NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 HARI-HARI TANPA WARNA

Langit yang sejak pagi cerah perlahan berubah muram. Awan-awan kelabu menggulung, menutupi sinar matahari hingga pemakaman terasa seakan tenggelam dalam bayangan. Udara dingin merayap pelan, membawa aroma tanah basah yang baru selesai diguyur gerimis tipis.

Di depan liang lahat, keluarga Alder berdiri sejajar. Mereka seperti patung-patung duka yang membatu, menghadap pada batu nisan yang baru dipasang. Ukiran nama itu—Martin August Alder—terpahat dengan jelas, sederhana, namun terasa menyayat bagi siapa pun yang membacanya.

Beberapa kerabat, rekan bisnis keluarga Alder, dan kenalan lama turut hadir. Suara bisik-bisik simpati dan penyesalan sesekali terdengar, tapi tenggelam oleh dominasi suasana yang pekat. Banyak yang masih belum percaya bahwa Martin, yang baru saja terlihat begitu hidup beberapa hari lalu, kini terbaring diam dalam tanah yang basah.

Ava datang dalam kondisi yang seharusnya tidak memungkinkan. Dokter memintanya tetap di rumah sakit, tetapi ia menolak. Ia bersikeras hadir meski harus duduk di kursi roda dengan tubuh yang masih ringkih. Luis berdiri tepat di belakangnya, kedua tangannya mantap memegang gagang kursi itu seolah menjadi pilar terakhir yang menopang dunia putrinya.

Ketika peti kayu mulai diturunkan ke dalam liang, bahu Ava bergetar hebat. Air mata yang sedari tadi ditahan mulai jatuh tanpa bisa dikendalikan. Tangisnya pecah—keras, patah, dan menyayat. Esther yang juga menangis, segera memeluk Ava dari samping, menahan tubuh kakak iparnya itu agar tidak runtuh.

Margaret bersandar lemah pada bahu suaminya. Tangannya menutupi mulut, seolah dengan begitu ia bisa menahan isakan yang ingin pecah. Agam mengusap punggung istrinya, tapi pria itu sendiri tampak rapuh—matanya memerah, rahangnya tegang menahan emosi yang terus menyerang.

Di sedikit kejauhan, Arash berdiri kaku. Tidak ada air mata di wajahnya, tetapi sorot matanya menghitam, pekat, seperti seseorang yang tengah berperang dengan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ia menatap tanah merah itu tanpa berkedip, seakan berharap kakaknya akan bangkit kembali dan berkata bahwa semua ini hanya kesalahan.

Upacara pun selesai. Doa selesai. Orang-orang mulai berpencar, kembali pada hidup mereka yang masih berjalan.

Esther mendorong kursi roda Ava menuju mobil. Sebelum Ava naik, gadis itu berjongkok, menatap kakak iparnya dengan mata besar yang penuh air.

“Kak Ava… berjanjilah kakak akan tetap datang ke rumah. Akan tetap menganggap Esther… adik kakak,” ucapnya, suaranya bergetar. “Jangan berubah, ya?”

Ava yang wajahnya pucat dan matanya bengkak mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dagu Esther. “Sampai kapan pun… kau tetap adikku,” jawabnya lirih. “Tidak akan ada yang berubah. Kau boleh mengunjungiku kapanpun…”

“Kak Ava janji?”

Ava mengangguk pelan—gerakan yang hampir tak terlihat karena kepalanya masih berdenyut hebat. Bahkan berbicara rasanya membuat tubuhnya goyah.

Esther langsung berdiri dan memeluk Ava erat. “Esther sudah kehilangan Kak Martin… Esther tidak mau kehilangan Kak Ava juga.”

Luis yang menyaksikan itu hanya bisa menarik napas panjang. Ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya. Putrinya tidak lagi sendirian. Ia punya keluarga baru yang benar-benar menyayanginya.

“Esther, ayo pulang,” panggil Agam lembut.

Esther melepaskan pelukan, mengusap pipinya, lalu pamit sebelum masuk ke dalam mobil. Margaret mendekat menggantikan posisinya. Ia membungkuk, memeluk Ava dengan lembut, mencium puncak kepalanya.

“Cepatlah pulih, sayang… dan tetap datang ke rumah, meskipun Martin sudah tidak ada,” ucapnya sambil mengusap wajah pucat Ava.

