NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: Anak Kedua dan Luka yang Paling Sunyi

Kelelahan dan Gagal Fokus

Rina berdiri di ambang pintu kamar Arka, punggungnya terasa kaku dan matanya perih karena kurang tidur. Energi yang sempat ia dapatkan saat sujud (sebuah kehangatan tiba-tiba yang meredakan pusingnya) kini mulai terkuras lagi. Tekanan ganda membebani pikirannya: tagihan yang menumpuk di meja dapur dan kebutuhan Arka.

Pagi itu, Arka demam ringan. Demam yang bagi anak lain hanya rewel sebentar, bagi Arka adalah krisis. Arka memerlukan perhatian ekstra, cairan, dan pemantauan suhu konstan. Rina tidak bisa sedetik pun mengalihkan pandangan darinya.

“Tiga puluh delapan koma dua derajat. Tidak naik lagi, Alhamdulillah,” bisik Rina, mengusap kening Arka dengan kompres dingin. Arka, yang masih memeluk jaket pelaut usang Ayahnya, hanya bergumam pelan, pandangan matanya yang besar kini sedikit berkabut oleh sakit.

Rina berjongkok di samping tempat tidur Arka. Ia meraih ponselnya, bukan untuk menghubungi siapa pun, melainkan untuk memeriksa kunci jendela yang ia tutup rapat semalam. Rumah terasa kosong dan besar, dan dalam ketiadaan Bara, ia selalu merasa rumah itu tidak aman.

Rumah ini tidak aman tanpa tiang utamanya, batin Rina. Ia berulang kali memeriksa kunci dan jendela, merasa rumah itu terancam oleh dunia luar.

Ia kembali menyentuh kening Arka. Rasa bersalah menghimpitnya. Bara pergi demi Ayahnya yang sakit, tetapi juga demi biaya terapi Arka. Kenyataan itu terus membebani Rina, membuatnya semakin memprioritaskan Arka dan kebutuhan finansialnya.

“Nak, minum lagi ya,” bujuk Rina lembut. Arka mengangguk samar, membiarkan Rina membantunya minum air madu hangat.

Saat Rina sibuk memusatkan perhatian pada suhu tubuh Arka, ia mendengar suara gemerisik pelan dari sudut ruangan.

Luka yang Semakin Sunyi

Nirmala, yang biasa dipanggil Mala, kini berusia lima tahun. Ia adalah anak yang sangat penurut. Ia duduk di lantai kamar Arka, di balik tirai jendela yang tipis, jauh dari sorot lampu dan perhatian Rina. Ia tidak mengeluh. Ia hanya diam, sibuk dengan buku gambarnya.

Mala mengamati Ibunya. Ia melihat bagaimana seluruh dunia Rina berputar di sekitar Arka. Sentuhan lembut Rina, bisikan khawatirnya, dan pandangan mata Rina yang tidak pernah lepas dari kening Arka. Mala memeluk boneka lamanya erat-erat.

Ia sudah dewasa. Ia sudah berusia lima tahun. Ia tidak ingin rewel seperti anak kecil. Ia tahu krisis ini nyata, dan Ayahnya hilang.

Aku tidak boleh sakit. Aku tidak boleh rewel. Aku harus jadi anak baik, batin Mala.

Ia menoleh ke bonekanya. Boneka itu tidak sakit, tidak perlu diperhatikan. Aku baik-baik saja, jadi aku tidak penting.

Kesimpulan pahit ini adalah perwujudan dari luka intinya, yang semakin sunyi. Mala meyakini bahwa perhatian Rina adalah sumber daya yang terbatas, dan karena ia sehat dan penurut, ia kehilangan hak atas perhatian itu.

Mala berdiri perlahan. Ia berjalan ke pintu kamar, beringsut keluar tanpa menimbulkan suara. Rina tidak menoleh. Rina hanya berkata tanpa mengalihkan pandangan dari Arka, “Mau ke mana, Sayang?”

“Ke kamarku, Bu. Aku mau menggambar Ayah,” jawab Mala pelan.

“Oh, baik. Hati-hati ya, Nak.” Rina mengangguk samar, tetapi fokusnya tetap pada Arka.

Mala menarik napas dalam, mengangguk singkat, dan menutup pintu kamar Arka dengan sangat pelan. Ia tidak rewel. Ia tidak meminta pelukan. Ia tidak menuntut.

Ia berjalan ke kamarnya, ke sudut yang biasa ia jadikan tempat menyendiri. Ia mengambil pensil pendek (pensil tumpul yang pernah Bara berikan) yang ia simpan di laci, dan mulai menggambar. Ia harus menggambar Ayahnya, sebelum ia benar-benar melupakan wajahnya.

