Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Tawaran
Di kamar hanya ada cahaya lampu redup dari atas meja. Nadira duduk diam di kursi rodanya. Alka berdiri di hadapannya, wajahnya masih menyimpan bekas amarah.
"Alka," suara Nadira pelan tapi tajam, "Fellisya itu Ibu kandung kamu, nggak pantas kamu seperti itu sama dia."
Alka tak menjawab. Hanya menunduk, dengan tangan mengepal di samping tubuh.
"Dia nggak mau lihat kamu gagal lagi, Alka. Cuma caranya aja yang terlihat keras." kata Nadira lagi.
"Nggak, dia malah seneng lihat aku gagal." jawab Alka lirih.
"Tiga bulan lagi, kamu lulus SMA. Oma minta, tinggalkan dance kamu. Kuliah yang bener, dan fokus di bidang hukum." suaranya selalu pelan, tapi nadanya tegas.
"Aku nggak mau, Oma. Kuliah hukum, panjang prosesnya," tolak Alka, ia menatap Nadira dengan sendu.
"Tapi dance juga buang-buang tenaga, buang-buang waktu. Kalau kamu masih keras kepala, jangan salahin siapa-siapa kalau suatu hari kamu gagal lagi." tangannya Nadira mengepal di atas pangkuannya.
"Aku nggak nyalahin siapapun, termasuk diri aku sendiri. Gagal bukan waktunya untuk berhenti, tapi untuk kembali mencoba." jawab Alka, suaranya datar.
Nadira menatapnya lama, untuk kali pertamanya ia tak menjawab perkataan Alka.
Alka menatapnya, sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi. "Maaf, Oma. Mungkin dengan pilihan aku, bikin Oma kecewa. Tapi hidup, aku yang jalani. Udah malam, aku ke kamar, Oma."
Alka langsung pergi dari sana. Jalannya cepat menuju kamar. Walaupun Nadira terus meminta Alka untuk berhenti. Tapi Alka tak menghiraukan itu, dalam dada nya tekad yang kuat semakin tumbuh.
Dua hari berlalu...
Malam yang Alka tunggu akhirnya tiba. Sorak penonton menggema di ruang event malam itu. Cahaya lampu berganti warna, musik menghentak. Di tengah panggung, Alka berdiri tegap, kali ini dengan seragam dancer yang rapi, rambutnya di sisir ke belakang, aura percaya dirinya begitu kuat.
"Next performer, please welcome... Alka!"
Teriakan menggema dari teman-teman nya yang berdiri di barisan depan.
Begitu musik mengalun, Alka bergerak lincah, setiap langkahnya mantap, ritmenya pas, energinya begitu nyatu dengan beat. Sorot lampu memantul di keringat yang menetes di wajahnya, tapi matanya tetap fokus.
Begitu lagu berhenti, suara penonton pecah. Sorakan, tepuk tangan, dan siulan memenuhi ruangan.
"LO KEREN KA!" teriak Cakra, suaranya paling kenceng.
Athar masih melompat-lompat. "GILA, BAGUS BANGET!" teriak Athar.
"Ta, keren banget." Liona meraih tangan Lista, matanya berbinar menatap Alka yang berjalan ke arahnya.
"Dia emang sejago itu, tapi waktunya belum ngasih kesempatan." jawab Lista diantara riuhnya penonton.
Sementara Alesha hanya tersenyum dan tepuk tangan. Ia duduk di kursi rodanya, dan Jehan di belakangnya berdiri.
"Alka, ni minum dulu, lo pasti capek, kan?" Liona menyodorkan botol air minum.
Alka tersenyum lebar saat mengambil air mineral itu. "Makasih, ya. Seneng banget kayaknya?"
"Iya, lo hebat, Alka. Apalagi auranya beda malam ini. Cakep banget." kata Liona dengan suara ceria, dan tatapannya yang hangat masuk ke mata Alka.
"Bisa aja, lo." jawab Alka dengan tawanya. Tapi di balik tawa itu, ada sesuatu juga yang masuk ke hatinya.
