Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Strategi
"Arunika, kembalilah. Aku harus bicara pada Yang Mulia," ucap Raja Renjana lembut dan menegaskan pada adiknya bahwa ia baik-baik saja.
"Kenapa sih dia itu bilang gak apa-apa jelas-jelas hampir banget di bunuh sama musuh!"
Arunika hanya mengangguk. Tanpa kata, ia melangkah meninggalkan ruangan itu, membiarkan kakaknya berbicara dengan para bangsawan.
Kembali ke ruangan yang kini terasa sepi, walaupun banyak sekali ornamen seakan menjadi saksi bisu, Arunika duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Pandangannya yang kosong menatap dinding batu istana, sementara pikirannya melayang jauh ke masa saat ia masih hidup sebagai manusia biasa. Saat dunia nyata tak diwarnai pertarungan atau sihir, saat ia bisa tertawa bersama sahabatnya, Mark.
Tanpa sadar ia meneteskan air matanya rasa rindu pada dunianya kini sangat terasa, disana ia memiliki seorang kakak yang mirip dengan Renjana, kasih sayangnya bahkan cara bicaranya juga sangat mirip dengan sang kakak.
Di dunia nyata sang kakak belajar menyebrang jauh dari negaranya, lalu ayahnya? Sudah lama pergi dan ibunya juga sudah pergi, Arunika hanya memiliki Sang kakak juga Sahabatnya. Ia merindukan dunia itu.
Merindukan Mark. Walaupun sosok Pangeran Pertama begitu mirip, ia tahu perasaan dalam tubuh sang putri ini bukan miliknya sepenuhnya. Ada kekuatan yang mengalir, kekuatan yang asing, yang membuat jiwanya tak pernah benar-benar tenang.
"Aku bukan hanya Arunika..." gumamnya lirih.
"Tapi siapa aku sebenarnya? Tubuh ini? Wajah ini? ini bukan milikku."
Ia memejamkan mata, berharap mimpi membawanya pulang ke tempat ia berasal. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, ia tetap di sini—dalam dunia yang terasa asing, namun perlahan menuntut hatinya untuk menetap.
Sementara Arunika larut dalam gejolak batinnya, di sisi lain, Pangeran Pertama duduk bersama para pangeran lainnya dalam ruang pertemuan rahasia. Raja Renjana, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tetap hadir dengan sorot mata tajam dan penuh tekad.
"Pertahanan sihir cahaya kita harus diperkuat. Jika para penyihir hitam bisa menembusnya sekali, mereka bisa melakukannya lagi," ujar Pangeran Pertama, tangannya menunjuk ke peta besar yang terbentang di meja kayu.
Pangeran Kedua mengangguk. "Kita perlu membangun pilar cahaya di keempat penjuru utama kerajaan. Dengan begitu, medan pelindung akan saling terhubung dan memperkuat satu sama lain."
Raja Renjana menambahkan, suaranya berat namun mantap, "Namun itu belum cukup. Kita harus waspada terhadap Raja Sakha. Jika benar kepribadian lamanya telah bangkit, maka kita bukan hanya menghadapi penyihir dan serigala hitam... tapi juga ancaman dari dalam istana itu sendiri."
Semua terdiam sejenak.
"Apakah kita bisa mempercayainya?" tanya Pangeran Bungsu pelan.
Pangeran Pertama memejamkan mata. "Aku ingin percaya. Tapi dunia tidak lagi seperti dulu. Kita harus siap untuk kemungkinan terburuk."
Di ruangan itu, tak ada canda ataupun jeda. Hanya ketegangan yang menggantung, dan tekad yang membara dalam dada para penerus takhta—bahwa apapun yang terjadi, kerajaan ini tak akan dibiarkan runtuh tanpa perlawanan.
...****************...
Ruang pertemuan utama istana Sandyakala terasa tegang. Tirai-tirai berat berwarna kelam digantung rapat, dan cahaya kristal sihir di langit-langit hanya menyorot ke tengah meja bundar tempat semua bangsawan dan penasehat kerajaan berkumpul.