Bara dan Kerugian Kecil

Jauh di seberang lautan, di Pulau Sunyi, kondisi Bara memburuk. Ia berada di hutan lebat, mencari kelapa untuk bertahan hidup. Keterbatasan fisiknya sangat nyata. Tubuhnya kurus dan penuh luka gores dari semak berduri.

Saat mencoba memanjat pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, kakinya terpeleset. Ia jatuh, untungnya tidak terlalu keras, tetapi lututnya terbentur keras pada akar pohon yang besar. Bara meringis pelan, luka kecil itu mengeluarkan darah.

Ia merangkak kembali ke Cadas Sunyi, tempat doanya. Rasa sakit fisik ini hanya menambah rasa bersalah dan putus asa.

Aku bahkan tidak bisa memanjat pohon kelapa, Yanto bisa. Aku lemah. Bagaimana aku bisa menjadi imam bagi mereka jika aku tidak bisa melakukan ikhtiar fisik sekecil ini? Bara memegang lututnya yang berdarah. Luka sepele ini melambangkan kegagalannya melakukan ikhtiar fisik secara efektif. Martabatnya sebagai pelaut dan kepala keluarga hancur.

Ia membuka Buku Doa Musafirnya. Kerugian kecil ini memicunya. Ia menyadari ia harus mencari ikhtiar yang paling spiritual: doa terpenting untuk Mala, sebelum Mala terluka lebih jauh karena ketiadaannya.

“Aku harus menuliskan janji, janji spiritual terakhirku untuknya,” bisik Bara, suaranya serak oleh dehidrasi. Ia tahu, meskipun ia gagal dalam segala hal di dunia nyata—gagal mencari uang, gagal menjenguk Ayahnya, gagal mempertahankan kapalnya—ia tidak boleh gagal dalam janji spiritualnya kepada putrinya yang paling sunyi itu.

Ia mengambil pensil pendek Mala yang semakin menipis. Ini adalah satu-satunya alat tulis yang tersisa.

Pengupingan yang Menyakitkan

Siang menjelang sore di rumah Rina. Arka sudah tertidur setelah demamnya mereda sedikit. Rina duduk di sofa, bersandar lemas. Ia baru saja akan memejamkan mata, ketika ponselnya berdering. Nomor asing.

Rina melihat ke kamar Arka, lalu segera mengangkatnya. Ia menjauh dari kamar Arka, khawatir suara telepon akan membangunkannya.

“Halo. Ini siapa?” tanya Rina, nadanya waspada.

“Saya Rudi, Bu Rina. Rekan kerja Bara di KM Harapan Jaya. Saya mau bertanya tentang status hukum asuransi Bara. Bapak Harjo menghubungi saya,” jawab suara pria di seberang, nadanya formal.

Rina bergidik mendengar nama Harjo. Agen asuransi itu terus mendesaknya untuk mengajukan akta kematian.

“Ah, ya, Bapak Harjo,” Rina merendahkan suaranya, berbisik penuh ketegangan. “Saya tahu status hukumnya, Pak. Kami belum bisa putuskan. Tapi... ya, saya harus bersiap.”

“Bersiap bagaimana, Bu? Katanya Anda menolak menjual rumah?”

“Saya tahu, Pak. Tapi... peluang Bara tidak ditemukan memang besar, kan? Kami sudah tiga minggu. Tidak ada kapal yang melintas, tidak ada berita lain,” Rina menekan suaranya, berusaha terdengar realistis di hadapan orang luar. Ia berjuang keras melawan keinginan spiritualnya (untuk menunggu Bara) demi memenuhi tuntutan logika rekan Bara.

“Saya harus mulai bersiap, Pak. Saya harus mulai memikirkan status hukumnya, demi anak-anak.”

Di balik tirai dapur, Mala baru saja keluar dari kamarnya. Ia haus. Ia memegang gelas plastiknya, berjalan menuju dispenser air minum. Ia berhenti tepat di belakang tirai saat mendengar suara Rina yang berbisik.

Mala mendengar kalimat itu dengan jelas: “...peluang Bara tidak ditemukan memang besar...”

Mala membeku. Gelas plastik di tangannya sedikit miring, tetapi tidak tumpah. Matanya yang besar memantulkan ketakutan.

Konsekuensi Emosional: Luka Menganga

Mala mendengar ibunya sendiri, yang ia cintai dan ia percayai, berbicara tentang peluang Bara tidak ditemukan. Bukan harapan, tapi peluang.

Ia kembali menyimpulkan luka intinya, tetapi kali ini jauh lebih tajam.

Jika Ayah tidak kembali, itu bukan karena badai. Itu karena aku tidak cukup penting baginya untuk kembali.

Bara sudah gagal dalam janji finansial kepada Rina. Kini, menurut pandangan Mala, Bara juga gagal dalam janji cintanya kepada Mala.

