NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:842
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 •Rumah Kosong di Ujung Jalan

Malam itu, angin berdesir dingin menusuk kulit, membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun kering. Aku, Arya, bersama kedua sahabatku, Rio dan Sinta, berdiri di depan sebuah rumah tua yang gelap, menjulang angkuh di ujung jalan buntu. Konon, rumah itu angker, tak berpenghuni selama puluhan tahun setelah pemiliknya menghilang misterius. Kisah-kisah seram yang beredar tentang penampakan dan suara-suara aneh selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri. Malam ini, kami memutuskan untuk membuktikan kebenarannya.

"Yakin, nih?" tanya Sinta, suaranya sedikit bergetar, memecah keheningan. Ia memeluk lengannya, seolah melindungi diri dari hawa dingin yang bukan hanya berasal dari angin malam.

Rio menyeringai, "Masa penakut gitu? Katanya mau jadi jurnalis investigasi, kalau begini saja sudah ciut." Rio memang selalu yang paling berani di antara kami, kadang terlalu berani sampai kelewat batas.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Jantungku berdebar kencang, antara rasa takut dan penasaran yang membuncah. "Bukan ciut, cuma... merinding saja. Ini kan rumah yang paling banyak ceritanya."

Kami mendorong gerbang besi yang berderit nyaring, seolah protes terhadap kehadiran kami. Langit-langit pekat tanpa bintang menambah suasana mencekam. Hanya cahaya rembulan tipis yang sesekali menembus celah awan, menciptakan bayangan-bayangan aneh dari pepohonan tua yang melambai-lambai. Semak belukar setinggi pinggang menyambut kami, menutupi jalan setapak menuju pintu utama.

Bau apek dan debu tebal langsung menyeruak begitu kami berhasil membuka paksa pintu kayu yang rapuh. Di dalam, kegelapan terasa begitu pekat, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba masuk. Rio mengeluarkan senter ponselnya, sinarnya menari-nari di dinding berlumut dan perabotan usang yang tertutup kain putih, tampak seperti hantu-hantu berbaris dalam kegelapan.

"Serem juga ya," bisik Sinta, suaranya kini lebih pelan.

Kami menyusuri ruangan demi ruangan, melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara terlalu keras. Lantai kayu berderit di setiap pijakan, memecah keheningan yang menyesakkan. Di ruang tamu, sebuah piano tua berdebu berdiri tegak, beberapa tutsnya hilang, memberikan kesan melankolis yang aneh.

Di salah satu kamar, kami menemukan sebuah cermin besar yang permukaannya retak, memantulkan bayangan kami yang tampak distorsi dan mengerikan.

Tiba-tiba, dari lantai atas, terdengar suara "kriet" yang sangat pelan, seperti seseorang sedang menginjak papan kayu. Kami bertiga langsung terpaku. Rio mengangkat senternya, menyorot ke arah tangga yang gelap.

"Siapa di atas?" seru Rio, suaranya sedikit menegang.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang kembali merayap, lebih pekat dari sebelumnya.

"Mungkin cuma suara angin," aku mencoba menenangkan diri dan kedua temanku, meskipun jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu bukan angin.

Sinta menggenggam lenganku erat, napasnya tersengal. "Kita pulang saja, yuk? Aku tidak nyaman."

Rio menggeleng. "Tanggung. Kita cek sebentar ke atas."

Dengan langkah berat, kami menaiki tangga yang berderit. Setiap anak tangga terasa seperti jebakan. Di lantai atas, suasana terasa jauh lebih dingin. Ada beberapa kamar, semua pintunya terbuka sedikit, mengundang rasa penasaran sekaligus ketakutan. Kami memilih salah satu kamar di ujung lorong.

Begitu kami masuk, bau anyir yang kuat langsung menyeruak.

Rio menyenter ke seluruh ruangan. Di tengah kamar, tergeletak sebuah boneka lusuh tanpa mata, wajahnya compang-camping. Di sebelahnya, sebuah buku harian tua tergeletak terbuka.

"Coba lihat ini," ujar Rio, menunjuk buku harian itu.

