NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 12: Jejak Pembantaian yang Menyala

Langit di atas hutan itu menggantung berat, seolah enggan menatap apa yang terjadi di bawahnya. Kabut pagi belum sempat menipis ketika tanah mulai bergetar pelan, seperti napas dunia yang tertahan.

Di antara pepohonan purba yang menjulang, langkah-langkah seorang pemuda bergema lirih, namun setiap pijakannya menimbulkan retakan kecil di bumi yang lembap.

Liang Chen berjalan, atau mungkin lebih tepatnya, dituntun oleh sesuatu yang bukan dirinya. Tubuhnya bergerak tanpa arah, tetapi setiap gerakan mengandung kekuatan yang kasar dan mengerikan. Di matanya yang merah berputar, tidak ada kesadaran, hanya pusaran amarah purba yang menyala tanpa api.

Hutan itu, yang biasanya tenang dengan nyanyian burung dan desiran daun, kini terdiam sepenuhnya. Burung-burung lenyap dari dahan, serangga berhenti berbunyi, bahkan angin pun menahan napas. Udara di sekitar Liang Chen mengental,

bergetar halus seperti sebelum badai. Setiap langkahnya menebarkan gelombang panas yang samar, cukup untuk membuat dedaunan di sekitarnya layu dan jatuh sebelum waktunya.

Tanah yang diinjaknya menjadi gelap, bukan oleh bayangan, tetapi oleh sisa energi yang tertinggal, energi merah kehitaman yang meresap perlahan ke dalam akar pepohonan.

Di belakangnya, jalur panjang terbentuk: barisan daun yang membusuk dalam sekejap, ranting yang terbakar tanpa api, dan aroma besi darah yang tak berasal dari tubuh mana pun.

Gerakannya tampak lambat dari jauh, namun setiap ayunan tangannya membawa kehancuran yang diam. Ketika ia menebas udara dengan Pedang Hitamnya, pedang yang dulunya tumpul dan fana, udara itu sendiri seolah terbelah.

Tidak ada suara dentuman, hanya hembusan lirih, tapi pepohonan di depan ambruk satu per satu, terbelah dari akar hingga pucuk.

Di tubuhnya, luka-luka lama telah lenyap. Kulitnya tampak pucat, namun otot-ototnya menegang seperti baja. Energi Asura yang mengalir di dalam nadinya menegangkan seluruh tubuhnya, menghapus batas antara rasa sakit dan kekuatan.

Ia bukan lagi manusia dalam pengertian biasa; ia adalah bayangan yang berjalan di antara kehidupan dan kematian, membawa bau kehancuran yang bahkan binatang pun mampu mengenalinya.

Seekor kijang yang malang melintas di kejauhan, terperangah melihat sosok itu. Ia berhenti hanya sejenak, namun itu cukup.

Liang Chen tidak menoleh, tidak bergerak, tidak berniat menyerang. Namun energi yang memancar darinya menyentuh hewan itu, dan kijang itu jatuh begitu saja, tubuhnya menggigil dan membeku sebelum darahnya menetes ke tanah.

Tidak ada jurus, tidak ada niat membunuh, hanya napas yang mematikan.

Liang Chen terus melangkah. Setiap gerakannya seperti gema dari dunia lain, dan di belakangnya, kehidupan perlahan memudar. Hutan yang dulu hijau kini menjadi abu-abu dalam jejaknya. Lumut di batu mengering, aliran air di sungai kecil berhenti mengalir.

Langit di atas mulai berwarna aneh, seolah kabut merah tipis menjalar di antara awan. Burung pemangsa di puncak bukit terbang rendah, menjerit tanpa suara, seakan menolak kenyataan bahwa seekor makhluk fana dapat membawa hawa sekuat itu.

Energi Pembantaian di dalam tubuh Liang Chen belum menemukan arah. Ia tidak memburu, tidak mencari, hanya menelan apa pun yang berada di sekitarnya. Seperti lubang hitam yang baru lahir, ia menarik energi kehidupan tanpa sadar.

