Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10
Happy Reading...
.
.
.
Pagi itu Rania menerima pesan singkat dari Pak Ridwan, salah satu manajer senior di kantornya.
“Rania, ikut meeting eksternal pukul 10. Lokasi sudah saya kirim. Pastikan untuk hadir tepat waktu.”
Tidak ada salam, tidak ada penjelasan dan tidak ada ucapan belasungkawa atas ketidakhadirannya selama tiga hari. Rania menghela napas pelan lalu membalasnya singkat.
“Baik, Pak.”
Mungkin setidaknya ini bisa membuatnya sibuk sepanjang pagi dan melupakan sejenak permasalahannya.
Tepat pukul 10 Rania tiba di rumah makan VVIP yang disebut dalam pesan. Tempat itu sangat mewah, dengan pelayan khusus yang langsung mengantar Rania ke ruang pertemuan privat.
Saat pintu dibuka, Rania mendapati pemandangan yang membuat langkahnya sedikit terhenti. Di dalam ruangan sudah duduk Jordi dan Bu Anastasia. Mereka berdua terlihat sedang berbicara atau lebih tepatnya Bu Anastasia yang sedang berusaha menarik perhatian Jordi dengan tawa kecil yang dibuat-buat. Jordi tampak tidak terlalu fokus, sesekali memainkan ponselnya.
Namun ketika melihat Rania masuk, Jordi langsung menoleh cepat. Ada keterkejutan di mata pria itu, lalu perlahan berubah menjadi tatapan penuh harap yang jelas-jelas tidak bisa ia sembunyikan. Tatapan yang langsung membuat wajah Bu Anastasia mengeras.
Beberapa detik kemudian Pak Ridwan datang dari arah belakang dan menghampiri Rania.
“Oh, Rania. Kamu sudah datang.” ucapnya sambil tersenyum tipis. “Mari, duduk di sini.” Ajak pak Ridwan sambil sedikit memberikan dorongan pada Rania.
Ia menunjuk kursi yang berada tepat di depan Jordi. Rania tidak punya pilihan lain selain menuruti. Jordi berulangkali mencuri- curi pandang ke arahnya. Rania menyadari itu, ia berpura-pura sibuk membuka buku catatan mencoba mengabaikan sepenuhnya perhatian itu.
Anastasia melirik Jordi tajam. “Jordi, saya harap kamu bisa fokus." Tegurnya.
Jordi tersentak kecil. “Baik, Bu…”
Meeting dimulai begitu klien datang. Suasana menjadi formal, tetapi Jordi beberapa kali masih mencoba memandang Rania.
Meeting berlangsung sekitar satu jam. Setelah semuanya selesai, para peserta bubar satu per satu. Rania baru saja hendak berdiri ketika ponselnya berbunyi.
Sebuah pesan masuk dari Jordi.
“Aku ingin bicara dengan kamu. Tolong jangan pergi dulu.”
Rania menatap layar ponselnya datar, tidak berniat membalas. Namun dari sudut mata, ia melihat ekspresi Bu Anastasia yang semakin menggelap ketika melihat Jordi memandangi ponselnya sambil berkali-kali melirik ke arah Rania.
Rania memilih berdiri dan membungkuk kecil. “Saya permisi dulu.” Ia berbalik, meninggalkan ruangan itu tanpa sedikit pun menoleh.
Sementara di belakangnya, ia bisa mendengar suara Bu Anastasia yang mulai bersitegang dengan Jordi.
.
.
.
Saat hendak melangkahkan kakinya meninggalkan area restoran, tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangan Rania. Gerakannya terhenti mendadak hingga tubuhnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang karena terkejut. Ternyata orang itu adalah Ridwan. Wajah pria paruh baya itu terlihat serius namun tetap menunjukkan kesan sopan.
“Rania, sebentar,” ucap Ridwan dengan nada rendah namun tegas. "Ikut saya."
Rania mengerutkan kening. “I-iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Rania menatap Ridwan meminta penjelasan, pasalnya selama bekerja mereka berdua hampir tidak memiliki interaksi, sekali pun ada itu hanya sebatas meeting bahkan itu pun bisa di hitung dengan jari.
