NovelToon NovelToon
Membawa Benih Mafia

Membawa Benih Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Aliansi Pernikahan / Iblis
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: CantiknyaKamu

Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MBM

Mobil hitam berhenti tepat di halaman depan mansion.

Langit Kanada telah berubah jingga kemerahan. Sancha turun dari mobil dengan langkah gontai. Matanya sembab, napasnya berat. Pak Mamat membukakan pintu, dan Sancha masuk perlahan.

Di dalam rumah, suasana hening.

Beberapa maid menunduk menyambut, tak berani menatap matanya.

Langkah Sancha terhenti saat melihat sosok Alaska berdiri di balik jendela besar ruang kerja, membelakangi pintu.

Tubuh tegapnya diam, tangan di saku celana, hanya cahaya matahari sore yang menyorot punggungnya.

Sancha melangkah mendekat. Ia tahu… hanya ini satu-satunya kesempatan.

Sancha (pelan tapi jelas):

“Tuan Alaska…”

Alaska tidak berbalik.

Sancha:“Saya ingin bicara…”

Alaska (datar):“Bicara.”

Sancha:

“Papa saya… akan dimakamkan besok pagi.”

(Ia menarik napas.)

“Saya mohon… izinkan saya datang…”

Alaska tetap diam, seolah kalimat itu hanya angin lalu.

Sancha (menahan tangis):

“Saya tidak minta dilindungi. Tidak minta dikawal. Saya hanya ingin berdiri di sana… di sisi makam beliau, sebagai putrinya… untuk terakhir kalinya.”

Alaska (pelan tapi tajam):

“Kenapa aku harus peduli pada keinginanmu? Bukankah kau juga pernah mencoba menjebakku demi uang?”

Sancha mengepalkan tangannya, hatinya perih.

Sancha:

“Saya memang pernah jadi bagian dari rencana kotor ibu tiri saya. Tapi tidak pernah sekalipun saya rela… dan sekarang, saya bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada orang tua saya yang satu-satunya…”

Ia mendekat dua langkah ke belakang Alaska.

Sancha (lirih):

“Kalau kau masih punya hati… izinkan saya pergi besok.”

Alaska (setelah diam cukup lama):

“Kau akan tetap dikawal.”

Sancha mengangkat kepala, seolah tak percaya.

Sancha:

“Jadi… saya boleh?”

Alaska (dingin):

“Satu jam. Tidak lebih. Dan kau tetap kembali ke mansion setelah itu. Aku tak ingin melihat namamu atau fotomu muncul di media.”

Sancha menahan air mata.

“Terima kasih… setidaknya untuk ini.”

Ia berbalik, lalu perlahan keluar dari ruang kerja, meninggalkan Alaska yang masih diam, namun matanya sedikit berubah—menyiratkan luka, mungkin… atau keraguan.

Saat Sancha pergi, Amar masuk membawa berkas laporan.

Ia melirik Alaska yang tetap berdiri mematung.

Amar:

“Tuan… apakah benar tidak akan datang ke pemakaman besok?”

Alaska (masih menatap jendela):

“Dia sudah cukup patah… Jangan biarkan dia lihat wajahku di hari itu.”

____

Malam sebelum pemakaman.

Malam itu sunyi. Lampu gantung di lorong-lorong mansion hanya menyala redup. Sancha duduk di tepi ranjang kamarnya, mengenakan kaus lengan panjang dan celana tidur yang longgar, wajahnya lelah—namun ia menolak menangis lagi.

Tangannya menggenggam foto lama Ayahnya—Pak Mahdi—tersenyum di bangku taman panti. Sancha menyentuh foto itu pelan-pelan, seolah sedang menyentuh pipi ayahnya sendiri.

“Besok… aku akan mengantar Papa… untuk terakhir kalinya…”

lirihnya pada diri sendiri.

Ia menarik napas panjang, berusaha menata emosi. Dalam kepalanya, terlalu banyak luka: kematian sang ayah, penjara emosional dari Alaska, dan kehamilan yang belum sepenuhnya ia terima.

Namun malam itu, ia memilih diam dan tegar.

Ia tahu, pagi nanti bukan waktu untuk amarah atau ketakutan. Tapi waktu untuk memberi penghormatan terakhir.

Udara dingin Kanada menyentuh kulitnya saat Sancha melangkah keluar dari pintu mansion. Ia mengenakan pakaian serba hitam—gaun sederhana namun rapi, rambutnya dikuncir rendah, wajahnya polos tanpa riasan.

Di hadapannya, tiga mobil hitam mewah telah berjajar rapi.

Sopir dan pengawal berdiri di samping kendaraan, mengenakan jas hitam, tangan di depan dada.

“Kami akan mengantar Anda sesuai perintah Tuan Alaska,” ujar salah satu pengawal dengan suara datar.

Sancha mengangguk. Ia tidak berkata apa-apa, hanya melangkah menuju mobil paling depan, lalu masuk dengan tenang.