Ava hanya mengangguk. Suaranya habis—tenggelam bersama rasa sakit yang ia tahan dari tadi.

“Cepat sembuh, Ava,” ujar Agam setelah menepuk bahunya pelan. Itu satu-satunya kalimat yang mampu ia keluarkan.

"Luis, aku pamit pulang duluan." Ucapnya sebelum akhirnya ia turut pergi bersama keluarganya.

"Hati-hati dijalan." Luis menepuk bahu Agam singkat, mencoba memberi semangat untuknya.

Sedangkan Arash sudah menghilang dari area pemakaman sejak beberapa saat lalu, berjalan cepat bersama Lian menuju mobil mereka tanpa berpaling.

“Ayo kita pulang,” ajak Luis dengan suara lembut, penuh kekhawatiran pada kondisi putrinya.

Namun sebelum mereka sempat masuk mobil, seorang pria berseragam polisi melangkah cepat mendekati.

“Permisi,” sapanya. “Apa Anda Ava Estella Soren?”

“Iya,” jawab Luis. “Ada urusan apa, Pak?”

“Saya hanya ingin mengembalikan barang pribadi Anda yang tertinggal saat kejadian kecelakaan,” ucap polisi itu, menyerahkan sebuah tas besar. “Kami menemukannya di lokasi kejadian.”

Luis menerimanya lalu meletakkannya di kursi belakang mobil.

“Apakah keluarga Alder masih berada di sekitar sini?” tanya polisi itu lagi sambil melirik ke arah jalan keluar.

“Mereka baru saja pergi beberapa menit yang lalu,” jawab Luis.

“Kalau begitu,” ujar sang polisi, menarik sesuatu dari tas kecil di pinggangnya, “ini barang-barang milik anak mereka. Tolong sampaikan.”

Ia menyerahkan dompet dan ponsel yang sudah dilapisi plastik bukti.

Luis mengangguk hormat. “Terima kasih banyak, Pak.”

“Sama-sama.” Polisi itu menunduk singkat, lalu berjalan menjauh, meninggalkan suasana pemakaman yang kembali sunyi dan kosong.

Luis menutup pintu mobil, menghembuskan napas panjang, lalu berbisik pada Ava.

“Ayo pulang, sayang…”

Ava mengangguk dengan mata yang tak lagi punya air untuk menangis.

...----------------...

Setelah hari pemakaman itu, hari-hari Ava seperti kehilangan warnanya. Tidak ada lagi tawa kecil yang biasanya muncul saat ia menggambar. Tidak ada gumaman kecil ketika ia mencoba mencocokkan warna. Semuanya seperti meredup bersamaan dengan kepergian Martin. Ava hanya menghabiskan sebagian besar waktunya duduk di taman belakang.

Pagi itu pun sama. Ava duduk sendirian di taman belakang, tempat yang biasanya ia datangi untuk mencari inspirasi. Kini taman itu menjadi ruang pelarian sunyi. Di pangkuannya tergeletak sketsa gaun—kertas yang biasa ia isi dengan garis-garis penuh ide, kini hanya menanti disentuh. Tangan Ava memegang pena, tapi jari-jarinya tidak bergerak. Tatapannya kosong, menembus udara, seperti melihat sesuatu yang tidak ada di hadapannya.

Perban putih masih melilit dahinya. Memar di lehernya tampak mencolok, kontras dengan kulitnya yang pucat. Luka fisik itu sudah cukup menyakitkan, namun jelas bukan itu yang membuatnya rapuh. Ada luka lain yang tak terlihat, dan justru lebih dalam menghantam.

Dari balik kaca jendela, Luis memperhatikan putrinya. Ia berdiri lama—hanya memandangi Ava yang semakin hari semakin menyusut dalam kesedihan. Hatinya mencengkeras, ingin mendekat, tapi juga takut menyentuh luka yang mungkin belum siap disentuh.

“Paman.”

Bella muncul sambil merapikan tasnya. Ia sudah tiga hari penuh menemani Ava, menginap dan menjaga saat Luis harus keluar rumah. “Bella pamit berangkat bekerja.”

Luis menoleh, “Tunggu sebentar, paman antar—”

Bella cepat menggeleng. “Tidak usah, paman. Bella masih harus singgah ke beberapa tempat dulu.”