Air matanya tumpah tanpa suara. Ia membalikkan badan dengan sangat cepat dan lari ke kamarnya.

Rina, yang masih berbisik di telepon, tidak menyadari apa-apa. Ia terlalu fokus pada keruntuhan logis yang ia hadapi.

“...Saya akan coba bertahan, Pak. Tapi ya, saya tahu batasnya. Terima kasih atas informasinya,” tutup Rina, segera mematikan sambungan telepon dengan napas tercekat.

Ia kembali ke kamar Arka, duduk di sofa, memijat pelipisnya. Kelelahan ganda menghantamnya lagi.

Rina mencoba memejamkan mata. Ia mendengar suara isakan samar dari kamar Mala.

Rina berjalan ke kamar Mala. Ia menemukan Mala sudah tertidur, memeluk bantalnya erat-erat, wajahnya basah oleh air mata.

“Mala, Sayang. Kenapa menangis?” Rina berlutut di samping tempat tidur.

Mala tidak menjawab. Ia hanya menggeleng, membenamkan wajahnya ke bantal. Ia berpura-pura tidur.

Rina menyentuh Mala, lalu mencium pipinya. Rina tidak mendesak. Ia tahu putrinya butuh waktu.

Rina berdiri, berjalan keluar dari kamar. Ia tidak menyadari bahwa Mala tidak benar-benar tidur.

Setelah Rina menutup pintu, Mala membuka matanya. Ia bergerak perlahan, mengambil pensil pendeknya (pensil tumpul yang Ayahnya berikan) dan selembar kertas lusuh dari bawah kasurnya.

Ia harus mengirimkan pesan rahasia kepada Ayahnya. Ia harus membuktikan bahwa ia penting. Ia harus menyembuhkan luka inti yang ibunya sendiri tanpa sengaja lukai.

Mala duduk di lantai, menulis huruf-huruf besar yang miring dan tidak beraturan di kertas lusuh itu—sebuah upaya untuk mengirimkan pesan rahasia kepada Ayahnya, memohon agar Ayahnya kembali.

Aku tidak boleh seperti Arka yang bicara hanya karena keajaiban.

Ini adalah upaya pertama Mala, ikhtiar yang ia sembunyikan di balik keheningannya, sebuah rahasia yang ia rencanakan untuk diselipkan ke suatu tempat yang ia yakini akan ditemukan oleh Ayahnya saat pulang.

Konfrontasi Sunyi di Cadas Bara

Bara, yang lututnya berdarah, bersandar pada batu kapur di Cadas Sunyi. Ia memegang pensil pendek Mala yang semakin menipis. Ia merasa frustrasi luar biasa atas luka sepele yang menghentikan ikhtiar fisiknya.

Aku gagal dalam hal-hal kecil. Bagaimana aku bisa percaya pada keajaiban di hal-hal besar?

Ia merenung tentang Mala. Ia mengingat bagaimana Mala selalu menyendiri di sudut, sibuk menggambar, kontras dengan Arka yang kebutuhannya selalu jelas dan mendesak (biaya rumah sakit, terapi, perhatian konstan). Bara sadar, bahkan sebelum ia berangkat, ia dan Rina sering kali mengabaikan kebutuhan emosional Mala.

Ia membuka Buku Doa Musafirnya. Halaman-halaman sebelumnya dipenuhi doa-doa yang bersifat umum: untuk keselamatan, untuk peneguhan hati Rina, dan untuk ketenangan Arka. Kini, ia tahu ia harus menulis janji untuk Mala.

Ia mulai menulis, mengabaikan rasa sakit dan lapar. Pensil itu terasa hangat di tangannya, seolah menyimpan sisa-sisa energi putrinya.

“Ya Allah,” desis Bara, suaranya parau. “Aku tidak meminta diselamatkan. Aku hanya meminta, biarkan janji-Mu pada Nirmala menjadi janji yang kupenuhi. Jika aku gagal menjadi imam baginya di dunia, izinkan aku menjadi imam spiritualnya dari sini.”

Ia terus menulis, mencurahkan rasa bersalahnya yang terpendam.

Martabat yang Dipertanyakan

Di rumah, Rina masih dihantui monolog internalnya setelah percakapan telepon yang tidak sengaja didengar oleh Mala. Ia tahu ia telah gagal melindungi Mala dari kenyataan pahit, tetapi ia juga berjuang melawan Bunda Ida dan Herman.

Rina berjalan ke dapur. Bunda Ida ada di sana, tanpa diundang, sedang membersihkan meja dan memeriksa tumpukan tagihan.

“Kau sudah menghubungi pembeli perhiasan?” tanya Bunda Ida lugas, tanpa basa-basi.

Rina menggeleng, mengambil gelas air. Ia merasa lelah menghadapi konfrontasi yang sama berulang kali.

