Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Mama, ini Om Arka. Ternyata kembarannya Om Arman. Aku tadi sampai salah orang," kata Yasmin antusias sambil menarik tangan Arka mendekati Hannah yang sedang berdiri di dekat meja kasir.
"Arka kembaran Arman? Sungguh kebetulan. Apa wajah mereka sama?" batin Hannah.
"Kemarin Om sudah bertemu dengan Mamamu, Yasmin," ucap Arka tersenyum menawan.
"Wah, ternyata sudah saling kenal! Buat apa aku capek-capek barusan untuk kenalkan kalian," celetuk Yasmin dengan bibir mengerucut, lucu.
Senyum manis terukir di bibir Hannah, matanya menatap Arka dengan lembut, seolah menyambut kehadirannya dengan bahasa yang tak perlu diucapkan.
Arka membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. Dalam diam, ia merasakan ada ketenangan aneh yang muncul hanya dari tatapan singkat Hannah. Seolah seluruh keributan di luar warung tak lagi penting.
"Om Arka pesan cumi pedas dan lobster pedas, Ma," lanjut Yasmin dengan suara yang menggemaskan, seperti pegawai warung profesional yang sedang mencatat pesanan pelanggan penting.
Hannah mengangkat tangan dan bertanya dengan bahasa isyarat, “Apa mau makan di sini?”
Yasmin yang sudah lihai membaca gerak tangan ibunya segera menerjemahkan, “Om, kata Mama, mau makan di sini?”
Arka tersenyum. “Boleh. Asal makannya ditemani sama Yasmin.”
Gadis kecil itu menoleh ke jam dinding yang menunjukkan pukul 17.37. “Boleh, tapi jangan lama-lama, ya? Karena jam enam sudah waktunya Magrib,” jawabnya serius seperti seorang anak yang tahu benar jadwalnya.
“Oke,” balas Arka sambil memberi jempol.
Tak lama kemudian, mereka duduk berdua di meja pelanggan. Di tengah hiruk-pikuk warung yang mulai padat dengan pengunjung pulang kerja, meja mereka terasa seperti ruang kecil yang tenang. Arka duduk bersandar santai, memperhatikan Yasmin yang dengan penuh semangat bercerita tentang sekolah, kucing tetangga, dan mainan baru yang ia inginkan. Suara tawa kecil Arka kerap terdengar, bukan karena lelucon Yasmin lucu, tapi karena tingkah laku gadis kecil itu terasa begitu tulus dan menghibur.
Sesekali Hannah melirik ke arah mereka. Ia berdiri di balik etalase sambil memotong sayur untuk esok pagi. Matanya mengikuti gerak putrinya dengan cemas bercampur bahagia. Cemas karena Yasmin kadang terlalu cerewet, takut mengganggu pelanggan. Tapi juga bahagia karena melihat Yasmin bisa sebebas itu berbincang dengan orang lain—hal yang tak pernah ia bayangkan beberapa tahun lalu.
"Om Arka, kenapa tidak sama-sama dengan Om Arman?" tanya Yasmin sambil mengunyah potongan cumi yang agak pedas.
"Om Arman sedang pergi ke luar kota," jawab Arka lembut. Ia meraih tisu dan mengusap ujung bibir Yasmin yang belepotan saus merah. Gerakannya pelan, seperti kakak mengusap adik, atau… seperti seorang ayah kepada anaknya.
"Rumah Om di mana?" Yasmin kembali bertanya.
"Lumayan jauh kalau dari sini. Sekitar satu jam lebih naik mobil," jawab Arka sambil menyeruput air putih.
"Waaah, jauh sekali."
"Kenapa? Mau main ke rumah Om?" tanya Arka sambil tersenyum menggoda.
Yasmin menggeleng cepat. "Aku belum boleh main jauh-jauh. Kecuali sama Kakek atau Mama."
Arka mengangguk. “Itu tandanya kamu anak pintar dan penurut.”
Tak lama kemudian, terdengar suara Pak Baharuddin dari dalam rumah, “Yasmin, ayo, waktunya mengaji!”
Yasmin bangkit dari kursi dan membetulkan ikat rambutnya yang agak miring.
"Om, aku pergi dulu, ya! Sampai jumpa lagi. Titip salam sama Om Arman kalau sudah pulang dari luar kota!" serunya riang.
"Siap, Tuan Putri!" jawab Arka sambil menaruh tangan di dada seperti pengawal istana. Yasmin terkekeh sebelum melesat pergi, meninggalkan jejak tawa kecilnya yang masih menggema di telinga Arka.