Dan Pedang di tangannya, Kesunyian Malam, bergetar perlahan, menyesuaikan diri dengan denyut sang pemilik. Cahaya merah pekat di sepanjang bilahnya berdenyut seperti nadi, seolah pedang itu bernapas bersama Liang Chen.

Sesekali, ia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, menebas udara kosong, dan setiap kali itu terjadi, udara di sekitar bergetar seperti gong besar yang dipukul dari dalam bumi.

Burung-burung yang masih bersembunyi di pepohonan jatuh dari dahan, mati tanpa luka. Suara bisikan samar mulai terdengar di sela desiran angin, tidak jelas dari mana asalnya, barangkali hanya gema energi Asura, atau mungkin nyanyian jiwa-jiwa yang tertelan oleh kekuatan itu.

Langkah Liang Chen akhirnya berhenti di sebuah dataran kecil di tengah hutan. Ia berdiri diam, matanya menatap ke langit yang mulai memerah, tapi pikirannya kosong. Aura merah di tubuhnya menebal, dan di tanah di sekitarnya, rerumputan membentuk pola melingkar, seakan bumi sendiri menjauh darinya.

Di kejauhan, seekor burung gagak melintas, tapi sayapnya terbakar begitu memasuki lingkaran itu. Tanpa sadar, Liang Chen mengangkat pedangnya perlahan, dan dunia di sekitarnya bergetar lembut, seperti merespons perintah tak bersuara.

Ia menebas sekali, perlahan, dan hutan di depannya runtuh, batang-batang besar ambruk dalam diam, dedaunan terbelah sebelum menyentuh tanah. Tidak ada suara gemuruh, hanya keheningan yang meluas, menelan segala sesuatu dalam radius puluhan langkah.

Liang Chen menunduk sedikit, tubuhnya bergetar. Dari celah bibirnya, keluar desahan yang nyaris seperti erangan makhluk purba, rendah dan panjang. Matanya masih merah, tapi di bawahnya, dua garis air kering masih menempel di pipi, jejak terakhir dari kemanusiaan yang kini tertelan oleh kekuatan Asura.

Hutan sunyi itu perlahan berubah menjadi kuburan terbuka, tanpa batu nisan, tanpa nama, hanya darah yang meresap ke akar dan bumi yang gemetar lirih di bawah langkah satu makhluk yang kehilangan dirinya sendiri.

Di hutan yang telah kehilangan suaranya, kehidupan masih mencoba bertahan. Namun bahkan upaya bertahan pun menjadi sia-sia ketika udara sendiri mengandung rasa takut.

Di antara pepohonan yang menghitam, Liang Chen berjalan perlahan, dan di sekelilingnya, hawa Asura menari dalam bentuk kabut tipis yang berputar seperti asap dari dupa hitam.

Tanah di bawah kakinya kini retak halus, mengeluarkan uap merah samar. Dari retakan itu muncul aroma darah yang tidak berasal dari makhluk hidup, melainkan dari bumi yang seolah ikut berdarah karena beban energi yang ia pancarkan.

Dari kejauhan, sepasang mata kuning mengintai. Seekor Serigala Bayangan, binatang buas tingkat rendah yang biasa menguasai wilayah ini, menundukkan tubuhnya, bulunya menegak seperti jarum.

Insting alaminya memerintahkan untuk kabur, namun aroma darah memanggilnya. Ia lapar, dan di depannya berdiri sosok yang tampak sekarat, pemuda yang berjalan tanpa arah, tubuhnya goyah, darah kering menempel di wajahnya.

Serigala itu melompat, secepat kilat, menerkam dengan rahang terbuka.

Tapi bahkan sebelum giginya menyentuh kulit, udara di antara mereka berubah.

Liang Chen tidak bergerak. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan lawan. Tapi Energi Pembantaian yang melingkari tubuhnya menegang seperti busur. Dalam sekejap, tubuh serigala itu terhenti di udara, dan matanya memutih.

Tanpa suara, ia jatuh ke tanah, tubuhnya meledak dari dalam. Darah dan daging mencair menjadi uap merah yang terserap ke dada Liang Chen, hilang tanpa jejak.