Di kursi kehormatan duduk Pangeran Mark, diapit oleh Raja Renjana dan para pangeran berdarah vampire. Wajah mereka serius, mata-mata mereka menyiratkan kewaspadaan yang dalam.
"Raja Sakha menghilang sudah lebih dari satu bulan," ujar salah satu penasehat tua dari istana Swastamita. "Dan para penjaga gerbang utara mengatakan, mereka melihat sosoknya... namun berbeda. Dingin. Tanpa cahaya di mata."
Raja Renjana mengangguk perlahan, "Itu berarti kepribadian keduanya telah bangkit."
"Ramalan itu mungkin bukan hanya dongeng," lanjut Pangeran Kedua dengan suara pelan.
"Jika benar, saat sisi gelap Raja Sakha muncul, kerajaan Sandyakala akan menghadapi kehancuran dari dalam."
Para bangsawan saling berpandangan. Tak ada yang berani menyela.
Pangeran Mark berdiri perlahan. "Kita tidak bisa mengabaikan ini. Desas-desus bukan hanya suara angin. Kita harus memperkuat pertahanan, mengunci setiap gerbang sihir, dan memanggil kembali para ksatria cahaya dari wilayah perbatasan. Sementara itu, aku dan saudara-saudaraku akan menyusun sihir perlindungan tertinggi untuk istana."
"Apa itu berarti... kita akan melawan Raja Sakha sendiri?" tanya seorang bangsawan muda dengan suara gemetar.
Raja Renjana menatapnya tajam, "Jika memang bukan lagi Raja Sakha yang kita kenal... maka ya. Kita harus bersiap melawannya."
Kebisuan menyelimuti ruangan. Ramalan tentang kejatuhan Sandyakala bukan lagi mitos masa lalu. Ia tengah bangkit bersama sisi kelam dari raja terkuat yang pernah memimpin tiga darah kehidupan.
"Kakak, apa kita akan melawan ayah kita sendiri?" tanya Pangeran Keenam, suaranya bergetar menahan emosi.
Pangeran Kelima ikut berdiri, matanya menatap tajam ke arah sang kakak tertua. "Aku juga tidak yakin… kita semua tahu kekuatan ayah. Ia sangat dahsyat, bahkan saat hanya menggunakan sebagian kecil sihirnya."
Pangeran Kedua mengepalkan tangan. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan harapan. Kita harus memperkuat pasukan, memperluas penjagaan di tiap perbatasan kerajaan."
Namun Pangeran Pertama menggeleng pelan, lalu menatap adik-adiknya satu per satu. "Kita harus melakukan lebih dari itu. Terutama... terhadap Arunika."
Ruangan seketika hening.
"Apa maksudmu?" tanya salah satu penasehat kerajaan, bingung.
Pangeran Pertama menarik napas panjang. "Arunika bukan hanya istriku. Ia adalah pusat kekuatan yang selama ini tersegel darahnya membawa kekuatan kuno, keturunan murni dari tiga darah kehidupan, manusia, vampire, dan serigala putih."
Pangeran Keenam menunduk, mengingat kembali aura berbeda yang selalu mengelilingi Arunika. Sementara Pangeran Kelima mengernyitkan dahi. "Jadi... ayah mungkin bangkit karena kekuatan itu?"
"Ramalan kuno menyebutkan, ketika darah suci bersatu dengan pewaris sihir kerajaan, akan muncul retakan dalam jiwa penguasa tertinggi dan jika ia memiliki dua kepribadian..." suara Raja Renjana terdengar berat, "...maka yang tertidur akan bangkit."
"Kita tak bisa biarkan Arunika tahu semuanya sekarang. Dia sedang mengandung... dia harus dijaga, bukan dibebani," ucap Pangeran Kedua.
"Aku tahu," sahut Pangeran Pertama lirih. "Tapi pada akhirnya dia harus tahu. Karena hanya dia yang bisa menyeimbangkan kekuatan yang mulai goyah."
