NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12 TEROR LEAK Part 12

Setelah menunjuk Bagus dengan mencondongkan tubuhnya, bayangan hitam itu pun menghilang secepat kilat. Meninggalkan Bagus yang terperangah dan berdiri kaku, serta jantungnya berdegup kencang di rongga dadanya. Munculnya Leak di siang bolong adalah pelanggaran terhadap tatanan alam yang paling dasar, dan itu merujuk pada satu hal, bahwa kekuatan kegelapan sedang berada di puncaknya, dan tidak lagi terikat oleh aturan biasa!

Kepanikan warga desa Banjaran yang sempat mereda kini meledak lebih dahsyat, seperti luka lama yang kembali menganga. Warga Banjaran yang menyaksikan pemandangan di bawah pohon beringin itu pun menjerit-jerit histeris. Beberapa bahkan langsung jatuh tersungkur, pingsan dengan mata terbuka dan mulut menganga.

Yang lain berlarian masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu serta jendela rapat-rapat, menumpuk sesajen di ambang pintu sambil menggumamkan doa-doa dengan suara gemetar.

Suasana chaos menyelimuti Banjaran, bukan lagi sekedar ketakutan, tapi histeris massal. Anak-anak menangis, hewan ternak mengamuk, dan langit yang cerah tiba-tiba terasa suram, seolah-olah awan kelam menggantung tak terlihat.

Bagus bergegas kembali ke rumah Marni. Di kepalanya, bayangan naskah lontar yang dia temukan berputar-putar, menyimpan jawaban sekaligus ancaman. Bagus harus segera memberitahukan Mang Dirga dan Marni tentang isi naskah itu. Yaitu tentang pengorbanan, tentang darah warisan, tentang kutukan yang bisa dimurnikan dengan harga yang tak terhingga. Pengorbanan nyawa. Tapi sesampainya di sana, langkahnya terhenti. Pemandangan di beranda rumah Marni membuatnya lupa segalanya.

Marni terbaring kejang-kejang di lantai beranda. Tubuhnya berguncang hebat, seperti disetrum oleh kekuatan tak kasat mata. Matanya terbalik ke atas, hanya menunjukkan bagian putih yang mengerikan, seolah-olah jiwanya telah ditarik keluar. Dari mulutnya keluar suara yang bukan suaranya. Suara itu terdengar dalam, parau, dan penuh kebencian. “Dia... milik... kami! Pengkhianat akan mati! Huahahahaha”

Mang Dirga sudah ada di sana, berlutut di samping tubuh Marni, berusaha menahan gerakannya yang liar. Wajahnya pucat pasi, keringat mengalir deras di pelipisnya. “Dia kerasukan!” teriaknya dengan suara gemetar. “Balian Rawa menyerangnya langsung melalui ikatan darahnya! Ini bukan gangguan biasa. Ini serangan langsung!”

Bagus berlutut, mencoba memegang tangan Marni, tetapi begitu kulit mereka bersentuhan, tubuh Marni menjerit lebih keras, seperti tersengat listrik. Suara jeritannya menusuk telinga, membuat burung-burung di pohon terbang pergi dengan panik. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Bagus, panik.

“Jimat! Cepat, ambil jimat bulus putih di tasku!” teriak Mang Dirga, menunjuk ke arah tas kulit tua yang tergeletak di sudut beranda.

Namun belum sempat Bagus bergerak, tubuh Marni tiba-tiba berhenti kejang. Tubuhnya mulai melengkung dengan tak wajar, tulang punggungnya menonjol seperti hendak menembus kulit. Marni lantas membuka matanya. Tapi yang menatap Bagus bukanlah mata Marni. Itu adalah mata kuning menyala, dengan pupil vertikal seperti kucing. Marni mendesis, dan giginya yang seharusnya manusiawi, tampak runcing, seperti milik predator.

“Antropolog kecil,” bisik suara itu melalui bibir Marni, penuh ejekan dan kebencian. “Kau pikir cintamu bisa menyelamatkannya? Dia adalah darah dagingku. Aku adalah bagian dari dirinya yang tidak akan pernah kau pahami.”

“Lepaskan dia, Balian Rawa!” bentak Bagus, berusaha menahan gemetar di suaranya.

Suara itu tertawa dingin dan menusuk, “Hihihihi... Siapa bilang ini Balian Rawa?” tanya-nya. “Aku adalah warisannya. Aku adalah ibunya. Aku adalah Ida Rengganis. Dan anakku telah memilih jalan yang salah. Aku datang ke sini untuk membawanya pulang.”

Bagus membeku. Ini lebih buruk dari yang dia kira. Bukan sekedar kerasukan, tapi perang batin antara Marni dan warisan leak ibunya yang jahat. Ida Rengganis, yang dulu dikenal sebagai dukun hebat, kini menjadi roh penuh dendam yang ingin menarik anaknya kembali ke kegelapan.

