Ardan Kael tumbuh di Akademi Aetherion — sekolah elit bagi para pengguna kekuatan elemental.
Tapi di usia 16 tahun, hasil ujiannya menunjukkan “nol energi.” Ia dicap Reject, dibuang dari akademi, dan diusir dari keluarganya sendiri.
Namun, pada malam ia hendak bunuh diri di tebing Aetherion, ia mendengar suara aneh dari bayangannya sendiri:
“Kau gagal bukan karena lemah... tapi karena kekuatanmu terlalu kuat untuk dunia ini.”
Suara itu membangkitkan sesuatu yang telah lama tersegel dalam dirinya — Void Energy, kekuatan kegelapan yang bisa menelan seluruh elemen.
Dari situ, Ardan bersumpah untuk kembali ke akademi, bukan sebagai murid...
Tapi sebagai mimpi buruk bagi semua orang yang pernah merendahkannya.
“Kalian menyebutku gagal? Baiklah. Aku akan menunjukkan arti kegagalan yang sebenarnya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 – Bayangan yang Bernafas
Ruang bawah tanah di bawah Distrik Perpustakaan tempat Profesor Elandra berlatih bukanlah tempat yang aman. Ruangan itu luas, dengan langit-langit rendah yang terbuat dari batu hitam kuno, dan dinding yang dihiasi rune sihir pelindung yang berkedip lemah—semua dipasang Elandra untuk mencegah Void Energy Ardan membakar seluruh gedung.
Ardan berdiri di tengah ruangan. Ia telah meninggalkan jubah kuli panggulnya dan hanya mengenakan pakaian sederhana yang kini sering ia sembunyikan di balik lapisan Void Energy yang tipis.
"Sekarang," ujar Elandra, yang duduk tenang di sudut, menyalakan lilin rune yang baru. "Lupakan kebencian. Lupakan dendam. Aku ingin kau fokus pada titik Nol. Titik di mana kau tidak ada, tidak bergerak, tidak menginginkan apa pun."
Ardan memejamkan mata. Ia berusaha mencari titik ketenangan itu. Tapi di dalam dirinya, Void Energy berdenyut, menuntut dilepaskan.
“Omong kosong. Kau adalah Raja dari kehampaan. Jangan menjadi budak meditasi yang membosankan ini. Biarkan aku keluar! Kita akan berlatih di atas Valenforge, Ardan. Itu akan lebih efektif,” The Whisper mencibir dalam benaknya. Suaranya terdengar seperti pasir yang digerus di atas kaca.
"Tidak semudah itu, Profesor," Ardan menggeram. "Kekuatan ini... ia punya pikirannya sendiri. Ia ingin menghancurkan."
"Itu karena ia masih liar, Ardan. Liar dan lapar," Elandra bangkit, mengambil tongkat sihir kayu tua, dan mengetuk lantai. "Ingat, Void adalah Entropi. Ia menyeimbangkan alam semesta. Tapi di sini, di bawah tekanan emosimu, ia menjadi Devourer."
"Tunjukkan padaku," perintah Elandra. "Bentuklah bola Void seukuran kepalan tanganmu. Aku ingin kau menahannya selama lima menit tanpa membiarkan ia menyerap udara di ruangan ini."
Ardan mengulurkan tangannya, memanggil energi itu. Massa gelap, bergerak seperti kabut berminyak, muncul di telapak tangannya. Itu terasa dingin, sangat dingin, dan menarik semua kehangatan dari kulit Ardan.
Satu menit berlalu. Ardan berjuang, mengendalikan setiap atom kegelapan agar tidak meluber.
“Lepaskan. Mari kita lihat apa yang terjadi pada lilin tua itu. Lilin itu sangat mengganggu,” bujuk The Whisper.
Dua menit. Keringat dingin mengalir di pelipis Ardan. Ia membayangkan wajah Solan, ia membayangkan Aetherion—dan bola itu langsung berdenyut, membesar.
"Kontrol emosimu!" seru Elandra. "Kau menantang dunia, Ardan! Bukan dunia yang kau lawan, tapi dirimu sendiri!"
Kata-kata itu menusuk Ardan. Ia menarik napas, membuang gambaran Solan, dan menggantinya dengan gambaran Lyra yang ketakutan di Arena. Ia ingat rasa sakit penyesalan di mata Lyra. Ia harus menjadi lebih baik, bukan hanya lebih kuat.
Bola Void itu meredup, menyusut sedikit.
"Bagus," Elandra mengangguk. "Itu adalah Arsitek Abadi yang mencoba mengambil alih. Fokus pada perbaikan. Fokus pada mengisi kekosongan, bukan menciptakannya."
Tiga menit. Tapi Ardan sudah mencapai batasnya. Kontrol mental itu melelahkan, jauh lebih melelahkan daripada mengeluarkan rentetan Void Devourer di Arena.
Tiba-tiba, Ardan tersentak. Ia melihat sekeliling ruangan, dan rune pelindung di dinding tiba-tiba memancarkan cahaya redup, lalu padam, diserap oleh Void yang tak terkendali.
"Gagal," kata Ardan, menjatuhkan bola itu ke lantai.
Bola itu tidak meledak. Ia hanya tenggelam ke dalam batu, meninggalkan lubang hitam kecil.
Elandra berjalan mendekat. "Lihat dampaknya. Setiap kali kau lengah, kau menciptakan kehancuran. Kekuatan ini bisa menelan dirimu kalau kau lengah."
Ardan duduk di lantai, kelelahan. "Bagaimana saya bisa menguasainya jika dia—The Whisper—terus bicara?"
"The Whisper adalah bagian dari kekuatanmu. Kau harus berdamai dengannya, Ardan. Kau harus menjadikannya sekutu. Bukan dengan mengikuti keinginannya, tapi dengan menunjukkan otoritasmu. Dia adalah manifestasi dari Dewa Void, tetapi kau adalah wadahnya. Wadah selalu lebih kuat dari isinya."
Elandra duduk di sebelah Ardan, wajahnya kini dipenuhi kelembutan yang jarang ia tunjukkan.
"Dulu, ada pepatah kuno. Kendalikan amarahmu. Bukan dunia yang kau lawan, tapi dirimu sendiri. Itu diciptakan untuk orang-orang sepertimu, Ardan."