Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
Di Jakarta hujan deras..
Arkan berdiri ditempatnya kerja sambil menatap kaca jendela ruang kantornya yang basah akibat hujan yang terbawa angin. Sebelah tangannya menggenggam payung merah jambu cukup erat.
Tatapannya menyendu tatkala petir menyambar cukup kuat. Kemudian ia tersenyum tipis, senyuman yang sarat akan kerinduan.
Cukup lama Arkan terdiam, ia akhirnya memutuskan kembali berjalan keluar dari gedung raksasa tersebut dengan langkah yang kuat namun disetiap ketukan ada tersimpan begitu banyak perasaan terluka.
Ibu.. Aku rindu..
***
Arkan menghela nafas ketika mendapati lift yang akan membawanya ke lantai bawah itu kosong. Ini sudah lewat dari waktunya pulang, jadi wajar saja jika keadaan gedung raksasa itu sangat lenggang alias sepi. Mungkin hanya terlihat beberapa karyawan yang memang dapat jatah lembur.
Pria itu menyenderkan tubuh tegapnya didinding lift sembari memejamkan kedua matanya.
Ia hanya ingin pulang dan segera tidur.
Tak lama keheningan itu terpecah akibat suara ponselnya yang berdering. Ia meraih benda pipih itu disaku celana tanpa merubah posisinya sama sekali dan langsung menempelkannya ditelinga begitu saja.
"Halo?"
"Ini Ayah."
Suara berat sang Ayah yang terdengar dari ujung sana refleks membuat kedua mata Arkan terbuka.
"Oh.. Ada apa, Yah? Sebentar lagi aku pulang."
"Jangan kerumah dulu, langsung ketempat restoran biasanya saja."
"Sekarang?"
" Iya."
Arkan sempat mengecek arloji yang melingkar apik dipergelangan tangannya. Mengernyit heran saat melihat waktu yang menunjukkan pukul 9 malam, sudah lewat waktunya makan malam.
"Memangnya ada apa, Ayah?"
"Kau akan tahu nanti. Baiklah.. Ayah tunggu disana.. Jangan lama."
Lalu sambungan terputus begitu saja, membuat pria itu kembali menghela nafas dan menyimpan ponselnya kembali. Bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.
Suasana lantai satu cukup sepi, sesekali terlihat security yang sedang berpatroli dengan senter ditangan mereka. Sesekali Arkan akan tersenyum sopan sebagai tanda salam.
Saat berjalan keluar gedung, ia mendapati seorang wanita yang berdiri tepat dihadapan mobilnya. Wanita itu sesekali menengadahkan kepalanya ke langit berharap hujan segera berhenti.
"Oh, Mbak belum pulang?" sapanya ramah.
Wanita itu meliriknya sejenak dengan dengusan kecil, "Begitulah. Hujan menghambat semuanya."
Sejenak si wanita sedikit berharap Arkan akan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun saat sudut matanya melihat payung lipat berwarna merah jambu. Ia jadi berharap tidak saja.
Arkan mengangguk, "Saya bisa antar tapi—"
"Tidak.. Tidak usah," tolaknya cepat dengan senyuman yang dipaksakan.
Diantar dengan payung? Tch..! Romantis sih tapi tidak berkelas. Lebih baik aku hujan-hujanan saja. Sial! Kupikir ia orang kaya. Seandainya pemilik Audi hitam itu yang menawarkan...Huhuhuhu.. Gerutunya dalam hati.
Arkan mengerjap sejenak sebelum mengangguk.
"Baiklah.. Kalau begitu saya permisi dulu, Mbak," pamit Arkan sopan sambil berjalan menuju mobilnya. Ia mengeluarkan kunci dan memencet tombol kunci hingga terdengar bunyi khas mobil.
Si wanita tadi langsung melongo kaget, refleks ia memekik nama Arkan yang baru saja hendak masuk kedalam jok kemudi.
"Tu-tunggu!"
Arkan berbalik dan sontak menatap wanita itu bingung, "Ada apa, Mbak?"
Bodoh kau, Mira!
Siwanita yang bernama Mira itu tersenyum kaku, "Aku.. Berubah pikiran. Apa aku masih boleh menumpang pulang? Sepertinya hujan akan lama berhentinya.."
"Ah.. Boleh saja. Tapi—"
"Arkan! Cepatlah, Aku sudah ingin pulang dan tidur."
Sebuah suara wanita terdengar dari dalam mobil membuat Mira kaget.
Siapa itu?!
Pertanyaan Mira terjawab ketika kaca mobil bagian penumpang depan turun perlahan dan menampakkan wajah Ayana, memasang tampang songong dengan kaca mata hitam yang terpasang apik diwajahnya. Padahal hari sudah malam.
Ayana sedikit menurunkan kacamatanya dan menatap Mira datar.
"Hai, Mira."
Mira mendengus sebal, sudah ia dengar gosip diseluruh penjuru perusahaan jika Ayana mencoba menggaet Arkan dengan terus menempeli pria tampan itu kemana-mana.
