Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Layaknya anak kecil yang tertangkap basah mencuri daging dari panci ibunya, jantung Sofia Putri berdegup kencang ketika pria itu tiba-tiba menangkap tangannya. Ia melirik ke bawah, lalu mendongak hanya untuk menemukan tatapan pria itu yang berapi-api menembus matanya. Spontan ia menelan ludah. Sial, ia benar-benar dalam masalah besar.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya datar, suaranya dingin, jauh berbeda dengan nada hangat yang sempat ia dengar saat operasi berlangsung.
Sofia panik. Otaknya bekerja cepat mencari alasan, dan tanpa pikir panjang ia langsung berbohong—refleks.
“Aku cuma mau membetulkan maskermu. Kayaknya agak longgar waktu operasi tadi,” katanya dengan nada canggung, menunduk sambil tersipu. “Lagipula… kamu cukup tampan.” Ia berusaha terdengar malu-malu, seolah tak sengaja mengisyaratkan bahwa ia sempat melihat wajahnya.
Pria itu menyipitkan mata, menatap Sofia penuh selidik. Beberapa menit lalu ia tak mengira wanita ini tipe pemalu. Jadi… apakah Sofia hanya berakting? Entahlah, mereka hampir tidak saling mengenal. Untuk apa ia repot-repot mencari tahu lebih jauh?
Andai saja pria itu punya pendengaran super, ia pasti bisa mendengar jantung Sofia yang berdebar kencang. Padahal di luar ia berusaha terlihat tenang. Tuhan, kenapa tadi ia sampai berani memberi isyarat kalau sempat melihat wajahnya? Bagaimana kalau pria ini ternyata mafia berbahaya yang menjaga rapat identitasnya? Kalau ketahuan, bukankah nyawanya bisa melayang? Semua ini gara-gara Ruth! rutuknya dalam hati.
Sofia menarik tangannya pelan, mengingatkan bahwa pria itu masih menggenggamnya. Untung saja pria itu segera melepaskannya. Ia lalu merapikan maskernya sendiri, memberi kesempatan bagi Sofia untuk mencuri pandang sekali lagi.
---
Untuk seseorang yang baru saja menjalani operasi tanpa anestesi, pria itu masih sepenuhnya sadar tanpa menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Gila, pikir Sofia. Kuat sekali orang ini—bahkan terlalu kuat.
“Apakah aku setampan itu?” tanyanya tiba-tiba.
“Hah?” Sofia terkejut. Pertanyaan itu datang begitu saja, membuatnya refleks terpaku.
Ia hanya memberi senyum sopan.
“Itu bukan jawaban,” pria itu menegaskan, masih menatapnya.
“Baiklah…” Sofia menelan ludah.
“Baiklah?” Ia mengangkat alis.
“Kamu jelas tahu dirimu tampan. Kenapa harus dengar lagi dari mulutku?” balas Sofia, agak jengkel sekaligus malu.
Pria itu tersenyum puas. “Karena lebih menyenangkan kalau orang lain yang mengonfirmasi.”
Sofia mendengus, lalu akhirnya mengalah. “Oke, kamu tampan. Puas?”
Senyumnya melembut, membuat Sofia sedikit salah tingkah. Senyuman itu mengikis sedikit aura intimidatifnya. Sial, kenapa ia malah merasa nyaman sekarang? Harusnya ia menjauh. Pria ini jelas bukan levelnya—dia terlalu berbahaya.
“Kamu punya pacar?” tanyanya mendadak.
Sofia terdiam, kaget. Baru saja ia ingin menjaga jarak, eh malah kehidupan pribadinya yang diusik.
“Aku rasa aku nggak berkewajiban cerita soal itu padamu,” jawabnya hati-hati.
“Punya pacar itu bukan hal rahasia. Jadi jawab saja, ya atau tidak?” tekan pria itu, seolah memberi perintah.
Sofia mendengus pelan. “Kenapa kamu begitu kepo soal pacarku? Mau jadi pacarku, gitu?” godanya setengah bercanda, berusaha mengalihkan.
“Ya, kalau kamu mau,” jawabnya tenang tanpa basa-basi.
“A-apa?” Sofia terbelalak. Rahangnya hampir jatuh mendengar kejujuran lugas itu.
“Aku cuma mau jadi pacarmu kalau kamu bisa setia. Dan tentu saja… kalau kamu masih single,” lanjutnya serius.
Sofia mengedip dua kali. Apa barusan ia tidak salah dengar? Bagaimana obrolan yang tadinya aman tiba-tiba jadi seperti ini?
Wajahnya merona, ia berdeham canggung. Ya Tuhan, pria ini benar-benar percaya diri. Apa dia kira Sofia mudah ditaklukkan? Hanya karena dia tampan, bukan berarti ia akan jatuh begitu saja—kecuali kalau pria itu terus menggoda dengan cara seperti ini.
“Kamu memang pintar melucu,” Sofia tertawa gugup.
Tapi pria itu menatapnya lekat, suaranya dalam. “Aku yakin aku tidak bercanda.”
Sofia membeku. “Hah?”
“Aku lajang, dan aku bukan tipe lelaki yang buang waktu dengan banyak perempuan. Memang… sebagai laki-laki aku butuh pelepasan sesekali, tapi aku belum pernah menjalin hubungan serius. Dan entah kenapa, aku tertarik untuk memulainya denganmu,” jelasnya, begitu gamblang.
“Kenapa aku?” pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Sofia.
“Pertama, kamu cantik. Jangan salah sangka, aku nggak hanya melihat fisikmu, tapi mata memang yang pertama tertarik sebelum hati. Kedua, kamu menarik. Ada sesuatu dalam dirimu yang bikin aku ingin tahu lebih banyak. Dan percayalah, hampir tidak ada wanita yang membuatku merasa seperti ini.”
Sofia tertegun. Rasanya seperti adegan drama, terlalu mengada-ada untuk nyata.
“Aku memang menjalani hidup yang… penuh risiko. Mungkin aku bukan pria yang akan memberimu mawar, tapi aku bisa memberimu hatiku—dan semua hal yang bisa kubeli dengan uang,” ucapnya merayu.
Hidup penuh risiko? Sofia langsung menebak, jangan-jangan dia penjahat atau orang yang terlibat hal berbahaya. Itu justru menjijikkan baginya.
“Maaf, aku harus menolak tawaranmu. Senang sekali kau menganggapku begitu berharga, tapi aku tidak bisa,” Sofia menolak dengan sopan.
Tatapannya mengerut, curiga. “Kenapa kamu menolakku?”
“Aku belum siap menjalin hubungan. Lagi pula, bagaimana aku bisa pacaran dengan seseorang yang bahkan aku tidak tahu namanya?” Sofia mencoba memberi alasan logis.
Tiba-tiba pria itu tersenyum samar. Ia meraih tangan Sofia dan, di tengah keraguannya, ia mengecup punggung tangannya pelan. Lalu menatapnya sambil berkata,
“Kamu bisa memanggilku Erik.”