NovelToon NovelToon
Bintangku 2

Bintangku 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Cintapertama / Keluarga / Cintamanis
Popularitas:182
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah yang Terasa Berbeda

Mobil berhenti tepat di depan rumah Oma Rosmawati ketika langit sudah mulai berwarna jingga. Matahari sore menyisakan cahaya pucat yang memantul di pagar besi tinggi—rumah itu tetap sama megahnya, sama anggunnya, namun entah kenapa terasa asing bagi Bintang.

Bio mematikan mesin. Ia tidak langsung turun.

Bintang pun tidak.

Keduanya terdiam beberapa detik lebih lama dari biasanya, seolah ada sesuatu yang ingin diucapkan tapi sama-sama ditahan.

“Aku… sampai sini saja,” ujar Bio akhirnya, suaranya rendah.

Bintang menoleh. Senyum kecil muncul di bibirnya, senyum yang terlalu tipis untuk disebut baik-baik saja.

“Iya,” jawabnya pelan. “Makasih sudah nganter.”

Bio membuka pintu lebih dulu dan turun, lalu mengitari mobil untuk membukakan pintu Bintang—kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan, bahkan saat suasana sedang tidak menentu. Bintang melangkah turun, gaunnya bergerak tertiup angin sore. Rambutnya tergerai, sedikit berantakan, dan Bio menahan keinginan untuk merapikannya seperti dulu.

Mereka berdiri berhadapan.

Rumah itu menjulang di belakang Bintang, sementara Bio berdiri di sisi luar pagar—seolah sudah ada garis tak kasatmata yang memisahkan mereka.

“Kamu masuk saja,” kata Bio, berusaha terdengar ringan. “Aku… nanti pulang.”

Bintang mengangguk, lalu ragu. Tangannya bergerak, seakan ingin menggenggam lengan Bio, tapi berhenti di udara.

“Bio,” panggilnya.

“Iya?”

“Kalau Oma… kalau Oma bersikap aneh, jangan langsung mikir yang macem-macem ya.” Bintang menunduk. “Aku akan jelasin. Pelan-pelan.”

Bio tersenyum kecil. Senyum yang tidak sepenuhnya sampai ke matanya.

“Aku percaya sama kamu,” katanya. “Cuma… kadang aku takut telat ngerti.”

Kalimat itu menggantung di antara mereka.

Bintang menelan ludah. Ia ingin berkata lebih, ingin meyakinkan, tapi pintu rumah sudah terbuka. Seorang asisten rumah tangga berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan senyum sopan yang kaku.

“Oma sudah menunggu, Non.”

Bintang mengangguk. “Iya.”

Ia kembali menatap Bio. Kali ini lebih lama.

“Hati-hati di jalan,” ucapnya.

“Kamu juga.”

Bintang melangkah masuk. Pintu tertutup pelan, tapi bunyinya terdengar jauh lebih keras di telinga Bio.

Di dalam rumah, udara terasa berbeda.

Bukan karena suhu, bukan karena pencahayaan—melainkan karena keheningan yang terlalu rapi.

Bintang meletakkan tasnya di meja kecil dekat tangga. Ia melangkah ke ruang tengah, di mana Oma Rosmawati duduk di sofa dengan punggung tegak, mengenakan kebaya rumah berwarna netral. Sebuah tablet ada di tangannya, tapi pandangannya terangkat begitu Bintang masuk.

“Kamu sudah pulang,” ujar Oma, datar.

“Iya, Oma.”

Bintang duduk di kursi seberang, seperti kebiasaan lama. Namun kali ini, jarak di antara mereka terasa lebih panjang.

“Kondisimu sudah lebih baik?” tanya Oma.

“Sudah,” jawab Bintang cepat. “Aku cuma masih gampang capek.”

Oma mengangguk singkat. “Bagus.”

Hening kembali turun.

Biasanya, Oma akan bertanya lebih banyak—tentang rumah sakit, tentang pekerjaan, atau sekadar menanyakan apa Bintang sudah makan. Tapi kali ini, Oma hanya menatap layar tabletnya, jemarinya bergerak perlahan.

Bintang menggeser duduknya. “Oma…,” ia memulai, lalu ragu. “Tadi Bio yang nganter.”

“Hm.”

Hanya satu bunyi pendek.

Bintang menarik napas. “Aku senang dia ada.”

Kali ini Oma menatapnya. Tatapan yang tidak keras, tapi penuh perhitungan.

“Oma tahu,” kata beliau. “Oma juga tahu kamu nyaman dengannya.”

Bintang mengangguk. “Terus…?”

“Terus,” Oma meletakkan tabletnya, “kenyamanan tidak selalu berarti masa depan yang aman.”

Kalimat itu seperti sentuhan dingin di tengkuk Bintang.

“Oma tidak melarang,” lanjut Rosmawati. “Oma hanya mulai memikirkan hal-hal yang mungkin belum sempat kamu pikirkan.”

Bintang terdiam. Ia mengenal nada itu—nada yang sama ketika Oma mengambil keputusan penting dalam bisnis. Tenang, rapi, dan sulit dibantah.

Di luar, Bio masih duduk di mobilnya.

Mesin belum dinyalakan. Tangannya bertumpu di setir, pandangannya tertuju pada jendela lantai dua rumah itu. Lampu kamar Bintang belum menyala.

Ada perasaan asing di dadanya—bukan cemburu yang meledak, bukan marah yang membara, melainkan sesuatu yang lebih pelan dan lebih menyakitkan.

Takut tertinggal.

Ia akhirnya menyalakan mesin dan melaju pergi, tanpa tahu bahwa di dalam rumah itu, Bintang sedang duduk dengan punggung lurus, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa rumah yang ia pulangi masih tempat yang sama.

Padahal, tidak lagi.

Dan malam itu, masing-masing dari mereka mulai menyadari—

beberapa jarak tidak diciptakan oleh langkah,

melainkan oleh niat yang diam-diam berubah.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!