NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12 Kecemburuan Zhavira

Restoran itu tak pernah sepi. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, kursi-kursi kulit berwarna gading, dan dentingan sendok garpu yang beradu dengan irama musik klasik pelan, menciptakan atmosfer mewah tapi dingin—persis seperti perasaan Zhavira sore itu.

Ia duduk di sebelah kanan Makes, yang tengah berbicara serius dengan salah satu rekan bisnis terbarunya, seorang perempuan cantik berusia sekitar 30-an bernama Cassandra Laras. Seorang wanita sukses, CEO perusahaan properti besar, dengan gaya bicara percaya diri dan senyum yang terlalu sering dilempar ke arah Makes.

Di seberangnya duduk asisten Cassandra, laki-laki muda bernama Kevin. Sedangkan Zhavira... hanya jadi pendamping Makes sebagai sekretaris, seperti biasa. Hanya saja, status mereka tak lagi sebatas itu. Meski tidak diumumkan, Zhavira tahu pasti dirinya lebih dari seorang staf.

Tapi entah mengapa, siang itu... ia merasa seperti bukan siapa-siapa.

“Mas Makes,” suara Cassandra terdengar nyaring saat menyebut nama Makes tanpa gelar, seperti teman lama. “Kamu masih suka main golf tiap Sabtu?”

Zhavira nyaris menyemburkan minumannya. Mas?

Makes tampak tenang, tapi sekilas melirik ke arah Zhavira yang mulai menggenggam garpunya sedikit terlalu kuat.

“Kadang, kalau nggak terlalu sibuk,” jawab Makes sambil tersenyum tipis.

Cassandra mencondongkan tubuhnya, memperlihatkan belahan dada tipis dari blazer merahnya yang terbuka. “Wah, kebetulan. Aku juga lagi cari partner buat main golf. Mungkin bisa minta les privat langsung dari kamu?”

Zhavira pura-pura menunduk, memotong potongan salmon di piringnya meski tak benar-benar lapar. Tangannya dingin. Lidahnya terasa getir.

Kevin tertawa kecil, mungkin merasa sedikit canggung melihat atasannya menggoda terang-terangan. “Bu Cassandra selalu blak-blakan, ya,” komentarnya.

Cassandra melirik ke Zhavira. “Ah, maaf ya kalau aku terlalu santai, Mbak Zhavira. Tapi saya yakin Mas Makes sudah terbiasa dikelilingi wanita cantik, kan?”

Zhavira mengangkat wajahnya perlahan. Senyumnya muncul, tetapi tidak sampai ke mata. “Saya rasa, Pak Makes lebih terbiasa dikelilingi orang profesional, bukan yang terlalu... santai.”

Cassandra tertawa keras. “Touché.”

Makes memiringkan kepala, menatap Zhavira dengan pandangan geli yang tak bisa disembunyikan. Ia tahu ekspresi itu. Ia hafal gerakan alis Zhavira yang sedikit naik saat sedang menahan emosi. Dan kali ini, ia menyadari satu hal penting.

Zhavira sedang cemburu.

 **

Usai makan siang, Kevin pamit lebih dulu karena ada jadwal meeting. Cassandra tampak enggan beranjak, padahal gelas terakhir sudah kosong.

“Kalau kamu nggak keberatan, Mas Makes, aku ada proyek baru di Bali. Kita bisa bahas santai—mungkin sambil dinner lain waktu?” tanyanya dengan manja, sambil menyentuh ringan tangan Makes di atas meja.

Zhavira berdiri. “Saya rasa agenda Pak Makes sudah penuh hingga akhir minggu ini.”

Nada suaranya tenang, tapi sorot matanya menusuk.

Cassandra menoleh padanya. “Oh ya? Padahal saya pikir sekretaris hanya mencatat jadwal, bukan menentukan keputusan.”

Zhavira tersenyum tipis. “Benar. Tapi saya juga tahu batas profesionalitas. Termasuk yang mana ajakan kerja sama… dan yang mana sekadar ajakan kencan terselubung.”

Cassandra terdiam sesaat, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Tajam juga ya, kamu.”

Makes berdiri dan akhirnya menutup pertemuan itu. “Saya akan pertimbangkan proyek Bali-nya. Tapi biarkan saya yang menghubungi nanti, Cassandra.”