“Kalau begitu hati-hati di jalan.”

Bella tersenyum kecil, lalu berjalan menuju taman belakang sebelum benar-benar pergi.

“Ava…” panggilnya pelan.

Ava menoleh lambat, seolah perlu beberapa detik untuk kembali sadar dari pikirannya.

“Artis itu menyukai desainmu. Hari ini final fitting-nya,” ujar Bella, meski ia menyembunyikan kenyataan bahwa artis itu sempat marah dan menuduh Ava tidak profesional.

Ava diam sesaat. “Terima kasih sudah membantuku,” bisiknya pelan, suaranya serak dan lemah.

Bella meraih tangan Ava dan menggenggamnya erat. “Apa maksudmu ‘terima kasih’? Aku sahabatmu. Dan aku akan terus bantu kamu sebisaku.”

Ada getaran halus di bahu Ava—bukan menangis, tapi seperti seseorang yang ingin merasa lega, namun tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bereaksi.

“Setelah pulang kerja, aku akan kemari lagi, ya. Istirahatlah.”

Ava mengangguk pelan. Hanya itu yang mampu ia lakukan. Bella pun pergi, meninggalkan taman yang kembali dipenuhi suara dedaunan berdesir dan semilir angin yang dingin.

Sementara itu, di keluarga Alder, kesedihan tidak dibiarkan lama-lama tinggal. Agam selalu mengatakan pada keluarganya bahwa hidup itu pada akhirnya menuju kematian—kapan datangnya tak pernah ada yang tahu. Maka selagi hidup, berbuat baiklah meskipun itu hal kecil. Itu yang membuat mereka semua perlahan kembali pada aktivitas masing-masing.

Agam kembali mengurus Helion bersama Arash. Esther melanjutkan kuliahnya seperti biasa, meskipun sesekali ia masih mengirim pesan untuk memastikan Ava baik-baik saja.

Hari ini, para petinggi Helion mengadakan meeting penting untuk memilih siapa yang akan menggantikan posisi Martin sebagai COO(Chief operating officer). Ruangan itu dipenuhi suasana serius, dan nama Arash menjadi salah satu kandidat yang paling banyak dibicarakan. Selama seminggu bekerja di sana, ia menunjukkan potensi yang sama sekali tidak disangka orang-orang: cepat belajar, berani mengambil keputusan, dan cukup karismatik.

“Arash memang bisa diandalkan, tapi dia belum mampu memimpin karena minimnya pengalaman,” ucap Agam sebagai CEO, suaranya tegas namun jelas menyimpan kegundahan.

“Tapi Tuan Agam,” sahut pria paruh baya dengan rambut memutih. “Kemampuan Arash sudah cukup untuk menggantikan kakaknya.”

“Benar,” timpal petinggi lain. “Dia bahkan berhasil membuat perusahaan dari Cina mau bekerja sama dengan kita. Itu hal sulit. Melihat negara Cina itu negara dengan teknologi canggih. Tapi dia berhasil.”

“Lalu, apalagi yang membuat Anda ragu?” tanya seseorang di sudut meja.

Agam menghela napas panjang. Mendengar semua itu membuatnya bangga, namun ia tidak bisa terlalu terburu-buru. Dua kandidat lain juga tidak bisa diremehkan—mereka punya pengalaman bertahun-tahun yang tidak dimiliki Arash.

“Arash masih terlalu muda. Aku tidak bisa mengabaikan kandidat lain yang sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun,” jelas Agam jujur.

Pria yang sejak tadi mengamati berkata, “Di era modern seperti ini, jangan terpaku pada berapa lama seseorang bekerja. Fokuslah pada kontribusinya karena yang dibutuhkan bukan hanya pengalaman, tapi juga visi."

Ia berdiri sambil mengemasi berkasnya, "Pikirkanlah baik-baik, Tuan.” Ucapnya lalu meninggalkan ruangan.

Satu per satu petinggi lain turut menyusul, sampai akhirnya hanya Agam yang tersisa dan kesunyian.

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin berat. Ruangan itu terasa lebih besar, lebih kosong, seperti beban keputusan itu tiba-tiba menimpa seluruh pundaknya.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa like dan dukung karya ini yaa, terimakasih ❤️🤗

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!