Raja Renjana berdiri, tatapannya menyapu seluruh ruangan. "Mulai malam ini, semua pasukan khusus harus siaga. Perketat penjagaan istana, dan bentuk lingkar pelindung cahaya sihir di sekitar kamar Arunika. Jika sisi gelap ayah benar-benar bangkit... kita tidak akan tinggal diam."
Tak ada yang menyahut. Karena di dalam hati masing-masing, mereka tahu, hari-hari kedamaian telah berubah. Dan pertarungan sesungguhnya baru akan dimulai.
...****************...
Di dalam kamar, Arunika duduk memeluk lutut di tepi ranjang. Angin malam menyusup lewat celah jendela, membawa dingin yang tak sebanding dengan kegelisahan di dadanya. Pangeran Pertama belum juga datang, dan itu membuat pikirannya semakin kacau.
Ia menatap tangannya sendiri, menggigil meski tidak merasa kedinginan. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang penuh dan menekan pikirannya. Seolah ada ingatan yang bukan miliknya tapi juga miliknya.
"Inikah ingatan sang putri asli?" bisiknya sendiri.
Ingatan itu datang seperti kilatan petir cepat, terang, dan menyakitkan. Ia melihat seorang gadis berdiri di tebing cahaya, memandang langit kemerahan. Di sekitarnya ada suara jeritan, benturan pedang, dan nyanyian mantra. Gadis itu memegang sebuah kristal kecil yang memancarkan cahaya putih. Tapi cahaya itu retak, perlahan padam, seiring jatuhnya sang putri ke dalam pelukan kegelapan.
Arunika menjerit pelan, menahan sakit di kepalanya. Nafasnya memburu, dan air mata turun tanpa ia tahu mengapa.
"Kenapa aku merasa kehilangan? Siapa yang hilang dariku?" gumamnya.
Saat itu, suara langkah mendekat. Pintu terbuka perlahan, dan Pangeran Pertama masuk, raut wajahnya lelah namun lembut.
"Aru..." panggilnya, mendekat.
Arunika menatapnya, matanya masih basah. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang sangat penting terlupakan dariku? Kenapa aku merasa aku ini bukan hanya Arunika?"
Pangeran Pertama menggenggam tangannya, mengecupnya lembut. "Karena kau memang lebih dari sekadar Arunika. Kau adalah kunci dari segalanya, sayang."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Arunika tidur dalam pelukan sang pangeran bukan karena tenang, tapi karena rasa takut yang baru saja tumbuh mulai menemukan tempat untuk berpijak.
Arunika sangat merindukan sahabatnya Mark, bahkan sekarang ia berada seperti di pelukannya, lalu akhir-akhir ini ia sangat senang di pelukannya Mark. Sehingga Pria itu tidak pergi ke rapat kerajaan.
Pangeran Pertama selalu melindunginya dari bahaya, ia memasang sihir pelindung di kamarnya. Ternyata itu tidak cukup juga, sehingga membuat sihirnya menjadi melemah. banyak musuh yang menyerang pada siang hari karena tau kelemahan para pangeran tersebut.
...****************...
Keesokan harinya, sinar mentari menembus tirai tipis kamar Arunika. Di sisi ranjang, seorang tabib tua tengah memeriksa denyut nadi sang putri yang masih terbaring lemah. Keningnya berkeringat, matanya setengah terpejam karena demam yang belum juga turun.
Pangeran Pertama berdiri tak jauh dari sana, menatap penuh cemas. "Bagaimana keadaan istri saya, Tabib?"
Tabib itu menatap sang pangeran dengan tenang. "Ini adalah hal yang umum terjadi pada ibu hamil, Yang Mulia. Kondisi tubuhnya memang sedang sensitif, tapi yang paling penting sekarang adalah menjaga kestabilan pikirannya. Jangan biarkan ia terlalu banyak memikirkan hal-hal yang membuatnya gelisah. Itu sangat memengaruhi kondisi janinnya."