Nada suaranya berubah lebih formal. Cassandra paham, dan akhirnya pamit.

Begitu wanita itu pergi, Zhavira langsung berjalan duluan menuju mobil. Tumit sepatunya terdengar mantap menghantam ubin.

Makes menyusul dari belakang dengan senyum yang masih tertahan.

Begitu masuk ke dalam mobil, Zhavira tak bicara. Matanya menatap lurus ke depan, bibirnya rapat, dan kedua tangannya bersedekap.

“Cemburu, ya?” tanya Makes sambil menyalakan mesin mobil.

Zhavira menoleh, menatap tajam. “Enggak.”

“Mukamu bilang iya.”

“Bukan urusan kamu.”

Makes tertawa kecil. “Oh, jadi bukan urusan aku kalau pacarku cemburu karena cewek lain godain aku di depan matanya?”

Zhavira mendengus. “Aku bukan cemburu. Aku cuma... muak lihat perempuan yang nggak tahu diri.”

“Maksudnya...?”

“Maksudnya, kamu itu bos. Dia mitra bisnis. Dan dia—” Zhavira berhenti, menahan kata-kata kasar yang ingin keluar. “Dia terlalu berlebihan.”

Makes menoleh sejenak, menyentuh tangan Zhavira yang masih bersedekap. “Aku suka lihat kamu marah gini.”

Zhavira menarik tangannya. “Nggak lucu, Makes.”

“Bukan buat lucu-lucuan. Aku serius. Kamu cemburu karena kamu sayang. Dan aku suka tahu kamu sayang.”

Zhavira diam. Pandangannya mulai melembut. Ia melirik ke arah jendela, mencoba menyembunyikan senyum yang nyaris keluar.

“Kalau kamu suka digoda balik, sana. Sama Cassandra,” katanya dengan nada sarkastik.

Makes menggeleng sambil tersenyum. “Kalau aku suka yang gampangan, aku nggak akan ngejar kamu selama ini.”

Zhavira akhirnya menoleh lagi. Kali ini matanya teduh, dan senyumnya muncul perlahan.

“Dasar CEO ngeselin,” bisiknya.

Makes meraih tangan Zhavira kembali dan menggenggamnya erat. “Tapi CEO-mu, kan?”

Zhavira mengangguk pelan. “Sayangnya, iya.”

**

Siang itu, matahari bersinar tajam di atas langit Jakarta. Udara panas membuat kaca mobil buram oleh embun pendingin ruangan. Mobil Makes perlahan berhenti di depan lobi Willson Corp, dan sopir segera membuka pintu belakang.

Zhavira turun lebih dulu. Blazer hitam elegannya sedikit terbuka memperlihatkan kemeja putih bersih di dalamnya. Makes menyusul dengan jas abu-abu yang rapi, salah satu tangannya menyelipkan ponsel ke dalam saku celana. Dari luar, mereka tampak seperti pasangan profesional yang sempurna—CEO dan sekretarisnya. Tapi di dalam hati mereka, status itu sudah jauh lebih dari itu.

Langkah Zhavira terhenti tiba-tiba begitu memasuki area lobi. Pandangannya tertumbuk pada sosok yang tak asing duduk dengan santai di sofa tunggu, mengenakan jaket denim dan jeans, matanya lurus mengarah padanya seolah sudah lama menunggu.

Gio.

Dan Makes—yang berjalan tepat di belakangnya—langsung menyipitkan mata.

Zhavira bisa merasakan napas Makes berubah. Ia tahu, Makes belum lupa insiden beberapa bulan lalu, saat Gio muncul di depan pintu apartemennya dan bicara seolah hubungan mereka belum pernah berakhir.

Gio berdiri. Senyum khasnya terlukis di wajah. “Hai, Zha.”

Zhavira menegang. “Ngapain kamu ke sini?”

Gio menoleh ke arah Makes, dan entah kenapa, senyumnya justru makin lebar. “Santai, gue cuma mau ngobrol. Beberapa menit aja. Nggak ganggu kerjaan kamu, kok.”

Makes melangkah maju, berdiri di sisi Zhavira, tubuhnya sedikit condong menutupi. “Masalahnya bukan cuma waktu kamu ganggu,” ucapnya datar. “Kehadiran kamu sendiri udah ganggu.”

