat untuk tidak memberitahu Ning Azzahra tentang penemuan ini, khawatir ia akan syok dan mengganggu kehamilannya.
Razia pun akhirnya selesai. Dengan daftar pelanggaran yang panjang dan tumpukan barang sitaan, rombongan mulai menuruni tangga. Namun, saat mencapai lantai enam, Ning Azzahra yang sedari tadi berusaha kuat, mulai kehilangan tenaganya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar, dan pandangannya mulai kabur. Ia merasa oleng, kakinya lemas, dan hampir terjatuh dari tangga yang curam.
"Azzahra!" seru Gus Arga panik sambil berusaha meraih istrinya.
Namun, sebelum Gus Arga sempat menjangkau, seorang santriwan senior yang kebetulan baru keluar dari kamarnya dan melihat Ning Azzahra terhuyung, dengan refleks cepat maju dan tanpa pikir panjang langsung menopang tubuh Ning Azzahra agar tidak jatuh.
Seketika itu juga, Gus Arga dilanda kemarahan yang luar biasa. Ia melihat istrinya yang sedang hamil, yang ia jaga dan lindungi sepenuh hati, disentuh oleh santriwan lain, meskipun niatnya membantu. "Jauhkan tanganmu!" bentak Gus Arga dengan suara menggelegar, matanya menyala-nyala. Ia segera menarik Ning Azzahra dari santriwan itu dan menggendong istrinya.
Ning Azzahra sendiri sudah terlalu lemas dan pusing untuk menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia hanya bisa bersandar lemah di dada Gus Arga, napasnya tersengal-sengal. Beban naik turun tangga beberapa lantai, ditambah ketegangan selama razia dan godaan-godaan yang dialaminya, membuat tubuhnya benar-benar kelelahan. Gus Arga memeluk Ning Azzahra erat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, bercampur dengan kemarahan yang masih membara. Keluarga yang lain juga segera mendekat, menyadari betapa parahnya kondisi Ning Azzahra saat itu.
Setelah mengevakuasi Ning Azzahra ke ndalem untuk beristirahat, Gus Arga dan kakak-kakaknya kembali ke asrama putra untuk melanjutkan investigasi. Namun, Ning Azzahra yang merasa penasaran dan khawatir dengan apa yang sebenarnya terjadi, diam-diam menyusul mereka. Ia merasa harus tahu apa yang membuat suami dan keluarganya begitu marah dan kecewa.
Dengan langkah pelan dan hati-hati, Ning Azzahra memasuki asrama putra yang masih ramai dengan aktivitas razia. Ia mencari-cari keberadaan Gus Arga dan kakak-kakaknya. Akhirnya, ia menemukan mereka di salah satu kamar santri senior.
Tanpa mengetuk pintu, Ning Azzahra langsung masuk ke dalam kamar tersebut. Pemandangan yang ia lihat di dalam kamar itu membuatnya terkejut dan syok berat. Di atas meja, tergeletak foto-foto dirinya yang diambil secara diam-diam, obat tidur, kitab-kitab yang seharusnya belum boleh dipelajari, dan barang-barang yang hanya boleh digunakan oleh pasangan suami istri.
Ning Azzahra tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa dunia runtuh seketika. Ia tidak menyangka bahwa para santri yang selama ini ia anggap sebagai adik-adiknya sendiri, ternyata memiliki pikiran dan perbuatan yang begitu kotor dan menjijikkan. Ia merasa jijik, marah, dan kecewa.
Tubuh Ning Azzahra mulai gemetar. Ia merasa mual dan pusing. Pandangannya mulai kabur. Ia kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal ke belakang. Untungnya, Gus Salman dan tiga kakak laki-lakinya yang lain dengan sigap menahan tubuh Ning Azzahra.
"Azzahra!" seru Gus Salman panik. "Kamu kenapa?"
"Ning, kamu tidak apa-apa?" tanya salah satu kakaknya dengan khawatir.
Ning Azzahra tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis terisak-isak. Ia tidak bisa menahan kesedihan dan kekecewaan yang memuncak di dalam hatinya.
Gus Arga yang melihat Ning Azzahra menangis, segera menghampirinya dan memeluknya erat. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi istrinya dari kenyataan pahit ini.
"Maafkan aku, Sayang," bisik Gus Arga dengan suara lirih. "Aku tidak seharusnya membiarkanmu melihat ini."
Ning Azzahra tidak menjawab. Ia hanya bisa membalas pelukan Gus Arga dengan erat. Ia merasa aman dan nyaman berada di pelukan suaminya.