Seorang detektif muda tiba-tiba bisa melihat arwah dan diminta mereka untuk menyelesaikan misteri kematian yang janggal.
Darrenka Wijaya, detektif muda yang cerdas namun ceroboh, hampir kehilangan nyawanya saat menangani kasus pembunuh berantai. Saat sadar dari koma, ia mendapati dirinya memiliki kemampuan melihat arwah—arwah yang memohon bantuannya untuk mengungkap kebenaran kematian mereka. Kini, bersama dua rekannya di tim detektif, Darrenka harus memecahkan kasus pembunuhan yang menghubungkan dua dunia: dunia manusia dan dunia arwah.
Namun, bagaimana jika musuh yang mereka hadapi adalah manusia keji yang sanggup menyeret mereka ke dalam bahaya mematikan? Akankah mereka tetap membantu para arwah, atau memilih mundur demi keselamatan mereka sendiri?
Update setiap hari,jangan lupa like dan komen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadinachomilk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 13 PEMBALASAN PANTI KASIH
Jena membawa anak itu pergi ke kamar agar beristirahat. Darren,Gavin dan Selina menyusun rencana untuk menguak panti kasih yang ternyata melakukan praktek penjualan organ.
"Gimana Lin?"Darren menatap Selina yang sedang fokus dengan laptopnya.
"Gue uda hack semua tentang panti kasih,bahkan rekap semua yang mencurigakan. Tinggal cari bukti fisik"
"Gue tinggal bilang pak Doni buat geledah tempat itu"Darren mengambil ponselnya.
"Tapi lo yakin bakal diizinin komisaris,lagipula ini kasus udah ditutup lama" Gavin berkata sambil menyenderkan kepalanya di sofa.
"Gue coba"Darren mencari kontak telfon yang bernama pak Doni.
Tutt..
"Halo pak,saya minta besok bapak geledah panti kasih disana saya sama rekan rekan nemuin ada praktek ilegal"
"baik nak darren,untuk bukti dan lain lain kirim ke saya biar saya mintakan surat izin dari pak komisaris"
"baik pak saya tunggu,terimakasih"
Tuttt suara telepon dimatikan.
"Gimana ren?"
"Pak Doni setuju,tinggal minta izin komisaris"
Gavin dan Selina mengangguk angguk,lalu Jena melangkahkan kakinya menuju ruang tamu lalu ikut duduk di sebelah Gavin. Handphone Selina berbunyi lalu ia angkat,Selina menjawab telepon itu sambil mengangguk angguk dan terkejut.
"Oh shit,gila"
Selina menggenggam erat tangannya sendiri, tubuhnya gemetar hebat.
"Gavin… Darren… Jena... gue nemuin sesuatu yang gila. Ini bukan sekadar kasus orang hilang biasa" Suaranya serak, matanya memerah.
Darren menatapnya penuh tanda tanya.
"Maksud lo apa, Lin?"
Selina menelan ludah, lalu mengeluarkan ponselnya. Di layar, ada foto-foto kabur hasil jepretan diam-diam anak-anak yang digiring masuk ke dalam truk kontainer, wajah mereka pucat, sebagian masih belia.
"Mereka diperdagangkan secara ilegal. Ada yang dijual ke luar negeri buat jadi pekerja paksa, ada juga yang…."
Suaranya tercekat, air mata mulai mengalir. "organ mereka diambil secara paksa"
Gavin langsung mengumpat pelan, wajahnya memucat.
"Gila ini udah di luar dugaan"
Darren mengepalkan tangan, urat di pelipisnya menegang.
"Gila ini lebih dari praktek ilegal bahkan mereka lakuin ke anak anak kecil yang tidak bersalah. Kita harus segera mengungkap kasus panti itu"
Tiba tiba suasana menegang,lampu ruang tamu itu berkedip kedip seolah ada yang memainkannya. Darren tahu kalau ini adalah tanda kedatangan hantu anak kecil itu.
Dannnnnn Yaaa,hantu anak kecil itu muncul tepat di hadapan Darren sambil tersenyum menyeringai.
"Ya tuhan"Darren syok melihat muka anak kecil itu yang setengah kebakar.
"Kamu ini dari kemarin kemana saja,datang datang buat ngagetin. Ntar kalau gue jantungan ga bisa bantu kamu lagi"kesal Darren.
Anak itu tak menjawab dengan kata, hanya tertawa lirih. Namun perlahan ia mengangkat tangannya yang gosong, jari-jarinya gemetar menunjuk ke arah Darren.
Suara bergema langsung merasuk ke kepala Darren, bukan keluar dari mulut hantu itu, melainkan seolah berbisik di dalam kepalanya.
"Ruang 011 di bawah tanah. Semua bukti ada di sana. Kau bisa menjerat mereka pemilik Li Meditech,kau pasti bertemu mereka"
Darren tertegun, matanya melebar.
"Ruang 011? Apa maksudmu?"
Hantu anak itu mendekat, wajahnya kini hanya beberapa centimeter dari Darren. Bau hangus tercium menusuk hidung. Darren hampir menahan napas.
"Jangan percaya wajah mereka semua tersimpan di ruang 011" suara itu makin lirih, lalu perlahan tubuh hantu itu bergetar, memudar seperti kabut, hingga hilang begitu saja.