Gio menyeringai. “Tenang, Pak CEO. Saya cuma minta waktu sebentar.”

Zhavira menarik napas dalam. “Gio, kamu seharusnya nggak datang ke kantor kayak gini. Ada apa sebenarnya?”

Gio menatap matanya, serius. “Gue cuma mau ngajak lu ke pantai. Hari Minggu. Kita ngobrol, zha. Sekali ini aja. Gue butuh ngomong... dengan versi lo yang sekarang. Bukan lo yang waktu itu gua tinggalin.”

Makes tertawa kecil, gelap. “Dan kamu pikir dia bakal iya-in permintaan kayak gitu?”

Gio menatapnya santai. “Kenapa? Takut? Atau belum cukup yakin kalau dia bener-bener milih lo?”

Zhavira langsung bicara. “Stop. Kalian berdua jangan saling tantang. Ini bukan arena uji nyali.”

Gio kembali menatap Zhavira dengan nada memohon. “Gue tahu gue salah, Zha. Tapi selama ini gue mikir, kita harusnya bisa selesai baik-baik. Gue nggak nyuruh lo balikan. Gue cuma pengin nutup bab lama yang selama ini ngegantung. Gue janji, nggak lebih dari satu hari. Setelah itu, lo bisa lanjut jalan sama hidup lo... sama dia.”

Zhavira menatap Makes. Pria itu diam. Rahangnya mengencang. Matanya tajam, tapi tak berkata apa pun.

“Please, Zha,” lirih Gio.

Zhavira ingin bilang tidak. Tapi hatinya tidak sekuat itu. Ia butuh penutupan. Ia butuh jawaban. Bukan karena ia masih mencintai Gio—tidak. Tapi karena ia ingin bebas sepenuhnya, tanpa beban dari apa pun yang tertinggal.

“Aku... pikirkan dulu,” jawabnya pelan.

“Kamu nggak perlu pikir panjang,” ujar Makes akhirnya, dingin. “Jawaban kamu harusnya jelas. Kamu nggak punya urusan lagi sama dia.”

Gio menyela cepat. “Zha yang harus mutusin, bukan lo.”

Makes melangkah maju, kini berdiri hanya beberapa sentimeter dari Gio. Suaranya tetap tenang, tapi penuh tekanan. “Gue kenal orang kayak lo. Hadir cuma kalau merasa kalah. Dan lo udah kalah sejak dia mutusin buat jalan sama gue.”

Zhavira menahan napas. Beberapa staf di lobi mulai melirik. Ia harus segera mengakhiri ketegangan ini sebelum semuanya menjadi bahan gosip.

“Gio,” katanya cepat, “aku harus kerja. Kalau aku... memutuskan buat datang, aku kabarin. Kalau tidak, anggap aja ini pertemuan terakhir kita.”

Gio terdiam. Lalu mengangguk pelan.

“Gue tunggu kabar lo,” ujarnya.

Tanpa berkata lagi, Gio pun berbalik dan pergi.

 **

Di dalam lift, suasana membeku. Hanya terdengar bunyi mekanik yang menaikkan mereka ke lantai eksekutif.

Zhavira akhirnya bicara. “Kamu marah?”

Makes menoleh tajam. “Aku nggak suka orang dari masa lalu kamu muncul kayak hantu dan tiba-tiba ngajak kamu piknik ke pantai.”

“Ini bukan piknik,” sahut Zhavira cepat. “Aku cuma... butuh penutupan. Supaya kamu juga nggak terus merasa bayang-bayang dia ada di antara kita.”

Makes menatap lurus ke pintu lift. “Aku nggak takut sama bayang-bayang dia, Zha. Tapi aku takut... kamu mulai mikir, mungkin lo masih butuh dia.”

Zhavira memegang lengan jasnya. “Aku milih kamu, Makes. Tapi aku juga berhak menyelesaikan luka yang belum sempat aku jahit.”

Makes memejamkan mata sesaat. Lalu berkata pelan, “Kalau kamu tetap pergi, aku ikut.”

Zhavira terdiam.

“Bukan karena aku nggak percaya kamu,” lanjut Makes, “tapi karena aku janji ke diriku sendiri, kalau kamu harus menghadapi masa lalu... aku akan ada di sana. Di samping kamu.”

Zhavira menatap pria itu lama. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri dalam menghadapi luka.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!