Mang Dirga sigap. Dengan cepat dia mengacungkan sebuah jimat dan menyemburkan air suci ke arah Marni. “Keluarlah, roh jahat! Ini bukan tempatmu!” teriaknya.

Marni, atau roh yang menguasainya menjerit kesakitan, tubuhnya melengkung seperti ular yang terbakar. Tapi kemudian dia tertawa lagi. “Kau lemah, Dukun tua! Kekuatanmu tidak ada apa-apanya!”

Dengan kekuatan yang tidak wajar, dia melemparkan Mang Dirga hingga terpelanting ke dinding, tubuhnya menghantam kayu dengan suara keras.

Pada saat itulah Komang dan beberapa warga lain yang mendengar keributan mulai berdatangan. Mereka menyaksikan Marni yang kerasukan, mata kuning dengan senyumannya yang mengerikan. Ketakutan pun berubah menjadi kebencian.

“Lihat!” teriak Komang, menunjuk dengan jari gemetar. “Lihat sendiri! Dia memang anak leak! Dia adalah sumber dari semua ini! Dan dia,” Komang beralih menatap Bagus dengan kebencian membara, “adalah yang membangkitkannya! Mereka berdua harus disingkirkan!”

Tuduhan Komang seperti menyulut bensin ke api yang sudah menyala. Ketakutan warga berubah menjadi amukan massa. Mereka mulai berteriak, wajah-wajah mereka berubah menjadi penuh kemarahan.

“Iya! Usir mereka!”

“Bakar rumahnya!”

“Serahkan mereka pada Leak!”

Bagus mencoba membela, “Dia korban! Dia sedang berjuang!” Tapi sayang suaranya tenggelam dalam gelombang amarah. Batu dan lumpur mulai dilemparkan ke arah rumah Marni. Sebuah batu mengenai pelipis Bagus, membuatnya pusing dan terjatuh. Darah mengalir, pandangan matanya buram.

Dari sana sekilas Bagus melihat Marni atau roh di dalamnya tersenyum puas, seolah-olah senang melihat kekacauan ini. Senyum itu bukan milik Marni. Itu adalah senyum Ida Rengganis, senyum seorang ibu yang ingin menarik anaknya kembali ke pelukannya yang dingin dan penuh kutukan.

Mang Dirga, dengan susah payah bangkit, berteriak dengan suara yang menggelegar, menggunakan sisa-sisa wibawanya sebagai dukun. “BERHENTI!” teriaknya. “Inilah yang diinginkan Leak! Memecah belah kita! Jika kalian membunuh mereka, kalian hanya mempermudah Leak mengambil jiwanya Marni!”

Seketika, semua orang terdiam. Suara Mang Dirga masih memiliki wibawa. Dia berdiri tegak, meski tubuhnya sudah tua dan terluka. “Aku sebagai Balian desa ini, memerintahkan kalian untuk pulang! Kunci pintu rumah kalian! Lakukan persembahyangan! Aku yang akan menangani ini!”

Warga, yang masih takut pada otoritas spiritual Mang Dirga, perlahan-lahan bubar, meski dengan mata masih penuh kemarahan dan ketakutan. Hanya Komang yang tetap berdiri, menatap penuh kebencian sebelum akhirnya pergi sambil mengumpat, suaranya seperti racun yang belum tumpah.

Ketika rumah Marni sudah sepi, Mang Dirga menarik nafas dalam-dalam. Dia mendekati Marni yang masih kerasukan. “Ida Rengganis,” katanya dengan suara rendah. “Aku tahu kamu menderita. Tapi jangan jadikan anakmu sebagai pelampiasan. Biarkan dia memilih jalannya sendiri.”

Mata kuning itu memandangnya. “Kau tidak bisa menghentikanku, Dirga. Aku akan mengambilnya, seperti dia yang seharusnya diambil dari dulu.”

Tiba-tiba, tubuh Marni menjadi lemas dan dia jatuh pingsan. Roh itu telah pergi, tapi hanya untuk sementara.

Bagus merangkak mendekat, memeluk tubuh Marni yang tak berdaya. Darah mengucur dari pelipisnya, bercampur dengan air mata. “Apa yang harus kita lakukan, Mang? Desa sudah membenci kami. Marni sekarat.”

Mang Dirga memandang mereka dengan wajah yang tiba-tiba sangat rapuh. “Kita harus melakukan ritual terakhir. Ritual yang kusembunyikan. Tapi…” dia memandang Bagus dengan mata penuh beban, “harganya sangat mahal.”

Sebelum Mang Dirga bisa menjelaskan lebih lanjut, teriakan minta tolong yang memilukan terdengar dari arah depan rumah Marni. “Tolong! Mang Dirga! Ini darurat!”

Mang Dirga dan Bagus bertukar pandang cemas. Teror ternyata belum berakhir. Malah, semakin menjadi-jadi. Dan kali ini, mereka sadar, tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Mereka harus menghadapi Balian Rawa, atau tenggelam bersama kutukan.

*

1
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!