Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 : Luka Yang Disembunyikan
Setibanya di desa, keramaian langsung menyambut mereka. Orang-orang berlalu-lalang dengan berbagai kesibukan, pedagang memenuhi sisi jalan dengan barang dagangan mereka, sementara aroma roti hangat bercampur dengan harum rempah yang terbawa angin. Suasana terasa hidup, seolah angin yang berhembus tenang membawa kesejukan tersendiri.
Namun di tengah hiruk-pikuk itu, Arion menghentikan langkah kedua putri. Ia menuntun mereka ke salah satu pedagang roti yang sedang sibuk melayani pembeli. Lyanna menurutinya, sementara Veyra berjalan di belakang, enggan tapi tetap menyusul.
Arion membeli beberapa roti dengan lima koin perak, lalu menyelipkannya ke dalam jubahnya sebelum kembali melanjutkan langkah. Saat berjalan, suaranya terdengar datar namun jelas,
“Penari asing itu masih tinggal di desa, di dekat pinggir sungai.”
Lyanna melirik padanya.
“Dia tinggal sendiri?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Arion sempat terdiam sejenak sebelum menjawab,
“Seharusnya begitu… tapi beberapa orang pernah melihat laki-laki asing mengunjungi rumahnya.”
Alis Veyra berkerut, sementara Lyanna langsung menimpali,
“Dan kau pikir laki-laki itu ada hubungannya dengan penari itu?”
Arion menggeleng perlahan.
“Tidak ada yang tahu pasti. Penari itu cukup tertutup. Ia lebih sering mengurung diri di rumahnya.”
Mendengar penjelasan itu, Veyra mendecakkan lidahnya, lalu menggeleng pelan. Dengan gerakan cepat, ia menepuk kepalanya sendiri seolah menahan kesal, kemudian berlari meninggalkan mereka tanpa penjelasan.
Lyanna terkejut melihatnya.
“Veyra!” panggilnya panik, lalu segera menyusul.
Arion hanya menghela napas, memilih tetap tenang meski dalam diam. Ia mengikuti langkah Lyanna dari belakang, menjaga jarak, matanya tak lepas dari dua putri kerajaan yang kini bergegas di antara keramaian desa.
…
Di sisi lain, Yvaine duduk di tepi tempat tidurnya, sementara Lysander tengah memeriksa keadaannya. Cealia berdiri di sudut ruangan, hanya terdiam sambil merapikan beberapa buku yang berantakan di atas meja, sesekali melirik dengan cemas.
Lysander menempelkan punggung tangannya ke dahi Yvaine, lalu menghela napas lega.
“Suhu tubuhmu sudah jauh lebih baik,” ucapnya tenang. “Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Tubuh yang kurang istirahat, bila terus dipaksa, hanya akan berakhir tumbang. Aku tahu tugas dan statusmu penting, Putri… tapi dirimu sendiri juga harus kau jaga.”
Yvaine terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah tabib itu, sebelum perlahan turun ke arah tangannya sendiri. Ia menggenggam kain yang membalut telapak tangannya, berusaha menyembunyikan bekas luka yang tidak pernah ia perlihatkan pada siapa pun.
Alisnya mengerut ketika menyadari gerakan Lysander. Tanpa berkata apa-apa, pria itu menarik lengan gaunnya hingga renda-rendanya kembali menutupi balutan kain di tangannya. Gerakannya begitu alami, seakan-akan ia sudah mengetahui rahasia kecil itu sejak awal.
Lysander kemudian berdiri, menoleh ke arah Cealia.
“Keadaan Putri Mahkota sudah membaik. Untuk saat ini, temani beliau, jangan beri tugas apa pun terlebih dahulu,” ucapnya singkat.
Cealia mengangguk patuh.
Lysander sempat menoleh lagi pada Yvaine, memberikan senyum tipis sebelum ia menundukkan kepala sebagai tanda hormat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan.
Mata Yvaine mengikuti punggungnya yang menjauh hingga pintu tertutup rapat. Pandangannya kemudian turun ke tangannya yang kembali tersembunyi di balik selimut.
‘Sejak kapan… dia melihat luka ini?’ batinnya, dada Yvaine terasa bergetar oleh rasa cemas yang sulit ia pahami.
Cealia berjalan mendekat dengan hati-hati, lalu merapikan bantal di belakang Yvaine. Dengan lembut ia menuntun putri itu untuk kembali berbaring di atas kasur, memastikan tubuhnya nyaman.
“Itulah Tuan Lysander,” ujar Cealia pelan, suaranya lembut seakan tidak ingin mengganggu ketenangan Yvaine. “Pria yang tadi kau lihat... dialah yang kumaksud semalam.”
Yvaine menoleh, menatap Cealia dengan alis berkerut. “Dia seorang tabib istana?” tanyanya ragu, seolah ingin memastikan apa yang barusan ia lihat benar.