Lampu kembali menyala stabil. Hanya tersisa Darren yang berdiri kaku, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Ruang 011?" Gavin memecah keheningan, suaranya berat.
"Ren, lo denger apa barusan?"
Darren menarik napas panjang, lalu menoleh ke mereka.
"Kita harus geledah di ruang 011 disana ada bukti konkret buat kita menjarakan pemilik Li meditech"
Suasana kembali hening hingga akhirnya telepon Darren berbunyi.
"Hallo nak Darren saya sudah bersiap untuk menggeledah panti itu"
"Baik pak Doni saya segera kesana fokusin ke ruang 011 di ruang bawah tanah"
Tutt,telepon dimatikan.
"Ayo kita segera berangkat,jena tunggu anak itu disini"
Jena mengangguk,lalu Gavin,Darren, dan Selina berjalan keluar memasuki mobil mereka. Mobil itu melaju dengan kencang hingga sampai di depan panti kasih yang sudah dipenuhi mobil polisi.
"Dimana pak Doni?"tanya Darren kesalah satu polisi.
"Sudah didalam menangkap Bu Lina salah satu petinggi di panti"
Darren,Gavin dan Selina masuk ke panti itu,anak anak sudah dibawa para polisi untuk dilindungi.
"Pak Doni bagaimana?sudah ketemu bukti untuk menangkap orang orang disini?"tanya Darren sambil menatap tajam ke arah Bu Lina.
"Belum nak"
"Kalau begitu biar saya,Gavin sama Selina saja. Bapak urus orang orang disini"
Darren,Gavin dan Selina melangkahkan kakinya untuk masuk keruangan yang ada lukisan besar lalu agak menggeser yang membuat lantai itu bergetar,dan memperlihatkan tangga spiral.
"Ayo kita turun"
Selina,Gavin dan Darren turun ke ruang bawah tanah disana banyak sekali ruang dan lorong namun naas disana banyak sekali penjaga dan perawat yang bersembunyi.
"Vin,Lin siap"
"Siap"Gavin dan Selina berucap bersamaan.
Lorong bawah tanah itu bergetar oleh suara langkah kaki. Puluhan penjaga dan perawat berjas putih berlarian dari dua arah, sebagian memegang pentungan besi, sebagian lagi menggenggam pisau bedah yang berkilat di bawah cahaya lampu neon yang berdenyut tak stabil.
Selina berdiri di depan Darren dan Gavin, matanya tajam, napasnya berat.
"Mereka nggak bakal biarin kita keluar hidup-hidup" gumamnya.
Darren merenggangkan leher, lalu memutar pergelangan tangan seolah sedang pemanasan sebelum bertarung.
"Bagus gue lagi butuh pelampiasan"
Gavin tersenyum miring, menurunkan posisi tubuhnya, siap menyerbu.
"Kalian ambil kiri, gue sapu kanan"
Begitu teriakan pertama pecah, segerombolan penjaga menerjang.
BRAK!
Darren menendang meja logam ke arah mereka. Dua orang langsung terhempas ke dinding, senjatanya terlepas. Dengan lincah, ia menyambar pentungan, memutar sekali, lalu menghantam keras kepala penjaga lain. Darah muncrat ke lantai.
Di sisi lain, Gavin melompat ke atas ranjang besi beroda, lalu meluncur ke tengah kerumunan seperti peluru. Ia menekuk lutut, memutar tubuh, menendang dua orang sekaligus. Suara tulang patah bergema, jeritan memenuhi ruang sempit itu. Gavin menunduk cepat, menghindari sabetan pisau, lalu menghantam perut penyerangnya dengan siku.
Selina, yang tampak anggun namun mematikan, meraih pisau bedah yang terjatuh. Ia bergerak cepat, menusuk tangan seorang perawat yang hendak menyayatnya, lalu berputar lentur gerakannya mirip penari tapi penuh brutalitas. Dalam sekejap, ia menebas paha seorang penjaga, membuatnya jatuh berlutut sambil menjerit.
"Selina! Punggung lo!" teriak Darren.
Ia melompat, menangkis ayunan parang yang nyaris mengenai Selina, lalu menghajar lawan itu dengan hantaman lutut ke wajah hingga terdengar suara retak keras.
Lorong berubah jadi medan perang. Dinding berlumur darah, lampu neon terus berkelap-kelip, bayangan mereka bergerak cepat seperti siluet iblis.
Namun jumlah musuh tak habis-habis. Setiap kali satu roboh, tiga lagi muncul dari lorong bercabang.
Gavin menoleh ke Darren sambil mengelak pukulan besi.
"Kalau kita diem di sini, kita bakal kalah"
Darren memukul wajah lawan dengan brutal lalu menoleh cepat.
"Kita cari ruang 011 segera"
Selina menusuk terakhir kalinya, lalu berdiri dengan wajah penuh darah.
"Kalau gitu, ayo lari segera cari ruang 011 di bagian kiri"
Tiga sosok itu kembali berdiri berdampingan, tubuh mereka berlumuran darah musuh, mata berkilat tajam. Lalu, dengan teriakan yang menggema di lorong sempit, mereka bertiga menerjang ke depan, menabrak gelombang penjaga berikutnya.