Liang Chen mengerang pelan, kepalanya menunduk, matanya bergetar. Sejenak, sesuatu seperti kesadaran muncul di wajahnya, bayangan samar seorang anak lelaki yang ketakutan. Tapi segera hilang, tergantikan oleh tatapan kosong yang kembali berputar merah.

Ia melangkah lagi.

Energi Asura di tubuhnya kini lebih padat. Kulitnya memantulkan kilau samar seperti logam panas, dan dari tubuhnya keluar suara kecil seperti desisan bara. Di setiap napasnya, udara di sekitarnya berguncang halus, mengalir keluar seolah menolak untuk masuk ke paru-parunya.

Dari dalam hutan, bayangan lain muncul. Kawanan Serigala Bayangan lainnya mendekat, tertarik oleh aroma darah yang memanggil. Lima ekor, kemudian tujuh, semuanya mengelilingi Liang Chen, menggeram dalam ketakutan yang tak bisa mereka pahami.

Liang Chen berhenti di tengah lingkaran mereka. Kepala menunduk, tangan menggenggam pedang yang masih meneteskan kabut merah.

Seekor serigala terbesar menerkam lebih dulu. Dalam sekejap, bilah hitam di tangan Liang Chen bergerak. Tidak cepat, bahkan tampak lambat, tetapi ruang di sekitarnya seolah melengkung mengikuti gerak itu.

Sebuah garis merah melintas di udara.

Dan dunia terdiam.

Serigala-serigala itu ambruk hampir bersamaan. Tidak ada darah yang memercik, semua darah mereka menguap di udara dan mengalir menuju Liang Chen, memasuki kulitnya seperti kabut yang disedot oleh bumi kering.

Denyut di dada Liang Chen bertambah cepat. Di bawah kulitnya, nadi-nadi merah samar berkilat seolah ada sungai kecil yang mengalir di balik daging. Meridian yang dulu tertutup kini terbuka paksa, bukan oleh meditasi, melainkan oleh darah dan kekerasan.

Energi Pembantaian murni mengalir melalui jalur itu, memperkeras tulang, menebalkan otot, dan memperkuat jantungnya hingga berdetak seperti genderang perang.

Liang Chen menggenggam pedangnya lebih kuat. Pedang itu bergetar keras, memancarkan cahaya merah kehitaman. Bentuknya kini lebih ramping, lebih padat. Di sepanjang bilahnya, muncul guratan samar seperti urat darah yang berdenyut setiap kali Liang Chen bernapas.

Kesunyian Malam perlahan menyerap sisa darah dari tanah, dan di udara, aroma kematian berubah menjadi manis, seperti bunga busuk yang mekar di tengah genangan darah.

Liang Chen memutar tubuhnya, menebas lagi, meskipun tidak ada lawan di depan. Udara bergetar, dan sebuah pohon besar di kejauhan terbelah dua, batangnya ambruk dalam diam. Dari celah itu, kabut merah keluar, mengalir ke arahnya.

Energi Pembantaian meningkat, menggulung seperti ombak. Tubuh Liang Chen memantul sinar samar, dan rambutnya yang hitam mulai diwarnai kilau merah gelap di ujungnya. Di wajahnya, urat-urat menonjol, tapi matanya tetap kosong.

Tidak ada rasa bangga, tidak ada kemenangan. Hanya kehampaan yang semakin dalam, tempat amarah tanpa nama tumbuh seperti akar tua di dalam jiwanya.

Di kejauhan, hutan merintih. Suara ranting patah bergema seperti bisikan roh. Tanah yang ia pijak kini mengeluarkan panas. Uap darah membentuk kabut yang melingkari tubuhnya, membuatnya tampak seperti makhluk dari neraka kuno.

Burung pemangsa yang berani melintas di atasnya kehilangan arah dan jatuh, terbakar sebelum menyentuh tanah.

Liang Chen berhenti di tepi sungai kecil. Airnya kini tidak lagi jernih, tapi berwarna merah muda samar, hasil dari darah yang terbawa dari arus hutan. Ia menatap air itu lama, tanpa tahu mengapa. Bayangan di permukaannya menunjukkan wajah yang bukan lagi manusia.

