Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.
Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.
Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.
Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.
Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.
Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Aku ingin aku segera memesankan sarapan pagi di sini? Atau kau lebih suka kita sarapan di luar?" tanya Arsha menawarkan sesuatu apa yang di inginkan Ayesha.
"Ide yang bagus, Tuan Arsha. Aku akan senang sekali," jawab Ayesha, berdiri.
"Panggil saja aku Arsha, Ayesha. Hanya Arsha," katanya dengan nada lembut.
Ayesha mengangguk, rona merah tipis muncul di pipinya. "Baik, Arsha."
~~
Mereka akhirnya turun ke restoran rooftop yang masih sepi. Cahaya keemasan matahari pagi membanjiri ruangan, menawarkan pemandangan kota yang mulai sibuk di bawah. Arsha dan Ayesha duduk di meja dekat jendela, memesan hidangan yang ringan. Croissant hangat untuk Ayesha dan English Breakfast untuk Arsha, ditemani kopi hitam pekat.
Ketika pesanan mereka tiba, keheningan yang nyaman menyelimuti keduanya.
"Kau menghapus janjimu," kata Arsha tiba-tiba, menatapnya lurus.
Ayesha tersentak, terkejut. "Ba-bagaimana kau tahu?"
Arsha tersenyum kecil, memotong sosisnya. "Aku melihatmu di sofa tadi. Ponselmu terbuka. Kau menghapus janji-janji itu demi memastikan kau bisa ada untukku lusa. Apa... ada sesuatu yang berubah?"
Ayesha menarik napas dalam. Kebohongan terasa tidak pantas di hadapan ketulusan pria di depannya.
"Ada," katanya pelan. "Semalam, kau memperlakukanku dengan sangat hormat. Kau mendengarkan, dan kau tidak memanfaatkanku. Lalu pagi ini... melihatmu beribadah dengan damai... itu membuatku sadar. Aku tidak ingin lagi bertemu denganmu hanya karena 'pekerjaan'. Aku ingin bertemu denganmu karena... karena itu adalah kau, Arsha."
Arsha meletakkan garpunya. Matanya memancarkan kehangatan dan sedikit kejutan. "Ayesha, aku sungguh menghargai kejujuranmu. Aku juga ingin kita bertemu lagi. Bukan sebagai 'klien dan pendamping', tapi sebagai teman."
Ia tersenyum, senyum yang membuat Ayesha merasakan dejavu dari rasa damai saat mendengarkan lantunan Al-Qur'an tadi.
"Untuk mempermudah 'pertemanan' ini," lanjut Arsha, "aku tidak suka menghubungi agen. Bisakah aku meminta nomormu?" Ia mengeluarkan ponselnya.
Ayesha cepat-cepat mengambil ponselnya juga, hatinya berdebar. "Tentu, Arsha."
Mereka bertukar nomor. Arsha segera mengirimkan pesan singkat. "Ini nomorku. Arsha."
"Sudah kuterima," kata Ayesha, tersenyum lebar. Ia merasa ikatan itu resmi, berbeda dari kontak formal yang ia miliki di masa lalu.
~
Setelah sarapan, mereka kembali ke suite untuk mengambil barang-barang Ayesha.
"Aku akan mengantarmu pulang," kata Arsha sambil meraih kunci mobilnya.
"Tidak perlu, Arsha. Aku bisa memesan taksi online," tolak Ayesha halus, tidak ingin merepotkan.
Arsha menggeleng. "Aku bersikeras. Aku tidak pernah membiarkan temanku pulang sendirian setelah begadang. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih karena kau telah menjadi pendengar yang luar biasa."
Ayesha tidak punya alasan lagi untuk menolak. Lagi pula, dia diam-diam senang. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Arsha."
Di dalam mobil mewah Arsha, Ayesha memberikan petunjuk arah. Dia sedikit gelisah karena Arsha akan melihat tempat tinggalnya yang sederhana namun mewah, namun masih jauh dari kemewahan suite hotel tadi malam.
Mereka tiba di sebuah area perumahan kelas menengah. Rumah Ayesha tampak kecil namun terawat, dipenuhi tanaman hijau yang teduh.
Saat mobil berhenti di depan rumahnya, Arsha mengamati lingkungan itu. Dia mengangguk pelan, seolah menyimpan informasi penting.
"Ini rumahku," kata Ayesha, sedikit canggung.
"Rumah yang indah, Ayesha. Penuh dengan keteduhan," puji Arsha tulus. "Terima kasih untuk semalam dan pagi ini. Itu... pengalaman yang sangat berarti bagiku."
Ayesha menoleh, sorot matanya bertemu dengan Arsha. "Terima kasih juga, Arsha. Karena telah menunjukkan padaku bahwa ada ketenangan yang lebih berharga daripada uang."
"Sampai jumpa lusa?" tanya Arsha, memastikan.
Ayesha mengangguk mantap. "Pasti. Sampai jumpa lusa."
Arsha menunggu sampai Ayesha masuk ke dalam gerbang rumahnya sebelum menjalankan mobilnya. Di kepalanya, ia memetakan alamat itu. Mengenali alamat Ayesha adalah bagian dari rencana Arsha untuk memastikan bahwa Ayesha, dan ibunya, akan selalu aman, tidak peduli apa pun yang terjadi.
