Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Sedang apa kamu di sini, Kak?" Arman muncul tiba-tiba, tangannya sudah penuh dengan bando dan pita lucu.
Arka menoleh, cukup terkejut. “Mencari hadiah untuk seorang gadis kecil,” jawabnya singkat sambil terus menatap ikat rambut unicorn yang ia pegang.
Arman terkekeh, lalu mengangkat sebuah bando dengan telinga mini mouse. “Aku rasa ini cocok untuk dia.”
Arka melirik ke tangan kembarannya yang penuh dengan aksesori warna pink dan ungu. “Untuk siapa itu?” tanyanya dengan dahi terangkat curiga.
“Kepo,” jawab Arman sambil memutar bola mata, wajahnya dibuat tengil.
Arka mempersempit pandangannya. “Kamu bukan loli, kan?”
Arman langsung melotot. “Astaga! Aku ini pria normal, oke!”
“Lalu, itu untuk siapa?” Arka menunjuk barang-barang di tangan Arman sambil menyeringai penuh kecurigaan.
“Ra-ha-sia,” sahut Arman sambil cepat-cepat pergi ke kasir.
Arka hanya menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya yang seperti bocah. Namun, dalam hatinya dia penasaran kepada siapa bando-bando itu akan diberikan.
Arman melangkah cepat ke kasir sambil tersenyum kecil. "Sudah lama tidak bertemu Yasmin. Seandainya aku tahu di mana rumahnya, aku akan datang," batinnya. Sosok gadis kecil itu terus terbayang dalam benaknya. Bukan hanya karena tingkah lakunya yang lucu, tapi karena Yasmin membuatnya merasa hangat—perasaan yang jarang ia temui di tengah kekacauan keluarganya.
Arman menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Jadwal pekerjaannya hari ini terlihat padat, menumpuk sejak kemarin ia bolos karena urusan keluarga. Sekilas, dia menghela napas berat. Jadwal kencan yang sudah ia rencanakan sejak seminggu lalu harus ditunda lagi. Sudah hampir dua minggu ia dan kekasihnya tidak bertemu, dan malam ini seharusnya menjadi momen untuk melepas rindu, tapi kenyataan berkata lain.
"Hari ini pembukaan pameran hasil UMKM di kantor walikota. Kamu yang pergi!" perintah Arka tiba-tiba dari balik pintu ruangannya.
Arman mengangkat wajahnya dengan tatapan tak percaya. “Nggak bisa. Pekerjaan aku hari ini gila-gilaan. Aku mungkin bakal lembur. Bahkan udah batalin acara kencan malam ini," balas Arman dengan nada kesal dan lirikan mata tajam, seolah ingin berkata ‘masa kamu tega juga, sih?’
Arka hanya menatap adiknya datar, lalu menghela napas. Mau tak mau, tugas itu harus dia ambil alih. Walau malas menghadiri acara-acara formal, terutama yang berkaitan dengan keramaian dan sorotan publik, tapi sebagai pemilik usaha besar, ia harus menunjukkan eksistensinya di tengah geliat usaha kecil warga.
"Kalau ada apa-apa di sini, kamu yang urus," kata Arka, sebelum meraih jas dan kunci mobilnya.
Langit mendung menggantung di atas kantor walikota. Area pameran yang digelar di pelataran gedung itu dipenuhi tenda-tenda kecil. Warna-warni spanduk dan papan nama UMKM berjajar rapi. Mulai dari kuliner khas rumahan, hasil bumi segar petani lokal, sampai kerajinan tangan unik—semuanya menarik perhatian pengunjung yang datang dari berbagai kalangan. Meski bukan akhir pekan, suasana tetap ramai. Warga antusias menikmati produk-produk hasil tangan tetangga mereka sendiri.
Arka melangkah pelan menyusuri lorong-lorong tenda, sesekali mengangguk sopan saat disapa peserta pameran. Sesuatu di matanya tampak lebih tenang, lebih lembut, terutama ketika melihat semangat para pelaku usaha kecil yang memperjuangkan hidup dengan produk buatan sendiri.
Langkahnya mendadak terhenti. Di antara keramaian, muncul sosok yang tidak asing baginya, Inggrid.
Wanita itu mengenakan gaun putih elegan, dengan heels tinggi dan rambut yang disanggul setengah. Aura glamor terpancar dari seluruh penampilannya. Namun, bagi Arka, hanya satu kata yang mencuat dalam benaknya saat melihat wanita itu: pengkhianat.
“Arka! Apa kabar?” sapa Inggrid dengan senyum menggoda yang dulu mampu menjeratnya ke jurang cinta buta. Suaranya lembut, seolah tidak pernah ada luka di masa lalu.
Arka menoleh sekilas. Pandangannya tajam dan dingin, tak lebih dari tatapan terhadap angin lalu. Ia kemudian melanjutkan langkahnya, seolah wanita itu hanyalah bayang-bayang masa silam yang tak layak ditoleh kembali.