Pangeran Pertama mengangguk pelan, kemudian duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Arunika dengan lembut. "Maafkan aku, Aru aku terlalu membiarkanmu sendirian dengan semua ini," bisiknya lirih.
Arunika membuka matanya perlahan, menatap sang suami dengan lemah. "Aku hanya takut. Takut kehilanganmu, takut kehilangan diriku sendiri," ucapnya pelan.
Pangeran menyeka keringat di dahi istrinya. "Kau tidak akan kehilangan siapa pun, Aru. Aku di sini. Dan aku akan melindungi kalian berdua kau dan anak kita."
Suasana kamar menjadi sunyi, hanya suara hembusan angin dan detak hati yang tenang di antara keduanya.
Pangeran Pertama menatap wajah Arunika yang pucat, matanya tak lepas dari istrinya yang kini tampak begitu rapuh. Ia lalu berbaring di sebelahnya, membiarkan Arunika bersandar di dadanya. Tangannya membelai lembut rambut sang istri, mencoba menenangkan gejolak emosi dan ketakutan yang masih menyelimuti.
Arunika memejamkan mata, namun tangannya tak melepaskan pelukan di tubuh sang pangeran. Ia menyandarkan kepalanya, lalu berbisik pelan, "Jangan pergi tolong, tetap di sini malam ini."
Pangeran Pertama terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Arunika lebih erat. "Aku tidak akan kemana-mana, Aru."
Dalam hatinya, Arunika bingung dengan dirinya sendiri. "Kenapa aku jadi selemah ini Kenapa aku merasa takut kehilangannya, bahkan memohon seperti ini? Dulu aku bukan tipe yang mudah bersandar pada siapa pun.." pikirnya. Tapi tubuhnya seolah tak mau berpisah dengan kehangatan sang suami. "Apa ini… perasaan tubuh sang Putri? Atau... memang perasaanku sendiri?"
Pangeran Pertama mencium ubun-ubun Arunika dengan lembut. "Kau boleh bersandar padaku, Aru. Kau tidak harus jadi kuat setiap saat. Sekarang, kau adalah seluruh duniaku."
Dan untuk pertama kalinya sejak kehamilannya diketahui, Arunika merasa hatinya sedikit tenang meski di luar sana, badai besar tengah menyusun langkah.
Pangeran Pertama terdiam ketika Arunika dengan perlahan memindahkan tangannya ke perutnya yang mulai membesar. Sentuhan hangat itu membuat hatinya bergetar, seolah menyentuh kehidupan baru yang tumbuh di dalam diri perempuan yang paling ia cintai.
"Arunika..." bisiknya lembut.
Arunika tidak menjawab. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh. Ia tidak sedang melihat kamar, atau wajah Pangeran Pertama melainkan dirinya sendiri di dunia nyata. Seorang perempuan biasa yang menjalani hidup dengan segala logika, tanpa sihir, tanpa istana, dan tentu saja, tanpa kehamilan.
"Kenapa aku bisa sampai sejauh ini? Aku bahkan belum pernah merasakan jadi seorang ibu. Tapi di sini...semuanya nyata. Perut ini, anak ini, bahkan rasa ini..." pikirnya dalam diam.
"Arunika?" Pangeran Pertama memanggilnya sekali lagi, kini lebih khawatir. Ia meraih wajah Arunika, memalingkannya agar menatapnya.
"Apa kau baik-baik saja?"
Arunika terkejut sedikit dan mengerjapkan mata, kembali dari lamunannya. Ia mengangguk pelan, tapi air mata tipis mulai mengalir di pipinya.
"Aku... hanya bingung. Rasanya seperti hidup yang bukan milikku. Tapi perut ini kau semua terasa begitu nyata."
Pangeran Pertama menariknya ke dalam pelukan lagi. "Kau tak sendiri. Aku akan di sini, sampai kapan pun kau membutuhkanku. Dan anak kita dia akan lahir dengan cinta yang besar."