~~
Arsha melajukan mobilnya menuju apartemen pribadinya, sebuah penthouse mewah yang terletak di jantung kota. Namun, fokusnya bukan pada hiruk pikuk jalanan atau kemewahan yang menantinya. Seluruh pikirannya dipenuhi oleh Ayesha.
Sepanjang perjalanan, senyum indah tidak pernah lepas dari bibirnya. Senyum tulus, yang jarang sekali ia tunjukkan pada kolega atau klien bisnisnya. Baginya, bertemu Ayesha seperti menemukan permata yang tersembunyi, ia memancarkan ketenangan, kejujuran, dan kehangatan yang kontras dengan dunia penuh perhitungan yang biasa ia hadapi.
'Dia seperti bidadari turun dari kayangan,' batin Arsha, membiarkan metafora puitis itu menggelitik hatinya.
Ia mengingat kembali mata Ayesha yang berkaca-kaca saat sarapan, kejujurannya tentang menghapus janji-janji, dan ketulusannya saat mengucapkan selamat pagi. Yang paling berkesan adalah alamat rumahnya yang sederhana namun terawat. Arsha sudah memiliki data lengkap tentang kehidupan Ayesha, termasuk riwayat perjuangannya, tetapi melihat langsung tempat ia tinggal memperkuat keinginannya untuk melindungi wanita itu.
Sesampainya di apartemen, ia memarkir mobil, tetapi masih duduk sejenak di kursi kemudi. Ia membuka galeri ponsel, melihat foto yang ia ambil diam-diam saat Ayesha tertidur di sofa malam itu, meski hanya foto bayangan, tidak jelas, namun cukup untuk menjadi pengingat keindahan yang ditemuinya.
Arsha menyentuh layar, lalu menghela napas panjang, penuh kebahagiaan. "Sampai jumpa lusa, Ayesha. Aku sudah tidak sabar menunggu momen itu."
~
Sementara itu, Ayesha segera memasuki rumahnya. Setelah mandi dan mengganti gaun mewahnya dengan pakaian rumahan yang nyaman, ia merasa seperti kembali menjadi dirinya yang seutuhnya.
Ia bergerak menuju kamar tidur ibunya. Aroma minyak angin dan obat-obatan samar tercium, namun suasana kamar itu penuh kasih sayang. Asisten rumah tangga sudah selesai merapikan kamar dan menyiapkan makanan serta obat untuk ibunya, Bu Ratih.
Bu Ratih, yang duduk bersandar di sandaran kasur dengan wajah yang semakin tirus, tersenyum lemah saat melihat putrinya masuk.
"Sudah pulang, Nak? Tidurmu nyenyak semalam?" tanya Bu Ratih, suaranya parau namun penuh perhatian.
Ayesha berjalan cepat dan langsung memeluk ibunya erat-erat, menyandarkan kepalanya di bahu Bu Ratih. Pelukan itu terasa seperti menumpahkan segala kelegaan dan kebahagiaan yang ia rasakan pagi ini.
"Nyenyak sekali, Bu," jawab Ayesha, suaranya sedikit tercekat karena menahan luapan emosi. "Sangat... damai."
Ia menarik diri, menggenggam tangan ibunya yang hangat. Wajah Ayesha berseri-seri, matanya memancarkan cahaya yang belum pernah dilihat Bu Ratih sebelumnya, melebihi sinar yang muncul saat Ayesha mendapatkan bayaran besar.
"Kenapa anak Ibu terlihat seperti habis melihat dunia yang baru?" tanya Bu Ratih, mengelus lembut pipi Ayesha. "Biasanya kau hanya lelah setelah pulang kerja."
Ayesha tertawa kecil. "Memang, Bu. Aku melihat dunia yang baru. Dunia yang ternyata... tidak harus selalu penuh kekhawatiran dan perhitungan."
Ia ingin sekali bercerita tentang Arsha. Tentang jas yang menghangatkan, tentang kesopanan yang dijaga, tentang lantunan ayat suci di pagi buta. Tapi ia belum berani. Ibunya adalah seorang penganut nilai-nilai agama Non-Muslim yang kuat, menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai 'pendamping' seorang pria kaya akan menyakitinya. Ia harus menemukan cara yang lebih baik untuk mengenalkan Arsha.
"Dia pria yang baik, Bu," kata Ayesha pelan, merujuk pada Arsha tanpa menyebut nama. "Dia sangat baik dan tulus."
"Siapa, Nak?" tanya Bu Ratih, semakin penasaran.
Ayesha tersenyum, menguatkan dirinya. "Seorang teman baru, Bu. Dia akan sangat membantu kita." Ia memandang ibunya dengan penuh harap.
Ia mengecup kening ibunya, hatinya berjanji. Kebahagiaan dan ketenangan yang ia rasakan pagi ini akan ia pertahankan, dan ia akan memastikan Arsha adalah bagian dari masa depan yang lebih baik bagi mereka.
...----------------...
Next Episode.....
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.