Angin berhembus, membawa suara lirih seperti doa yang hancur, dan Liang Chen melangkah kembali. Pedang di tangannya kini sepenuhnya hitam, menyerap cahaya sekitar, dan setiap kali ia bergerak, bayangannya tertinggal sesaat sebelum hilang ditelan kabut merah.

Amuknya belum selesai. Dan di kejauhan, sesuatu telah menyadari kehadiran makhluk itu, kekuatan besar yang akan segera datang.

Kabut merah menggantung rendah di antara pepohonan. Setiap hembusan angin membawa aroma besi yang tajam, menembus kulit dan menusuk dada siapa pun yang berani menghirupnya. Di tengah kabut itu, Liang Chen terus berjalan, matanya menyala redup seperti bara yang menolak padam.

Dari kejauhan, langkah-langkah lain mulai terdengar. Suara sepatu berat menghantam tanah lembap, diiringi desir kain panjang yang berkibar. Lima sosok berpakaian jubah merah gelap muncul di antara pepohonan, diikuti oleh satu sosok yang berjalan di depan mereka dengan tenang, Elder Sekte Raja Naga Berdarah.

Wajah Elder itu tampak letih, tetapi matanya tetap tajam seperti bilah yang disembunyikan. Di tangan kanannya, segel energi berputar pelan, memancarkan cahaya gelap. Ia telah mengikuti jejak kehancuran ini selama dua hari dua malam, dan kini ia tahu: anak itu bukan sekadar pembawa artefak, melainkan artefak itu sendiri.

“Berhenti di situ,” katanya pelan. Suaranya tenang, tapi mengandung kekuatan yang membuat udara di sekitarnya menggigil. Para pengikutnya berhenti bersamaan, menyebar dalam formasi setengah lingkaran, mata mereka terpaku pada Liang Chen yang berdiri di tengah kabut.

Liang Chen tidak menjawab. Ia hanya berdiri, tubuhnya sedikit miring ke depan, pedangnya meneteskan uap merah. Matanya, dua pusaran merah pekat, menatap Elder tanpa ekspresi.

Elder itu menyipitkan mata. “Jadi, kau masih hidup, bocah?” katanya, setengah kagum, setengah jijik. “Kau bahkan tak tahu kekuatan macam apa yang kau bawa.”

Ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan. Seorang kultivator tingkat Pondasi Besi di sampingnya maju, menghunus tombak perak yang bergetar lembut. “Tangkap dia hidup-hidup,” perintah Elder. “Jika kau bisa.”

Kultivator itu berlari, menembus kabut merah. Di matanya ada keyakinan, di tubuhnya mengalir energi spiritual biru muda, cahaya murni yang bergetar kuat. Namun langkahnya hanya bertahan tiga detik sebelum dunia di hadapannya berubah warna.

Tanah di bawahnya menggelap. Udara menjadi berat. Setetes darah jatuh dari hidungnya tanpa sebab. Lalu, dari kegelapan, mata merah itu muncul.

Liang Chen mengangkat pedangnya pelan. Tidak ada gerak cepat, tidak ada seni bela diri yang indah. Hanya satu tebasan ke samping, nyaris malas.

Udara pecah.

Kultivator itu berhenti. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih utuh, sejenak mengira serangan itu meleset. Lalu darah menetes dari lehernya, menetes menjadi aliran, dan kepalanya terlepas dengan suara pelan.

Tubuh itu tumbang, dan darahnya langsung terserap oleh tanah di bawah kaki Liang Chen, meninggalkan bayangan hitam seperti akar yang merayap ke segala arah.

Para pengikut Elder mundur spontan. Beberapa berteriak lirih, memanggil nama dewa mereka, tapi tidak ada jawaban. Elder tetap diam, hanya matanya yang menyipit. “Begitu, jadi ini wujudnya,” gumamnya.

Liang Chen menatapnya. Tidak ada amarah, tidak ada niat, hanya kehampaan yang membunuh. Ia maju satu langkah.