“Belum, Bu. Saya akan cari pekerjaan daring dulu. Saya tidak mau menjualnya.”

“Sampai kapan, Rina? Sampai Harjo datang lagi? Sampai Herman benar-benar menjual rumah ini? Kau sudah dengar sendiri, peluang Bara ditemukan itu kecil,” Bunda Ida menekan, nadanya dipenuhi kelelahan menghadapi kekeras kepalaan Rina.

Rina berdiri tegak. “Saya tahu apa yang saya dengar, Bu. Tapi saya punya keyakinan. Saya merasakan sesuatu. Saya tidak gila.”

“Gila atau tidak, Rina, itu tidak membayar tagihan. Kau bilang kau mau bekerja. Bekerja apa? Kau tidak pernah bekerja selama Arka lahir. Dunia luar akan melihatmu sebagai ibu yang gagal, tidak kompeten, dan terlalu fokus pada halusinasi,” kata Bunda Ida, menunjuk tumpukan tagihan. “Jual saja perhiasanmu, atau berikan padaku. Biar Ibu yang urus.”

Rina memejamkan mata. “Tidak, Bu. Perhiasan itu adalah martabat kami. Itu adalah kenangan terindah dari Bara. Saya akan mencari uang sendiri.”

Konflik antara martabat (Rina) dan logika (Bunda Ida) kembali memanas. Rina menyadari bahwa satu-satunya ikhtiar yang ia miliki adalah menahan serangan material dan logis ini, sambil mengandalkan kekuatan spiritual yang samar-samar ia rasakan.

Pesan Rahasia Nirmala

Mala duduk di kamarnya. Ia telah menyelesaikan pesan rahasianya. Itu adalah coretan acak dari huruf-huruf yang menyerupai namanya dan kata "pulang", dikelilingi oleh gambar bintang yang ia yakini akan membimbing Ayahnya.

Ia bangkit, berjalan pelan ke ruang tengah. Rina masih berdebat dengan Bunda Ida di dapur.

Mala berjalan melewati mereka tanpa disadari. Ia menuju lemari pakaian Bara. Lemari itu kini menjadi kuil bagi Ayahnya, terutama jaket pelaut usang yang sering dipeluk Arka.

Mala membuka lemari. Ia mengambil sehelai kemeja Bara yang terlipat rapi di bagian bawah. Ia menyelipkan kertas lusuh yang berisi pesan rahasianya itu ke dalam saku kemeja Bara.

Ayah harus melihat ini. Ini buktinya aku ada. Aku yang mengirimkannya, batin Mala.

Ia melipat kembali kemeja itu dengan hati-hati. Ia ingin memastikan pesannya sampai, dan ia yakin, kemeja inilah satu-satunya artefak yang Bara sentuh sebelum pergi.

Tiba-tiba, ia mendengar suara Arka merengek dari kamar. Demam Arka kembali naik.

“Arka!” Rina berteriak panik, segera berlari ke kamar Arka, mengabaikan Bunda Ida yang masih mengomel.

Bunda Ida menatap Mala yang baru saja keluar dari lemari.

“Nirmala, kenapa kau di sana?” tanya Bunda Ida.

Mala menggeleng, ia tidak menjawab. Ia hanya berlari pelan ke kamar Arka, mengikuti Ibunya. Ia merasa bersalah karena membiarkan Arka rewel.

Di kamar Arka, Rina sudah sibuk memasang kompres lagi, wajahnya cemas.

“Tiga puluh delapan koma lima, Bu! Panasnya naik lagi!” Rina panik.

Bunda Ida masuk. “Tuh, kan, Rina! Seharusnya fokusmu di sini! Bukan cari kerja yang tidak jelas! Ini bukti anakmu butuh perhatian penuh!”

Rina tidak menjawab. Ia terlalu lelah dan terlalu khawatir.

Mala berdiri di pintu kamar, memeluk bonekanya. Ia melihat Ibunya panik karena kenaikan suhu Arka, dan ia merasa pesan rahasianya untuk Ayahnya adalah hal yang sangat kecil dan tidak penting di tengah krisis yang nyata ini.

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di pulau terpencil, Bara baru saja selesai menulis doa panjang untuk Nirmala di Buku Doa Musafirnya, dengan harapan ia bisa menyembuhkan luka intinya.

Ia menutup buku itu, bersandar pada batu, air matanya menetes. Ia merasakan sebuah kegagalan yang menyakitkan. Ia tidak tahu bahwa saat ia mencurahkan isi hatinya untuk Mala di pulau, di rumah, Mala justru semakin meyakini bahwa ia tidak penting dan sedang melakukan ikhtiar rahasia seorang diri.

Ia menatap laut di hadapannya. Ia berjanji, janji di halaman buku doa itu akan menjadi bukti terakhir cintanya, meskipun ia harus mati di pulau itu.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!