Bima, seorang mahasiswa semester akhir yang stres kerena skripsi nya, lalu meninggal dunia secara tiba-tiba di kostannya. Bima kemudian terbangun di tubuh Devano, Bima kaget karena bunyi bip... bip... di telinganya. dan berfikiran dia sedang mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Namun, ternyata dia memasuki tubuh Devano, remaja berusia 16 tahun yeng memiliki sakit jantung dan tidak di perdulikan orang tuanya. Tetapi, yang Bima tau Devano anak orang kaya.
Bima yang selama ini dalam kemiskinan, dan ingin selalu memenuhi ekspektasi ibunya yang berharap anak menjadi sarjana dan sukses dalam pekerjaan. Tidak pernah menikmati kehidupan dulu sebagai remaja yang penuh kebebasan.
"Kalau begitu aku akan menikmati hidup ku sedikit, toh tubuh ini sakit, dan mungkin aku akan meninggal lagi," gumam Bima.
Bagaimana kehidupan Bima setelah memasuki tubuh Devano?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere Lumiere, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[12] Membantu Atlas
Sepulang sekolah kedua manusia itu sedang melihat ke sekitarannya mencari jejak ketiga kandidat mereka untuk masuk geng itu, "No, lo yakin mereka ada di arah ini,"
"Gue yakin lihat salah satunya, ya senggaknya kita bisa nangkap satu kan," ujar Devano tersenyum licik.
Akhirnya, di ujung sana, dia melihat orang yang tinggi kurus itu sedang di ancam dan diserahkan beberapa tugas yang harus dia kerjakan seperti tadi.
"Dasar lemah! yang berguna dikit ngapa! kerjain PR kita," Devano masih mendengar suara mengutuk itu meskipun dari jauh.
Devano mengerutkan jidatnya, kemudian berjalan dengan cepat kearah anak-anak penganggu itu. Melihat Devano telah menghilang di sampingnya, Theo langsung menyusul dengan tergesa-gesa.
"Eh, apa-apaan kalian, ganggu anak yang lemah… cih, nggak tau malu, " tunjuk Devano sembari menurunkan tasnya secara perlahan ke trotoar itu.
Mereka yang sedang mem-bully Atlas sontak menoleh dengan mata menyipit dan rahang mengeras karena tidak suka kegiatan mereka di ganggu.
"Siapa lo ganggu kita?" ucap Sadewa menoleh pada Devano dengan masih mencengkram kerah baju Atlas.
"Gue Devano," jawabnya singkat tidak ingin basa-basi dengan Sedewa.
"Hahaha… jadi lo yang bikin Liam di skors," kekeh Sedewa yang membuat semua orang disana merinding di buat nya.
Theo terlihat mengelus tangan yang merinding, "No, aman nggak, atau kita cabut aja," ujar Theo berbisik di dekat Devano.
"Gue udah memutuskan, jadi nggak bisa mundur, dan lo bilang juga kan, mereka bisa balas kita kapan aja. Kita nggak boleh membuat kesan lemah," bisik Devano di dekat Theo.
"Apa lo bisik-bisik, lo takut ya,… hah, jelas lah gue lebih kuat dari Liam," Sadewa terlihat bangga dengan prestasi nya menganggu orang.
"Hah apa? hahaha… gue nggak takut," tawa Devano kini mendominasi.
Mendengar hal itu Sadewa geram kemudian melepaskan kerah seragam Atlas dan menyerahkannya pada teman-temannya, Sadewa nampak meregangkan otot leher seperti film-film horor itu.
"Sumpah ngeri banget," bisik Devano di dekat Theo dengan maksud mengejek Sedewa, mendengar hal itu terlihatlah deretan gigi Theo karena tidak tahan untuk tersenyum dengan celotehan Devano.
Devano kini berdiri tegak, "Oke, sekarang gue siap," ujar Devano mengepalkan kedua tangannya dan menunjukkan kuda-kuda seperti petarung profesional di ring tinju saja.
Devano terlihat fokus kedepan, dia tidak bisa menggunakan banyak gerakkan mengingat tubuhnya bisa saja drop seperti tadi, dia tidak mau di tengah pertarungan jantung berulah lagi.
Dia membiarkan Sedewa lebih dulu melakukan aksinya dan ketika laki-laki muda itu kelelahan, dia akan mengambil kendali nantinya.
Sedewa tidak mengambil aba-aba dalam emosi yang tidak stabil itu, dia ingin langsung meninju wajah kurus nan pucat itu agar mendapatkan lukisan dari tinjunya. Namun, naasnya Devano dapat menghindari tangannya sesegara mungkin sehingga Sedewa hampir tersungkur ke sebelah kirinya.
"Cih… kurang ajar," decak Sedewa kemudian meludah ke samping kirinya.