Aku mendekat dan membaca beberapa baris tulisan tangan yang rapi namun pudar: "Hari ini, ia lagi-lagi mengunci saya. Saya tidak tahu harus sampai kapan. Sendirian di rumah ini, ditemani bayangan-bayangan yang menari di dinding..."

Kaget dan bingung, kami bertiga saling pandang. Kisah yang kami dengar selalu tentang pemilik rumah yang menghilang, bukan tentang seseorang yang dikurung.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar sangat jelas, datang dari lorong di luar kamar. Langkah itu terdengar berat, menyeret, dan semakin mendekat. Jantungku serasa ingin lepas dari tempatnya.

"Sembunyi!" bisik Sinta panik.

Kami bergegas masuk ke dalam lemari tua yang kosong. Melalui celah-celah papan kayu, kami mengintip. Sosok bayangan hitam tinggi besar lewat di depan pintu kamar, langkahnya terhenti. Udara mendadak terasa begitu dingin, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata menekan kami.

Sosok itu masuk ke dalam kamar, lalu berhenti tepat di depan boneka dan buku harian. Kemudian, suara dengusan kasar terdengar, diikuti dengan suara gemertak gigi. Kami menahan napas, berharap tidak terdeteksi.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, sosok itu kembali melangkah pergi, suaranya menghilang di kegelapan lorong. Kami menunggu beberapa menit lagi, memastikan tidak ada apa-apa, baru kemudian keluar dari lemari.

"Apa itu tadi?" bisik Sinta, wajahnya pucat pasi.

Rio menggeleng, matanya masih menatap ke arah pintu. "Entahlah. Tapi ini bukan hantu biasa."

Kami memutuskan untuk segera keluar dari rumah itu. Begitu sampai di lantai bawah, kami bergegas menuju pintu depan. Namun, saat kami hampir mencapai ambang pintu, sebuah tangan dingin mencengkeram bahu Sinta. Sinta menjerit. Kami menoleh, dan pemandangan di depan kami membuat darah kami membeku.

Di belakang Sinta, berdiri seorang wanita tua dengan rambut panjang acak-acakan dan mata merah menyala. Wajahnya keriput dan pucat pasi, namun senyumnya lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang menghitam.

"Kalian mau ke mana?" suaranya serak, menusuk telinga. "Ini kan rumah saya..."

Kami lari sekuat tenaga, membuka pintu dan berhamburan keluar. Nafas kami terengah-engah, jantung berdegup kencang, seolah baru saja lolos dari maut. Kami tidak berhenti berlari sampai akhirnya tiba di jalan raya yang lebih ramai, di bawah terang lampu jalan.

Di sana, kami berhenti, terengah-engah, mencoba menenangkan diri. Rio, yang biasanya paling tenang, tampak sama terkejutnya dengan kami.

"Wanita itu... dia bukan hantu," gumam Sinta, masih gemetar. "Dia nyata."

Aku mengangguk, masih tak percaya dengan apa yang baru saja kami alami. "Dia bilang itu rumahnya. Tapi... bukannya pemilik rumah ini sudah lama menghilang?"

Rio tiba-tiba membelalakkan matanya, seolah baru menyadari sesuatu. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. "Aku merekam suara dengusan tadi!"

Ia memutar rekamannya. Suara dengusan itu kembali terdengar, tetapi kali ini, di akhir rekaman, ada suara lain yang nyaris tak terdengar, seperti bisikan. Rio membesarkan volumenya. Suara bisikan itu semakin jelas, dan apa yang kami dengar membuat kami terpaku.

"...Jangan biarkan mereka tahu. Jangan biarkan mereka tahu kalau... aku masih di sini..."

Suara itu... suara itu adalah suara pemilik rumah yang kami baca di buku harian tadi. Suara seorang wanita muda.

Kami saling pandang, pikiran yang sama melintas di benak kami. Wanita tua yang kami lihat tadi... dan suara bisikan dari rekaman... itu tidak mungkin terjadi pada orang yang sama.