Arunika tak membalas, tapi ia menggenggam tangan Pangeran Pertama yang masih menyentuh perutnya. Dalam diam, ia mulai menerima satu hal: mungkin ini bukan dunia lamanya, tapi di sinilah hatinya mulai berakar.
...****************...
Arunika merendam tubuhnya dalam kolam mandi air hangat yang beruap lembut, membungkus tubuhnya dalam kehangatan yang menenangkan. Namun pikirannya tetap gaduh.
Ia menatap pantulan dirinya di permukaan air, lalu berbisik, "Sebenarnya gak aneh nikah, punya anak tapi, kenapa malah sama Mark? Maksudku sama orang yang wajahnya persis kayak Mark di dunia nyata?"
Ia menghela napas pelan, menyandarkan kepalanya di pinggiran kolam. "Mana mungkin aku gak baper? Dia perhatian, dia lembut dan dia mirip banget sama Mark bahkan lebih hangat dari Mark yang kukenal."
Arunika memejamkan mata. Di dalam pikirannya, melintas bayangan Mark sahabatnya dulu di dunia nyata. Seseorang yang sering menatapnya dengan cara yang membuatnya bingung, tapi tak pernah mengucap cinta. Dan kini, ia terjebak dalam dunia di mana sosok yang nyaris sama itu menjadi suaminya, calon ayah dari anak mereka, dan mencintainya tanpa syarat.
"Sebulan ini terlalu aneh. Tapi terlalu nyata untuk bisa kusebut mimpi."
Tiba-tiba, air kolam bergetar. Arunika membuka mata. Sekilas, ia merasa seperti mendengar suara seperti bisikan jauh, familiar tapi asing. Ia menoleh, namun tak ada siapa-siapa.
"Mark?" bisiknya pelan.
Hanya gemericik air yang ia dengar, Arunika merasa takut. Arunika mulai merasa tidak nyaman, takut atau mungkin ada sesuatu dari dunianya dulu belum benar-benar menghilang.
"Cara dia manggil aku juga sama persis sih ya, tapi..." gumam Arunika, suaranya nyaris tak terdengar, sebelum tiba-tiba terhenti.
Cek cek cek
Suara jejak kaki perlahan memasuki ruangan. Langkahnya pelan namun mantap, menggema di antara dinding-dinding batu kamar mandi istana yang megah dan sunyi.
Mata Arunika membelalak, tubuhnya menegang dalam air hangat. Ia menarik handuk sutra yang tergantung di sisi kolam, bersiap menutupi dirinya.
"Siapa?!" serunya waspada, suaranya bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya suara napas pelan... dan langkah kaki yang mendekat.
Cahaya lilin bergetar terkena hembusan angin kecil, dan sesosok bayangan muncul di balik tirai uap.
"Arunika..." suara itu pelan, lembut sangat familiar. Dan itu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Mark?"gumamnya refleks.
Sosok itu berhenti. Dari balik uap, sesosok pria muncul wajahnya samar, mata itu seperti Mark. Tapi juga bukan. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh rasa ingin tahu.
"Aku harus tahu... apakah kau benar-benar sudah menjadi bagian dari dunia ini..." ucapnya datar, namun penuh tekanan.
Arunika mundur sedikit ke dalam kolam, jantungnya berdetak tak karuan.
"Itu bukan suara Pangeran Pertama..." bisiknya.
Lalu siapa?
Di cerita aslinya Arunika membaca kalau Arunika keguguran di momen ini, saat ia berendam di kolam mandinya. Dan melawan suara misterius itu. Ia terkena sihir hitam. Tetapi karena Arunika tak bisa menggunakan kekuatan sihirnya walaupun Sang Putri di kenal putri cahaya dan kekuatan sihirnya juga kuat. Kali ini ia tak akan melawan tetapi ia akan menjaga kandungannya. Karena keturunannya yang akan menyelamatkannya dari dunia ini.
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