Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Pagi pertama setelah peristiwa ballroom.
Dewi membuka jendela rumah Naya, menghirup udara Jakarta yang ramai dan penuh polusi, tapi... justru membuatnya merasa bebas.
Di belakangnya, Naya menyandarkan tubuh ke ambang pintu sambil menyeruput kopi sachet.
“kamu sadar gak, Dew... sekarang semua orang tahu kamu siapa.”
Dewi menoleh. “Tahu nama panjang, bukan isi hati.”
Naya tertawa. “Tapi tetap aja... kayaknya kamu baru aja ngalahin satu dinasti.”
---
Di sisi lain kota, Dewa juga memulai pagi dengan cara baru tanpa setelan jas mahal, tanpa asistennya, tanpa supir.
Hanya kaus putih, ransel, dan motor pinjaman dari Candra, sepupunya yang jauh lebih waras daripada anggota keluarga Wicaksono lainnya.
Ia berhenti di depan sebuah ruko kecil, yang pintunya masih digembok.
Di sana, di depan pintu itu...
Dewi sudah berdiri duluan.
“Lo telat,” ujarnya sambil menyilangkan tangan.
Dewa tersenyum. “Terlambat lima menit. Biasa bos yang disuruh kerja duluan.”
“Bosnya sekarang kita barengan.”
Ruko itu akan mereka sulap menjadi usaha bersama: sebuah studio kreatif dan kafe kecil. Ide gila Naya, yang mengatakan, "Lo dua-duanya butuh tempat yang gak bisa dikontrol siapa pun kecuali diri lo sendiri."
---
Dua minggu berjalan...
Studio itu mulai terbentuk. Dengan cat tembok warna bata, rak-rak dari kayu, bean bag, dan meja kerja untuk tim desain.
Dewi mengurus branding, Dewa ngotot di keuangan. Mereka berdebat soal harga kursi, dekorasi, bahkan musik latar.
Tapi yang berbeda dari sebelumnya adalah:
Mereka setara.
Dan mereka tertawa di tengah perdebatan.
---
Suatu sore...
Dewi sedang menyapu halaman kecil depan ruko saat sebuah motor berhenti di depan.
Seorang pria turun dari motor itu tinggi, rapi, dengan senyum yang dikenalnya. Senyum masa lalu.
“Halo, Dew.”
Dewi melotot. “...Radit?”
Radit. Mantan pacar semasa kuliah. Lelaki pertama yang membuatnya percaya pada cinta... dan juga orang pertama yang mengkhianatinya dengan cara diam-diam menghilang dari hidupnya tanpa pamit.
“Boleh kita bicara?” tanya Radit, masih dengan suara yang kalem tapi tak lagi mempan di hati Dewi.
“Untuk apa?” suara Dewi dingin.
“Gue... minta maaf. Dan... ada hal penting yang harus lo tahu.” ujar Radit
Dewa muncul dari dalam ruko, melihat mereka dari kejauhan. Tak mendekat, tapi memperhatikan. Wajahnya tidak berubah, tapi matanya mengeras.
Radit melanjutkan, “Gue dulu ninggalin lo karena disuruh. Waktu itu, bokap lo yang minta gue menjauh.”
Dewi mengerutkan dahi. “Apa?”
“Gue... dikasih uang. Supaya ninggalin lo. Karena katanya lo harus dijodohkan sama keluarga pebisnis. Gue nggak tahan, jadi gue pergi.”
Dewi tertawa sinis. “Dan lo baru muncul sekarang, setelah semuanya hancur dan gue udah punya hidup baru?”
Radit menunduk. “Gue lihat lo di berita, di acara resepsi itu... gue sadar gue pernah kehilangan orang paling berani yang pernah gue kenal.”
Dewi menatapnya dalam, lalu berkata dengan jelas: “Lo kehilangan gue bukan karena bokap gue. Tapi karena lo gak cukup berani buat berjuang.”
Ia berbalik, masuk ke dalam ruko, dan menutup pintu. Tak menoleh lagi.
Di dalam, Dewa berdiri di tengah ruang kerja. Dewi menatapnya sebentar, lalu berkata:
“Kamu denger semua?”
Dewa mengangguk. “Dan kamu udah jawab semua yang perlu dijawab.”
Dewi mendekat. “Kita gak butuh masa lalu buat ngancurin masa depan.”
Dewa mengulurkan tangan. “Akun cuma butuh satu hal...”
“Apa?” tanya Dewi
“Waktu bareng kamu. Di tempat kecil ini. Mulai dari nol. Tanpa nama keluarga, tanpa tunjangan, tanpa kehormatan.” jawab Dewa
Dewi menatap tangan itu. Lalu menggenggam.“Mulai dari cinta yang kita pilih sendiri, ya?”
Dewa mengangguk. “Yang tanpa paksaan.”
---
Dan malam itu, Dewi menulis lagi di buku harian kecilnya:
" Mereka pikir gue butuh nama besar buat jadi berharga.