Dasar lintah.. Batin Mira.
"Oh, Mbak menumpang Arkan juga?" Sapanya dengan senyuman ramah yang ia buat-buat.
Ayana menaikkan lagi kacamatanya santai, "Arkan yang menawarkan, tidak mungkin menolak rejeki, kan?"
Lagi-lagi Mira tersenyum, tapi sebenarnya ia ingin sekali memukul Ayana saking kesalnya.
Wanita itu kembali menatap Arkan yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.
"Eumm.. Jadi, Arkan. Aku—"
"...oh maaf. Arkan tak bisa mengantarmu, tadi hanya sekedar berbasa-basi saja. Jangan baper, ya?"
"Hah?!" Mira bisa merasakan darahnya mulai mendidih.
Ayana hanya tersenyum lalu mengambil payung lipat merah jambu tadi dan melemparnya pada Mira, dan untung saja bisa ditangkap dengan baik.
"Itu payungku. Tadi Arkan mengambilkannya untukku. Kau pakai saja, lagian hujan mulai berhenti.." Katanya lagi lalu melihat Arkan sejenak, "Ayo.. Jangan buat Ayahmu menunggu."
"Oh, Benar. Maaf ya Mbak," Kata Arkan lalu masuk kedalam mobil dan mulai menyalakan mesinnya.
Sementara Ayana kembali menatap Mira dengan seringaian tipis miliknya sebelum menaikkan kaca mobilnya lagi.
Lalu Mira?
Wanita itu sudah menggerogoti payung Ayana gemas sekali.
"Dasar lintah darat! Kusumpahi sial kau!" Teriaknya sebal lalu berjalan sembari menghentak-hentakkan kakinya keluar halaman perusahaan.
Baru juga berjalan, hujan lebat kembali turun kali ini lebih deras dari yang tadi. Mira langsung membuka payung tersebut dengan cepat, namun naasnya payung itu malah rusak.
Dan ia berakhir basah kuyup.
"AARGHHH.. AYANA SIALAN..!!"
***
"Yakin disini saja, kak?"
Ayana mengangguk, "Humm.. Kau pergilah. Lihat bisku sudah datang.." Katanya sambil menunjuk sebuah bis yang sudah terlihat dari jauh.
"Baiklah, Hati-hati, kak," katanya lalu kembali menjalankan mobilnya. Tak berapa lama Arkan seolah ingat sesuatu hingga ia mengerem mendadak.
"Kok, kak Ayana tahu aku akan bertemu Ayah?!"
***
Arkan masih tak habis pikir bagaimana Ayana bisa tahu perihal hal tersebut. Hingga ia melangkah masuk kedalam restoran mewah yang biasa dikunjungi keluarganya pun Arkan masih sibuk berfikir.
"Tuan Arkan?"
Suara seorang pelayan pria menyadarkannya, hingga membuat Arkan jadi kagok sendiri. Tersenyum canggung dan mengangguk meng-iyakan.
"Mari.. Anda sudah ditunggu di ruangan VIP."
Lagi, Arkan hanya mengangguk dan mengikuti si pelayan menuju ruangan yang dimaksud.
Saat pintu dibuka, Arkan mengernyit bingung ketika tak mendapati sosok Ayahnya dimanapun. Malah ia mendapati sosok seorang wanita yang tengah berdiri menghadap jendela seolah ia tengah menikmati hujan yang turun membasahi jendela.
"Eh.. Kita tak salah ruangan kan?" tanya Arkan pada si pelayan.
"Tidak Tuan. Saya permisi, selamat menikmati makan malam anda.." pamitnya lalu pergi sembari menutup pintunya.
Arkan sendiri berjalan masuk perlahan, menatapi punggung wanita yang ia perkirakan tingginya tak melebihi dirinya itu ragu.
Kalau benar dia salah ruangan, Arkan akan pura-pura gila saja.
"Eumm.. Permisi. Apakah—"
Ucapannya terhenti ketika sosok wanita yang menggunakan kemeja baby blue dengan celana kain hitam itu menoleh kearahnya.
Arkan sempat terpaku. Wanita itu cantik—sangat malah— namun ada aura manis menggoda yang menguar hingga membuat jiwa pria perkasanya seolah diuji keaktifan hormon testosteronenya.
"Arkan, ya?"
Arkan mengerjap sejenak dan mengangguk ragu.
"Ya.. Aku Arkan. Anda siapa?"
Wanita itu—yang entah siapa—tanpa banyak kata langsung tersenyum lebar sekali hingga gigi kelincinya terlihat. Detik berikutnya Arkan sudah tumbang dilantai dengan si wanita bergigi kelinci tadi tepat berada diatas perutnya.
"Akhirnya aku bertemu denganmu, Arkan! Aku Elira! Elira Naraya Pradipta, calon istrimu!" Pekiknya girang bagai anak kecil.
Arkan blank.
Hah?!