Setelah Yasmin pergi, Arka berdiri dan berjalan ke arah kasir. Ia mengeluarkan dompet, hendak membayar makanannya. Namun, gadis penjaga kasir yang rambutnya diikat satu dengan pita kecil segera menolak.
"Mas nggak usah bayar. Kata Mbak Hannah, makanannya ditraktir."
Arka mengernyit, sedikit bingung. "Kenapa?"
"Mbak Hannah yang bilang sendiri," jawab si penjaga kasir sambil tersenyum. "Mungkin karena Om Arka tadi nemenin Non Yasmin."
Arka menoleh ke arah dapur, mencari Hannah, tapi wanita itu tak terlihat.
"Mbak Hannah sedang salat, Pak. Kami gantian istirahat. Sekarang giliran Mbak Hannah," kata kasir itu seolah paham apa yang dicari-cari oleh Arka.
Arka mengangguk pelan. Entah kenapa hatinya terasa hangat. Bukan karena gratisan makan malam, tapi karena perhatian kecil itu terasa seperti isyarat... bahwa ia mulai diterima perlahan-lahan.
"Baiklah. Sampaikan kepada Mbak Hannah, terima kasih banyak sudah ditraktir," ujarnya.
Langkah kakinya terasa ringan saat meninggalkan warung. Di luar, langit sudah mulai berubah warna, memerah perlahan, seolah ikut menyimpan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Keesokan harinya, langit pagi terlihat cerah tanpa awan. Matahari belum terlalu terik, tapi cahayanya mulai menyapu pelan trotoar yang masih sedikit basah oleh embun. Arka sudah duduk di balik kemudi sejak pukul enam lewat dua puluh. Kali ini, ia sengaja keluar lebih pagi—bukan karena lapar, tapi karena alasan yang tidak ia ungkapkan pada siapa pun, bahkan dirinya sendiri: dia ingin melihat Hannah.
Warung makan milik Hannah terlihat masih sepi, hanya dua meja yang terisi. Beberapa aroma sedap mulai menyeruak dari dapur, membuat pagi itu semakin menggoda.
"Pesan apa, Mas?" tanya Mutiara ramah sambil membawa papan menu.
"Nasi kuningnya, deh. Porsinya satu," jawab Arka tanpa banyak pikir. Fokusnya bukan pada makanan pagi ini.
Mutiara langsung melangkah cepat ke belakang. Tidak sampai tiga menit, sepiring nasi kuning hangat dengan lauk lengkap sudah tersaji di hadapan Arka. Wangi kunyit dan aroma bawang goreng langsung memancing liur. Tapi Arka hanya menatapnya sejenak, lalu kembali melirik ke luar jendela.
"Hannah dan Yasmin mana, ya?" pikirnya, sambil menoleh ke sudut halaman belakang, berharap menemukan sosok wanita dan anak kecil yang membuat hatinya berdebar tanpa alasan.
Mutiara yang memperhatikan gerak-gerik Arka, menyahut santai, “Mbak Hannah mulai berjemur jam tujuh, Mas.”
Arka tersentak kecil, pura-pura merapikan posisi sendok. Rasa malu melintas sejenak di wajahnya. Jam tangannya menunjukkan pukul 06.50.
"Datang kepagian," batinnya jengah. "Niatnya biar bisa lama-lama sama mereka, malah zonk."
Meski sudah memesan, suasana warung yang mulai ramai membuat Arka merasa tidak enak hati untuk berlama-lama. Ia menyantap sarapannya perlahan, tapi tidak benar-benar menikmati rasanya. Sebagian pikirannya masih tertinggal di halaman belakang rumah, membayangkan Hannah tersenyum atau Yasmin yang berceloteh riang.
Setelah selesai, ia pamit dengan senyum kecil dan melangkah keluar. Namun, pagi itu terlalu panjang untuk diakhiri begitu saja.
Demi mengisi waktu, Arka mengarahkan mobilnya ke sebuah toko pernak-pernik di pinggir kota. Tempat itu menjual berbagai aksesori lucu dan mainan anak-anak. Aroma plastik baru, boneka-boneka berjejer, dan gantungan warna-warni menyambutnya. Matanya menyusuri rak demi rak, mencari sesuatu yang sekiranya cocok untuk Yasmin.
"Bando warna pastel? Atau ikat rambut karakter kartun?" gumamnya, sambil mengambil satu per satu barang dan membayangkan cocok tidaknya di kepala Yasmin.
Di lorong sebelah, terdengar suara langkah tergesa dan suara familiar.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