Liona meraih tissu dalam tas, lalu ngelap pelipis Alka yang basah karena keringat. Kakinya jinjit, karena Alka tinggi dengan 175, sedangkan Liona hanya 155.
Dari belakang, Cakra berdehem. "Ciee, ada yang perhatiin ya sekarang."
"Udah-udah biarin, kita pergi dari pada jadi nyamuk." sahut Athar, ia tertawa. Lalu melangkah pergi dari keramaian.
Alka dan teman-temannya segera nyusul. Mereka kumpul di satu cafe yang tak jauh dari acara event.
Obrolan tipis dan tawa dari mereka bersatu dengan angin malam yang berhembus pelan.
Dalam diam juga, Alka sesekali mencuri pandang pada Liona yang tengah tertawa.
Orang-orang berlalu-lalang di sekitaran mereka. Sampai akhirnya, satu pria dewasa menghampiri meja mereka.
"Permisi, saya boleh ikut gabung?" katanya, senyumnya ramah.
Alka langsung ngangguk. "Boleh, Pak. Silahkan duduk."
Pria dewasa itu pun duduk di hadapan Alka. Suasana mendadak canggung, suara obrolan dan tawa langsung berhenti.
"Hm, Alka. Teman saya ada yang lagi pegang audisi buat agensi kecil, tapi reputasinya bersih dan ketet. Saya mau daftarin kamu, gimana?" tawarnya. Tatapannya lurus ke Alka.
Alka tahu dia siapa. Dia adalah pelatih dance profesional. "Beneran, Bapak mau daftarin saya?" Alka nunjuk dirinya sendiri.
"Iya, gerakan kamu rapi, powernya juga dapet." jawab pelatih itu dengan senyum di bibirnya.
"Saya mau, Pak." Alka mengangguk cepat, senyum di wajahnya semakin lebar.
"Baik. Nanti saya kabarin kamu lagi. Saya permisi, maaf ganggu." katanya sebelum akhirnya ia pergi.
Teman-teman ikut heboh. Liona tersenyum lebar sambil menatapnya. "Lo pasti bisa, Alka."
"Semoga aja. Gue harap kali ini... berhasil." Alka memejamkan matanya, menarik napas panjang.
Udara malam semakin dingin menusuk, acara event sudah selesai. Orang-orang berhamburan, riuh dan bising kendaraan jadi satu.
Begitu juga, Alka dan teman-temannya yang memutuskan untuk pulang. Karena malam sudah hampir larut.
Hari terus berganti dengan harapan yang baru. Angin siang itu pelan, bikin daun-daunan jatuh ke jalan setapak. Alka jalan pelan sambil mendorong kursi Alesha dari belakang.
Alesha diam, tapi sesekali matanya ngelirik Alka, seperti ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.
"Capek?" tanya Alka, suaranya lembut.
Alesha menggeleng. "Nggak... cuma suka aja di sini."
Bibir Alka tersenyum. "Baguslah. Yang penting lo nggak bosan."
Mereka berdua hanya muterin taman, tak banyak ngobrol, tapi bikin jantung Alesha deg-degan. Ada perasaan aneh, kayak nyaman, tapi takut. Kayak pengen deket, tapi juga malu.
Sementara Alka, dia fokus pada jalanan di depannya, tak lama ia berjongkok di hadapan Alesha. Memindahkan ranting kecil supaya rodanya nggak nyangkut.
Alesha menatapnya lama. "Alka... kalau nanti gue bisa jalan lagi... boleh nggak... kita masih barang kayak gini."
Alka menatapnya perlahan, tersenyum tipis. "Boleh, kenapa nggak." nadanya datar, tapi hangat.
Dada Alesha langsung terasa panas. Bukan sedih... tapi itu perasaan aneh yang makin hari makin besar. Dia nggak ngerti ini apa, cuma tiba-tiba pengen Alka terus ada di sampingnya. Dan Jehan juga, tanpa harus pergi.