"Jangan meludah bro, jorok banget lo," ledek Devano dengan mengerutkan jidat kerana jijik dengan aksi Sedewa.
"Berani nya lo menghindar dari gue Devano,"ujar Sedewa membenarkan kembali posisi bertarung.
"Ya namanya juga bertarung, dan kita nggak dalam perlombaan kan jadi nggak pakai aturan, jadi terserah gue lah," ledek Devano makin memancing amarah Sedewa hingga darah pemuda itu mendidih.
Kali ini Sedewa mengarahkan matanya kearah perut Devano, namun dengan cepat Devano menangkap gerakkan itu, "Pasti anak ini mengincar perut gue," ujar Devano tersenyum sinis.
Dan bener saja, Sedewa mengarahkan tendangan samping dengan kaki kanan nya, dengan cepat Devano menghindar lagi.
Tapi, ternyata tangan kiri Sedewa sedang mengarah ke wajah Devano, hampir saja tinju itu mengenai Devano, tetapi di mampu menangkis nya.
Kini jantungnya berdegup dengan kencang karena kegat, "Untung wajah ganteng gue nggak kena," ucap Devano mengelus wajah polosnya.
Sedewa merasa belum selesai ketika Devano belum siap dia melanjutkan aksinya, namun Devano bisa menghindari semua serangan Sadewa dengan tangkisan dan tolak kan.
Hingga sekarang, Sedewa terlihat kepayahan dan memegangi lututnya karena semua badan tak bereaksi sekarang di sebabkan kesemutan.
Devano pun terlihat kelelahan karena efek samping kesehatan tapi tidak selelah Sedewa yang menyerang nya bertubu-tubu.
"Gue bisa ngambil kesempatan sekarang," ujar Devano tersenyum sinis.
Tanpa aba-aba Devano melakukan gerakkan pukulan dari atas ke bawah dengan sikunya. Dia melompat cukup tinggi dan mengenai tengkuk Sadewa, membuat laki-laki itu hampir menyentuh tanah di bawahnya.
Dia memundurkan tubuhnya dan menyentuh tengkuknya yang berdenyut sakit dengan menunjuk kearah Devano dengan tatapan elangnya.
"Lo! apa-apaan lo?!" gerutu Sedewa.
"Kita masih bertarung kan, jadi apa masalah nya," ujar Devano merentang kan tangannya lebar-lebar.
"Gue belum mulai," jawab Sedewa tidak terima dengan perkataan Devano.
"Ya, dari tadi giliran lo, sekarang giliran gue…" ucap Devano dengan ancang-ancang mengambil gerakkan dari bawah keatas hingga memukul rahang Sadewa dengan telak, hampir saja gigi-gigi Sedewa copot dari tempat nya.
Kini Sedewa nampak tersungkur di trotoar itu, kemudian menyekah sudut bibir yang kini mengeluarkan cairan pekat berwarna merah yang merupakan darah segar.
"Devano!" pekik Sedewa.
Devano nampak tak perduli ketika pria itu bangkit, dia melanjutkan pukulannya yang entah keberapa kali membuat Sedewa tersungkur. Melihat itu para teman Sedewa ingin membantunya dengan ikut menyerang Devano.
Namun, Theo yang melihat hal itu langsung mengambil batu besar yang ada di bawah rumput-rumputan di ujung trotoar yang beberapa menit yang lalu dia lihat.
Dia melemparkan batu yang berat dua kilo itu pada Sadewa dan teman-temannya membuat mereka menghindar seketika karena ketika mendapatkan benturan dari batu itu mungkin mereka akan mendapatkan cendera serius.
"Woy… gue bakalan panggil satpam dan guru yang masih ada di sekolah, biar kalian dapat hukuman," geretak Theo.
Mendengar kata guru, mereka langsung berhenti dan berlari meninggalkan Atlas, Devano, dan Theo.
"Hahaha… sama guru doang takut," ujar Devano memegang pinggang nya.
"Ya bukan guru kayaknya, mereka lebih takut sama orang tua mereka, secara keluarga terpandang. Dia jadi berandalan gitu, mana mau orang tuanya," sindir Theo dengan senyum sinis.
"Bagus Theo, memang lo bisa di andalkan," kata Devano menepuk pundak sahabatnya itu.
Atlas terlihat mengambil tasnya yang jatuh di trotoar, lalu menghampiri mereka dengan ekspresi dingin seperti tidak suka dengan tindakan Devano dan Theo, sementara kedua pria di hadapan nya nampak tersenyum seolah menyambut kedatangan nya sejak lama.
"Apa yang lo lakuin?" ketus Atlas menatap nyalang pada Devano.
"Bantu lo apa lagi, iya kan bro," ujar Devano tersenyum simpul dan menyikut baju Theo, dan Theo nampak menganggukkan kepalanya tanda setuju, kemudian ikut tersenyum.