Tanpa banyak bicara, Ridwan sedikit menarik tangannya dan mengisyaratkan agar Rania untuk mengikutinya. Tarikan pada pergelangan tangannya memang tidak kasar, tetapi cukup kuat sampai Rania beberapa kali hampir terjatuh kerena tersandung kakinya sendiri. Ia spontan menolak dengan menarik tangannya pelan.
“Pak… kenapa tiba-tiba begini? Saya ingin langsung kembali ke kantor.” Tolak Rania.
Ridwan menoleh sekilas, tatapannya mengamati wajah Rania dengan teliti. “Kamu ikut saya sebentar saja. Saya lihat sedari tadi kamu hampir tidak menyentuh makananmu saat di meja meeting. Kamu terlihat pucat. Kamu butuh makan?”
Rania menunduk. “Pak, nanti saya akan makan di kantin kantor saja.” Jawabnya singkat.
Pak Ridwan mendesah pendek. “Rania, saya masih salah satu atasan kamu. Saya tahu kalau seseorang sedang berbohong atau tidak. Saya sering memperhatikan kamu, kamu bahkan tidak pernah pergi ke kantin.” Ia kembali menarik tangan Rania secara perlahan. “Ikut saya. Saya hanya ingin memastikan kamu makan sesuatu sebelum kembali ke kantor.”
Rania tidak bisa berkata banyak lagi. Ia membiarkan Ridwan membawanya menyusuri kembali lorong kecil menuju ruangan VVIP lain yang letaknya sedikit jauh dari ruang meeting sebelumnya. Ruangan itu lebih kecil, lebih tenang dan terasa lebih hangat karena pencahayaan kuning lembut yang dipasang di setiap sudut ruangan.
Setelah duduk, Ridwan memberi isyarat kepada salah satu pelayan. “Tolong bawakan sup hangat dan teh untuk dua orang,” ucapnya.
Rania merasa canggung. “Pak… sebenarnya tidak perlu sampai seperti ini. Saya tidak apa-apa, sungguh.”
Ridwan menautkan kedua alisnya. " Kamu tidak baik- baik saja. Saya tahu permasalahan kamu di kantor. Saya tahu bagaimana hubungan kamu dengan karyawan- karyawan yang lain. Saya tahu bahwa kamu sering di manfaatkan mereka semua. Dan saya juga tahu kalau kamu baru saja kehilangan papa kamu. Saya melakukan ini karena saya peduli sebagai atasan kamu.”
Rania mengangkat wajahnya, matanya memancarkan kebingungan sekaligus keterharuan. “Terima kasih pak."
“Kamu boleh bersedih.. kamu boleh berduka. Tapi jangan sampai kesehatanmu terganggu,” jawab Ridwan sambil melonggarkan dasinya.
Beberapa detik berlalu tanpa percakapan. Hanya ada suara langkah pelayan yang kemudian masuk membawa makanan. Setelah pelayan keluar, Rania menyentuh sendoknya.
Ridwan memperhatikannya dengan tatapan yang sulit di artikan. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja. Saya tidak akan memojokkan kamu seperti beberapa orang di kantor.”
Rania tersenyum tipis namun terasa getir. “Terima kasih, Pak. Saya… saya menghargai perhatian yang Bapak berikan.”
Pak Ridwan mengangguk. “Kamu masih muda, Ran. Jangan memikul semuanya sendirian. Tidak ada manusia yang tidak lelah.”
Ucapan itu membuat dada Rania terasa sesak. Beberapa hari terakhir hidupnya terasa berantakan. Kehilangan Dewa, pertengkaran di rumah dan sikap dingin Melisa serta rekan-rekan kantor. Mendengar seseorang menunjukkan sedikit perhatian saja membuat hatinya sedikit menghangat.
Rania menelan ludah sebelum berkata pelan, “Saya hanya bingung harus apa, Pak. Tapi saya akan berusaha.”
Ridwan tersenyum hangat. “Kalau begitu, makan dulu. Setelah ini, saya antar kamu ke kantor. Jangan memaksa diri terlalu keras.”
Rania mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak hari pemakaman, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihat kesedihannya, bukan hanya menuntut atau menyalahkan. Ruangan kecil itu terasa lebih menenangkan dibandingkan dunia luar yang terus menekannya.
Ia pun mulai menyendok sup perlahan, sementara Pak Ridwan duduk dengan tenang, seolah menjaga agar Rania tidak merasa sendirian lagi.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...