Udara berubah. Daun-daun bergetar, dan kabut merah menebal. Dari ujung bilah pedang hitamnya, muncul semburan aura yang menggulung seperti badai, menghantam pepohonan di sekitarnya hingga tumbang.

Elder mengangkat tangan, membentuk perisai energi gelap. Benturan pertama membuat tanah di bawah mereka hancur, menciptakan kawah kecil. Liang Chen terpental setengah langkah, tapi Elder mundur tiga langkah penuh, kakinya meninggalkan jejak darah di tanah.

“Bocah ini... bukan manusia lagi,” bisiknya.

Ia mengerahkan lebih banyak energi, memanggil jurus khas Sekte Raja Naga Berdarah. Dari udara muncul pusaran darah berputar besar, memancar dari tanah dan mengelilinginya. Aroma busuk menyengat, dan suara bisikan roh terdengar dari pusaran itu, seperti jeritan orang-orang yang sudah mati.

Pusaran itu meluncur ke arah Liang Chen.

Tubuh Liang Chen bergetar keras, tapi tidak menghindar. Ia mengangkat pedangnya dua tangan, menebas lurus ke depan.

Dunia berhenti sejenak.

Ketika tebasan itu jatuh, pusaran darah terbelah dua, lalu menghilang seolah tak pernah ada. Gelombang kejut yang dihasilkan menumbangkan pohon-pohon di sekitar mereka. Elder berteriak keras, darah keluar dari telinganya. Ia melihat tubuh anak itu masih berdiri, kini dikelilingi oleh aura yang semakin padat.

Kesunyian Malam di tangan Liang Chen bersinar gelap, dan di permukaannya, muncul satu simbol samar, seperti mata yang terbuka perlahan.

Elder menahan napas. Ia tahu apa artinya itu. Artefak itu telah terbangun.

“Tidak,” gumamnya, wajahnya memucat. “Ini bukan waktunya. Kita mundur!”

Para pengikutnya bingung, tapi melihat tatapan mengerikan di wajah pemimpin mereka, mereka tak berani melawan. Mereka berlari mundur, menembus kabut yang semakin pekat. Elder melangkah mundur perlahan, memandangi Liang Chen terakhir kali, lalu berbalik pergi.

Liang Chen tidak mengejar. Pedangnya menurun, dan aura merah di sekitarnya mulai berdenyut tak beraturan. Energi di tubuhnya melonjak terlalu cepat, melebihi kapasitas tubuh fana yang masih beradaptasi.

Ia berlutut, memegangi dada. Dari mulutnya keluar darah hitam yang menguap sebelum menyentuh tanah. Cahaya merah di matanya bergetar, lalu mulai meredup. Pedangnya jatuh, menancap di tanah.

Kabut merah perlahan menipis. Liang Chen berdiri setengah sadar, lalu melangkah satu kali, dua kali, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk di tanah. Ia jatuh di atas dedaunan basah, di tengah hutan yang kini hancur setengahnya.

Kesunyian menyelimuti.

Pedang Kesunyian Malam di sampingnya masih berdenyut perlahan, seperti jantung yang enggan berhenti. Di sekeliling mereka, hutan itu perlahan memulihkan diri, tapi warna hijaunya tidak pernah kembali sepenuhnya, sebagian masih menghitam, seolah darah telah meresap ke akar-akar bumi.

Langit di atas membuka sedikit, menurunkan cahaya pucat ke wajah Liang Chen yang kini kembali tenang. Ia tampak seperti pemuda biasa yang sedang tertidur, tapi di bawah kulitnya, sesuatu masih berdenyut, menunggu waktu untuk bangkit kembali.

Di kejauhan, burung gagak hitam melintas di langit, melengking pelan, membawa kabar kematian yang akan segera menyebar ke seluruh wilayah timur: Sebuah kekuatan baru telah lahir dari darah dan kehancuran.

Dan malam pun menutup kembali, menyembunyikan anak itu di bawah sayapnya, di dalam hutan yang telah menjadi saksi kelahiran seorang Asura.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!