Tiba-tiba, sebuah mobil patroli berhenti di samping kami. Dua polisi keluar dari mobil, salah satunya tersenyum ramah. "Ada apa, anak-anak? Kenapa malam-malam begini berlarian?"

Rio, dengan suara bergetar, menceritakan semua yang kami alami. Polisi itu mendengarkan dengan seksama, namun kemudian menggelengkan kepala.

"Nak, kalian pasti salah paham," kata polisi itu. "Rumah itu memang kosong. Pemiliknya, Nyonya Amara, menghilang puluhan tahun lalu tanpa jejak. Tidak ada yang pernah melihatnya lagi."

"Tapi kami melihat wanita tua di sana!" seru Sinta. "Dan kami mendengar suaranya!"

Polisi itu tersenyum lagi, kali ini dengan nada sedikit meremehkan. "Mungkin kalian terlalu banyak membaca cerita horor. Rumah itu memang sudah lama jadi sarang penampakan. Tapi sejauh ini, tidak pernah ada laporan keberadaan orang di dalamnya."

Kami bertiga terdiam. Kata-kata polisi itu membuat kami ragu. Apa yang kami alami tadi, apakah benar-benar hanya halusinasi akibat ketakutan? Namun, bayangan wanita tua itu, sentuhan tangannya yang dingin, masih terasa begitu nyata.

Kami pulang malam itu dengan perasaan campur aduk. Ketakutan, kebingungan, dan sekelumit keraguan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu, kami tidak bisa tidur.

Keesokan harinya, aku kembali mengunjungi perpustakaan kota, mencari informasi lebih lanjut tentang rumah kosong itu dan Nyonya Amara. Aku menemukan sebuah artikel koran tua yang memberitakan hilangnya Nyonya Amara secara misterius. Artikel itu juga menyebutkan bahwa Nyonya Amara dikenal sebagai seorang wanita yang sangat cantik dan masih muda saat menghilang.

Semakin aku membaca, semakin banyak kejanggalan yang aku temukan. Berbagai kesaksian tetangga lama menyebutkan bahwa Nyonya Amara tinggal bersama seorang pembantu rumah tangga yang sudah tua dan sangat loyal. Namun, pembantu itu juga menghilang bersamaan dengan Nyonya Amara.

Sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benakku, membuatku merinding lagi.

Aku segera menelepon Rio dan Sinta. "Kalian ingat suara bisikan di rekaman Rio? Dan wanita tua yang kita lihat tadi?"

"Iya, kenapa?" tanya Rio.

"Bukankah itu aneh?" kataku. "Nyonya Amara menghilang saat dia masih muda. Kalau wanita tua itu adalah hantunya, kenapa dia terlihat tua? Bukankah hantu biasanya muncul dalam wujud saat mereka meninggal?"

Rio terdiam sejenak. "Maksudmu...?"

"Dan suara bisikan di rekaman itu, suara wanita muda," lanjutku. "Itu pasti suara Nyonya Amara. Lalu, wanita tua itu... mungkin dia bukan Nyonya Amara."

Sinta tiba-tiba berteriak di telepon. "Pembantunya! Pembantu Nyonya Amara! Artikel itu bilang pembantunya juga menghilang! Bagaimana kalau... bagaimana kalau wanita tua itu adalah pembantunya, dan dia yang mengunci Nyonya Amara di sana sampai dia meninggal, lalu dia sendiri meninggal di rumah itu, dan sekarang mereka berdua... terjebak di sana?"

Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang. Wanita tua itu, pembantu yang setia, tapi mungkin menyimpan rahasia kelam. Dan Nyonya Amara yang bisikannya masih terperangkap di dalam rekaman.

Kini, bukan hanya hantu yang kami takuti. Ada sesuatu yang lebih menyeramkan dari sekadar penampakan. Ada sebuah cerita tragis yang tersembunyi di balik dinding-dinding rumah kosong itu, sebuah misteri yang masih hidup, menunggu untuk diungkap. Dan kami, entah disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari rahasia kelam itu. Rumah kosong di ujung jalan, tak lagi hanya sekadar cerita angker, melainkan sebuah makam bisu yang menyimpan kebenasan mengerikan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!