“Arka, tunggu!” seru Inggrid, mengejar dengan langkah cepat. Tumit sepatunya berdetak keras di atas lantai tenda.
Arka tetap berjalan, tapi tubuhnya menegang. Ia tidak suka ditarik mundur oleh masa lalu, apalagi oleh orang yang telah menyayat harga dirinya.
“Aku ingin bicara sama kamu,” ucap Inggrid tergesa, lalu nekat menarik tangan Arka. Sentuhan itu membuat Arka berhenti. Dia menatapnya tanpa senyum. Dingin. Mata pria itu seperti dua cermin gelap yang tak memantulkan kembali kenangan apa pun.
“Ada apa?” tanya Arka ketus. Nadanya tegas, menolak basa-basi. Inggrid dapat merasakan betapa jauh jarak emosional yang terbentang di antara mereka.
Belum sempat Inggrid menjawab, Arka sudah bersiap meninggalkan tempat itu lagi. Tangan wanita itu langsung mencengkram erat.
"Aku merindukan kamu," ucap Inggrid.
"Bukannya dulu sudah aku bilang jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" ucap Arka dengan penuh penekanan, tanpa melihat ke arahnya. Sungguh, dia masih benci kepada wanita itu.
"Aku masih mencintaimu, Arka. Aku mengaku salah karena sudah jatuh ke dalam rayuan Benio. Dia mengatakan semua keburukan kamu, sehingga aku terpedaya," tukas Inggrid melakukan pembelaan.
"Aku tidak peduli. Jangan pernah ganggu aku lagi." Arka menghempaskan tangan Inggrid yang sejak tadi memegang lengannya.
Pak Baharuddin sibuk menyiapkan beberapa barang ke dalam mobil tuanya yang masih setia menemani perjalanan keluarga kecil itu. Dari kaca jendela warung, Hannah memperhatikan sosok ayahnya yang dengan sabar melipat kursi roda dan meletakkannya ke dalam bagasi. Tangannya cekatan, namun ada kelembutan penuh cinta dalam setiap geraknya.
“Hannah, jangan takut. Ayah akan selalu ada di sisimu,” ucap Pak Baharuddin dengan suara tenang dan penuh keyakinan, seakan ingin meredakan kecemasan putrinya yang tersimpan rapi di balik senyum tenangnya.
Hannah menjawab dengan bahasa isyarat, “Iya, Yah.” Tatapan matanya lembut namun jelas menyiratkan kegugupan. Baginya, keluar rumah dan berada di tengah keramaian masih menjadi tantangan tersendiri. Namun, demi Yasmin, dia berusaha melawan rasa cemas itu.
"Yasmin menunggu-nunggu acara ini dan ingin mengajak kamu jalan-jalan sambil jajan," ujar Pak Baharuddin sambil tersenyum, mengingat betapa semangat cucunya ketika melihat iklan pameran UMKM di televisi lokal. Suaranya penuh kehangatan, seperti mencoba menyalakan semangat di dada Hannah.
Dalam hati, Hannah terus-menerus berdoa. Semoga semua berjalan lancar hari ini. Semoga tidak ada insiden kecil yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri. Ia hanya ingin menikmati hari bersama ayah dan putrinya, meski itu berarti harus kembali menghadapi tatapan orang-orang asing di keramaian.
"Ayah tetap akan membawa kursi roda. Takut nanti kamu kelelahan berjalan," lanjut Pak Baharuddin, nadanya datar namun jelas mengandung rasa khawatir.
Tatapan Hannah berpindah pada kursi roda yang terlipat rapi di tangan ayahnya. Dia menelan ludah pelan. Sebagian dari dirinya ingin berkata, “Tidak usah, Ayah. Aku bisa,” tapi realita berkata lain.
Pak Baharuddin memahami tatapan putrinya. Dengan lembut, dia berkata sambil menepuk pundak Hannah, “Ayah, simpan di bagasi. Biar tetap bisa kamu pakai kalau memang dibutuhkan, tidak usah memaksakan diri.”
Perlahan Hannah mengangguk. Hatinya hangat oleh perhatian yang tak pernah putus dari pria paling berarti dalam hidupnya.
Beberapa menit kemudian, semuanya siap. Mobil tua yang sudah melewati banyak musim itu mulai melaju pelan dari halaman warung. Di dalamnya, ada tiga hati yang berdegup dengan harapan masing-masing—Yasmin dengan antusiasme khas anak-anak, Pak Baharuddin dengan tekad untuk melindungi keluarganya, dan Hannah dengan semangat baru untuk berani melangkah lebih jauh dari batas dirinya.
"Ayo, kita berangkat!" seru Pak Baharuddin dengan semangat, memutar setir ke arah jalan utama. Mereka pun melaju menuju pameran UMKM di balai kota, membawa serta harapan akan hari yang cerah.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