Padahal yang gue cari cuma satu tempat kecil...
...di mana gue bisa ketawa sambil bersihin meja, bareng orang yang gak ninggalin saat badai datang"
Dua minggu sebelum soft opening, suasana di ruko mereka sibuk seperti pasar malam.
Naya mondar-mandir sambil mengecek cat yang belum kering. “Dew, tolong, bilangin si tukang itu, warna bata-nya jangan kayak saus tomat!”
Dewi tertawa sambil membawa dua gelas kopi. “Tenang, Nay. Ini kafe, bukan warung bakso.”
Dewa muncul dari dalam ruangan kecil yang akan dijadikan studio desain. “Kursi kayu udah datang. Tapi meja besar belum. Kayaknya supplier-nya ngaret.”
“Semua orang ngaret kalau kita kasih tenggat,” sahut Dewi santai. “Makanya, jangan jadi bos yang lemes.”
Dewa hanya mengangguk sambil memandang Dewi. Sudah hampir sebulan mereka bekerja bareng. Tapi bagi Dewa, setiap hari rasanya seperti jatuh cinta dari awal lagi.
---
Suatu siang...
Seorang pria dengan setelan mahal datang ke ruko. Penampilannya terlalu rapi untuk hanya sekadar mampir ngopi.
Dewi yang sedang menyapu halaman langsung menghentikan langkah.
“Maaf, Bapak ada keperluan?”
Pria itu menyodorkan kartu nama. “Saya dari perusahaan pengembang properti. Kami tertarik membeli ruko ini dan beberapa bangunan di sekitarnya.”
Dewi melirik kartu nama itu: PT Araya Properti. Nama perusahaan yang pernah ia dengar di berita… dan pernah diinvest oleh Wicaksono Group.
“Maaf, tempat ini gak dijual.” jawab Dewi tegas
“Kalau soal harga, kami fleksibel. Bahkan bisa dua kali lipat harga pasar. Ujar pria itu masih bersikeras
Dewi mendekat, tatapannya tak bergeming. “Dengar ya, Pak. Ruko ini bukan cuma soal harga. Di sini tempat saya membangun ulang hidup saya. Dan saya gak minat jual, walau Bapak kasih harga seharga satu unit apartemen di Menteng.”
"Dan satu lagi, jadi orang apa lagi seorang pria jangan mau di manfaatin oleh orang yang katanya berkuasa. Coba bapak resapi apa bapak melakukannya atas dasar sangat membutuhkan atau hanya menjadi penjilat"
Pria itu terlihat tak nyaman, mengangguk kaku, lalu pergi dengan senyum yang dipaksakan.
---
Malamnya...
Dewi duduk di teras depan, memandangi papan nama mereka yang baru dipasang:
“KALA KITA”
– Studio kreatif dan kedai kopi dengan cerita.
Dewa menghampirinya, menyerahkan teh hangat.
“Aku dapet laporan dari kenalan lama... PT Araya itu masih punya koneksi ke keluargaku,” ucap Dewa pelan.
Dewi mendesah. “Aku tau mereka nyoba beli ruko ini biar kita cabut diam-diam"
“Bukan cuma cabut. Mereka pengen bikin kamu capek dan nyerah. Kalau kita angkat kaki dari sini, mereka bisa bilang kita gagal... lalu mereka bisa tarik aku balik.”
Dewi mengangguk. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tegas.
“Berarti... kita harus bikin tempat ini berhasil. Gak cukup cuma berdiri. Harus bikin suara.”
---
Beberapa hari kemudian...
Naya menggagas ide kampanye soft opening bertajuk “Berani Memulai Lagi”. Mereka mengundang UMKM lokal untuk ikut mengisi bazar mini di halaman ruko. Poster-poster disebar, medsos aktif, dan antusiasme mulai terlihat.
Saat konferensi mini digelar, Dewi berdiri di panggung kecil sambil memegang mic.
Suaranya tidak bergetar, meski puluhan orang menatapnya.
“Tempat ini bukan cuma usaha kecil. Tapi cerita. Tentang dua orang yang dulu pernah diatur... dan sekarang menulis aturan sendiri.”
“Kalau kalian pernah gagal, pernah ditinggal, atau dikhianati... maka kalian kami undang bukan sebagai tamu, tapi sebagai teman seperjuangan.”
“Karena semua orang berhak punya halaman baru.”
Tepuk tangan pecah.
Dewa berdiri di barisan belakang. Tidak bicara, tapi senyumnya cukup memberitahu:
Ia bangga. Sangat.
---
Malam itu, Dewi membuka buku hariannya.
Ia menulis:
Hari ini aku tidak marah.
Tidak takut. Tidak mundur.
Aku bukan hanya gadis yang pernah kabur dari perjodohan.
Aku kini perempuan yang tahu: berdiri di samping orang yang tepat... jauh lebih berharga daripada semua nama belakang di dunia.
Bersambung