Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siluman Kecil
Mei terlihat sangat khawatir. “Nona, kondisi Anda belum benar-benar pulih,” ujarnya, berusaha menahan Putri Minghua agar tetap di atas tempat tidur.
Namun Putri Minghua menatapnya penuh harap. “Mei, aku hanya ingin melihat siluman itu... hanya sebentar saja,” pintanya lembut, membujuk.
Rasa khawatir menyesakkan dadanya. Ia benar-benar takut jika siluman yang dimaksud adalah Sanghyun... dan para pengawal kerajaan telah membunuhnya.
Mei menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. Ia pun membantu menopang tubuh Putri Minghua yang masih lemah. Langkah mereka tergesa namun tertatih, mengikuti arah kegaduhan itu.
Semakin dekat mereka dengan lokasi siluman tersebut, suara riuh di sudut-sudut istana makin terdengar jelas. Teriakan para penjaga dan dentingan senjata menyatu, menggema menyakitkan telinga.
Hati Putri Minghua dihantam kekhawatiran. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terlalu lemah, bahkan untuk menopang dirinya sendiri.
Lalu terdengar suara Kaisar yang mengguntur, "Bunuh penyusup itu!" Nada suaranya penuh amarah, wajahnya memerah seperti tomat matang.
Di tengah kerumunan pelayan dan penjaga istana, Putri Minghua berusaha mencari tahu siapa yang menjadi pusat perhatian semua orang.
Dengan lemah, ia melepaskan diri dari pegangan Mei dan berusaha menerobos kerumunan. Namun...
Itu bukan Sanghyun.
Melainkan seorang anak laki-laki kecil, berambut putih dan bertelinga kecil menyerupai kucing. Tubuh mungil itu dianiaya oleh para penjaga tanpa ampun.
Putri Minghua merasa lega karena itu bukan Sanghyun. Namun hatinya terasa perih melihat anak kecil itu menjerit kesakitan setiap kali pukulan mendarat di tubuhnya.
“CUKUP!” teriak Putri Minghua lantang, suaranya menggema di seluruh halaman.
Ia berjalan tertatih, lalu mengangkat tubuh kecil itu dalam pelukannya. “Kalian ini benar-benar tidak punya hati. Meskipun dia siluman, dia masih anak-anak!” ucapnya geram sambil mengelus pipi mungil yang berlumuran darah itu.
Punggung dan tangannya dipenuhi luka, kulitnya memar. Sungguh menyakitkan bagi Putri Minghua melihat penderitaan itu.
Kaisar memandangnya dengan amarah yang membara. “Untuk apa kau menyelamatkannya?”
Putri Minghua menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Maaf, Ayahanda... Hamba hanya merasa kasihan padanya. Biarkan hamba merawatnya. Hamba akan mengajarkan dia tentang hal-hal baik. Dan jika hamba gagal, Ayahanda boleh menghukum hamba.”
Wajah sang Kaisar tetap diliputi amarah, tapi ia akhirnya mengangguk dingin. “Baik. Tapi jika dia melakukan kesalahan yang fatal, maka kau dan dia akan dihukum bersama.”
Ucapan itu menusuk hati Putri Minghua, namun ia tidak goyah. “Terima kasih, Ayahanda,” ujarnya tulus, lalu memeluk anak itu erat-erat.
Dengan susah payah, Putri Minghua menggendong anak siluman itu menuju kamarnya. Mei dengan sigap membantu menopangnya.
Mereka berjalan perlahan, tertatih menahan rasa sakit yang terus mendera tubuh Putri Minghua. Tubuhnya masih jauh dari kata pulih, tapi tekadnya terlalu besar untuk diabaikan.
Putri Minghua meletakkan tubuh kecil itu di atas ranjangnya. Tubuh mungil yang berlumuran darah itu tampak begitu lemah, dengan wajah yang pucat dan mengerang kesakitan meski dalam kondisi tak sadarkan diri.
Dengan lembut, Putri Minghua membelai rambut putih anak itu, halus seperti sutra, dingin seperti embun pagi. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu gemetar hebat di bawah sentuhannya. Ketakutan yang bersarang di hati si anak terasa begitu mendalam, menusuk hingga ke relung hati.
"Mei, bawakan aku tanaman obat dari taman istana," ucap Putri Minghua pelan namun tegas. Tatapannya tak lepas dari sosok kecil yang terbaring di hadapannya. "Ambil bunga Peony merah, Krisan kuning, Teratai putih, dan Mawar Cina. Aku akan meraciknya sendiri," lanjutnya, suaranya dipenuhi kesungguhan.
"Baik, Nona," Mei menunduk hormat, lalu segera bergegas menuju taman istana yang sunyi.
Dengan langkah cepat dan cekatan, ia memetik semua bunga yang disebutkan. Meski tak tahu pasti apa manfaat masing-masing bunga itu, ia percaya Putri Minghua tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu, di atas tembok istana, Sanghyun berdiri diam, matanya tajam mengamati kamar sang putri. Ia melihat Minghua tampak sibuk, seolah tengah mengurus sesuatu yang penting.
Rasa penasarannya membuncah. Ia turun diam-diam dari tembok, melangkah ringan tanpa suara. Dengan hati-hati, ia mendekat ke arah pintu kamar, mengintip dari celah kecil yang terbuka.
“Bertahanlah… aku akan segera menyelamatkanmu,” bisiknya lirih. Ia mengangkat tangannya perlahan, menggunakan sisa kekuatan spiritualnya untuk membantu menghentikan pendarahan pada tubuh kecil itu meskipun tubuhnya sendiri mulai melemah karena pengaruh sihirnya.
Namun ketika matanya menatap lebih jelas siapa yang sedang dirawat oleh Putri Minghua, ia tertegun.
“Telinga… kucing?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihat.
Sebelum sempat ia berpikir lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Refleks, Sanghyun melompat kembali ke atas tembok, menghilang dari pandangan. Tapi matanya tetap terarah pada jendela kamar sang putri, siaga jika Putri Minghua membutuhkan bantuannya.
Mei kembali dengan cepat, membawa sekeranjang bunga berbagai jenis di tangannya. Nafasnya sedikit terengah saat berkata, “Nona, saya sudah membawakan bunga-bunga seperti yang Nona minta.” Ia segera meletakkan keranjang itu di atas meja dan mulai mempersiapkan alat penumbuk obat.
“Aku minta tolong, racik semua bahannya, ya. Aku akan mencoba menghentikan pendarahannya untuk sementara waktu,” ujar Putri Minghua sambil terus menyalurkan kekuatannya pada tubuh mungil yang terbaring di hadapannya.
Wajah Mei menegang, hatinya semakin gelisah melihat kondisi Putri Minghua yang kini tampak jauh lebih pucat dari sebelumnya. Keringat dingin membasahi pelipis sang putri, tubuhnya sedikit gemetar.
“Nona… biarkan saja, biar saya saja yang mengobatinya. Tolong istirahat,” ucap Mei dengan nada cemas, suaranya nyaris bergetar karena takut.
Namun Putri Minghua hanya menggeleng lemah. “Tidak apa-apa, Mei… ini hanya sebentar saja…” balasnya pelan, mencoba tersenyum meski bibirnya nyaris tak bergerak.
Belum sempat Mei menimpali, kepala Putri Minghua tiba-tiba terasa sangat berat. Pandangannya kabur, seolah dunia berputar cepat di sekelilingnya.
Dan seketika itu juga... tubuhnya limbung, lalu jatuh tak sadarkan diri.
Untuk kedua kalinya… Putri Minghua pingsan, di tengah upayanya menyelamatkan nyawa kedua makhluk.