Di dalam mobil, Sancha memandangi jalanan kota dari balik jendela. Kabut tipis masih menyelimuti langit, dan sepanjang perjalanan, matanya berkaca-kaca.

Bayangan masa kecilnya bersama ayah mulai terputar di kepalanya:

Tangan Pak Mahdi yang hangat saat menggenggam tangan kecilnya menyeberang jalan.

Suara tawa mereka saat makan malam sederhana di dapur rumah sempit.

Kalimat terakhir ayahnya sebelum ia kabur dari rumah:

“Jangan biarkan dunia mematikan cahaya dalam dirimu, Cha…”

Sancha menutup mata.

“Maafkan aku, Pa… aku terlambat…”

Perusahaan besar milik Alchui.

tubuh tegap dan gagah itu masuk dengan aura yang dingin,masih banyak yang mengagumi pria tampan ini. Bahkan banyak yang merendahkan dirinya demi bisa tidur dengan seorang Alaska.

Amar dan Ali berjalan beriringan,keduanya mempunyai tugas yang berbeda walaupun status mereka sama-sama asisten Alaska.

Amar sedikit berbicara..”tuan nyonya sudah tiba di pemakaman sejak 5 menit yang lalu dengan selamat,pak mamat sudah memberikan videonya kepada saya..apa saya perlu mengirim ke email anda..?”

“lakukan..!”jawab nya dengan dingin menekan tombol lift khusus untuk dirinya..

“satu lagi tuan…nyonya sepertinya mulai merasakan ngidam,naif mengatakan kepada saya,kalau nyonya keluar kamar saat kemarin malam,mencari jus buah naga di campur kacang almond…”

“lalu..?”

“yang pasti di buatkan dong tuan…!”seru Ali secara tiba-tiba..

Ali membesarkan matanya,ia spontan menjawab,lirikan amar membuat Ali mereka di hantui..sedangkan Alaska hanya terdiam dan segera membuka pakaian nya dengan mengganti dengan pakaian yang baru,karena ia baru saja melakukan pekerjaan dengan darah.

“lakukan ke sterilan pada kantor dan lakukan meeting 2 jam lagi..”titah Alaska masuk kedalam ruangan pribadinya dan merebahkan tubuhnya didalam sana.

____

Langit pagi itu kelabu.

Awan menggantung berat seperti menahan hujan, dan embusan angin membawa aroma tanah basah. Tiga mobil hitam berhenti perlahan di tepi gerbang pemakaman kecil yang dikelilingi pepohonan pinus tua.

Peti kayu berwarna cokelat gelap telah disiapkan di atas lubang makam.

Beberapa staf panti hadir. Tidak banyak orang—hanya para perawat yang mengenal Pak Mahdi selama di panti. Mereka berdiri dalam diam, mengenakan mantel panjang dan syal.

Sancha keluar dari mobil pertama.

Langkahnya pelan, wajahnya pucat tapi matanya kuat menatap ke depan.

Langkah Sancha mendekati peti itu. Ia berdiri di sampingnya, lalu berlutut perlahan. Tangannya menyentuh kayu peti ayahnya, dan untuk sesaat… dunia seperti berhenti berputar.

“Papa…” bisiknya.

Isaknya pelan, tapi cepat berubah menjadi tangisan yang menyesakkan.

“Maafkan aku… aku terlambat… aku tak sempat bilang bahwa aku hidup, bahwa aku baik-baik saja…”

Tangannya menggenggam kain hitam yang menutupi peti, tubuhnya berguncang hebat. Sancha menangis seperti anak kecil yang kehilangan pelukan paling aman di dunia.

Salah satu perawat perempuan mendekat, menunduk di samping Sancha dan memegang pundaknya.

“Beliau sangat bangga padamu, Sancha… Bahkan saat kondisi fisiknya melemah, setiap hari beliau bilang: ‘Anakku pasti akan datang. Aku harus kuat menunggu dia’…”

Tangisan Sancha pecah lebih dalam.

Angin bertiup makin dingin. Beberapa dedaunan berjatuhan dari ranting.

Para pengawal Alaska berdiri jauh di belakang, memberikan jarak. Mereka tidak menyela.

Sancha terlihat seperti gadis kecil yang rapuh, tapi mereka tahu… ia sedang melawan badai dalam dirinya sendiri. Sancha berdiri setelah beberapa menit berlutut. Ia menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lirih:

“Papa… jika nanti anakku lahir… aku akan bercerita tentang dirimu… tentang kekuatan dan kebaikanmu…”

“Terima kasih… karena mencintaiku bahkan saat dunia membenciku…”

Ia meletakkan bunga lili putih di atas peti.

“Selamat jalan, Papa…”

Para petugas pemakaman mulai menurunkan peti perlahan.

Sancha hanya berdiri dan menatap, air mata masih mengalir, tapi ia tidak menjerit lagi. Ia telah melepas dengan doa.

1
Faulinsa
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!