NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 Hukuman yang Jadi Kesempatan

Selesai pelajaran, Maya berjalan lesu menuju kantor ustadzah Anisa guru bahasa Arab yang baru saja mengajar dikelasnya. Ia menyeret langkahnya seperti narapidana yang baru dijatuhi vonis.

“Kenapa hidup gue selalu penuh drama?” gumamnya. “Kenapa bukan Zahra aja yang kena hukuman? Dia kan lebih kalem, pasti cocok jadi tokoh sabar. Gue? Gue itu tokoh utama yang harus selalu gemerlap, bukan tukang bersihin rak buku.”

Dewi, Rara, Sinta dan Zahra hanya bisa menggeleng samar. Zahra mendorong bahu Maya pelan, "Yaudah sih, May. Anggep aja ini kesempatan buat kamu nunjukin sisi baik.”

Maya cemberut, “Sisi baik gue kan biasanya udah keburu ketutup sama sisi cantik gue.”

Begitu sampai di kantor, ustadzah sudah menunggu. Senyumnya tipis, tapi tatapannya tajam. Sementara itu teman-temannya terlihat mengintip dari balik pintu dan jendela.

“Maya, tolong rapikan semua buku di rak ini. Urutkan sesuai abjad, jangan asal," Ucap usatdzah Anisa lagi.

Maya menelan ludah. Rak itu penuh dengan kitab tebal, sebagian berdebu. Ia meraih satu buku, meniup permukaannya, lalu terbatuk-batuk.

“Ya ampun, Ustadzah… debunya bikin paru-paru saya protes. Ini bukan buku, ini fosil sejarah!”

Ustadzah mengangkat alis. “Kalau banyak protes, hukumannya bisa saya tambah.”

Maya langsung menutup mulut, tersenyum kaku. “Hehe… bercanda doang, Ustadzah. Saya kan suka humor biar suasana nggak tegang.”

Ia pun mulai bekerja. Setiap kali mengambil kitab, Maya berpose seolah sedang memegang mahkota. Setiap kali menata rak, ia bersenandung dramatis seakan sedang syuting iklan pembersih debu.

“Liat nih, gengs,” bisiknya ke arah teman-temannya yang mengintip dari luar. “Tangan gue kayak Cinderella, tapi versi premium edition. Bedanya, gue nggak ketemu pangeran, malah ketemu tumpukan kitab.”

Namun, semakin lama, sesuatu yang aneh terjadi. Maya mulai fokus, tangannya bergerak lincah mengurutkan buku, matanya meneliti huruf demi huruf. Wajahnya memang masih lebay, tapi gerakannya jadi lebih teratur.

Ustadzah memperhatikan dari meja kerjanya. Sesekali senyumnya tipis muncul, meski ia tetap berusaha terlihat serius.

Setelah hampir satu jam, rak buku itu rapi. Maya berdiri dengan tangan di pinggang, wajah penuh kemenangan.

“Saudara-saudara sekalian, sejarah baru tercipta! Rak ini, yang tadinya berantakan, kini telah berubah menjadi… karya seni tata letak kelas dunia. Dan siapa yang jadi seniman di baliknya? Maya, sang legenda hidup!”

Zahra menepuk jidat dari luar pintu. “Astaga, May…”

Ustadzah bangkit, memeriksa hasil kerja Maya. Ia mengangguk pelan.

“Bagus. Ternyata kamu bisa juga kalau serius. Ingat, Maya, kerja keras tidak perlu selalu diumumkan dengan teriak-teriak. Kadang kesungguhan lebih berharga daripada drama.”

Maya terdiam sejenak. Ada rasa aneh di dadanya, semacam… hangat. Walau tentu saja ia menutupinya dengan senyum lebay.

“Baik, Ustadzah! Mulai sekarang, Maya siap jadi teladan!”

Begitu keluar kantor, Dewi langsung nyinyir. “Teladan apaan? Tadi aja lo ngomong sama debu kayak ngomong sama makhluk gaib.”

Maya mengangkat dagu tinggi. “Itu namanya adaptasi, Wi. Gue mulai menyatu sama lingkungan. Debu aja sekarang udah jadi fans gue.”

Dewi dan teman-temannya hanya bisa menghela napas panjang, sementara Maya melangkah ringan. Dalam hati kecilnya, ia sendiri heran,kenapa barusan dia merasa sedikit… bangga?

.....

Waktu berjalan begitu saja, siang berganti malam. Kini Maya dan teman-teman satu asramanya sudah berkumpul di dalam kamarnya lagi. Setelah mengerjakan salat maghrib dan isya berjamaah serta pengajian malam akhirnya mereka diberi waktu untuk istirahat.

Malam semakin larut. Lampu-lampu kamar asrama sudah dipadamkan, suara teman-teman Maya berubah jadi dengkuran halus bercampur helaan napas lelah. Tapi Maya masih terjaga. Ia tertidur sebentar, lalu terbangun lagi, duduk di pinggir ranjang dengan pandangan kosong.

Hatinya terasa berat. Bukan karena lelah mencuci piring atau mengatur rak buku… tapi karena ada perasaan yang tidak bisa ia buang: rasa tidak betah yang semakin merajalela.

Perlahan ia keluar dari kamar, melangkah ke depan asrama. Udara malam menusuk kulit, tapi justru membuay dadanya sedikit lega. Maya mendongak menatap langit penuh bintang, lalu menghela napas panjang.

“Kenapa sih hidup gue harus di sini? Gue nggak pernah minta masuk pesantren… gue cuma pengen hidup normal, bebas, nggak diatur-atur. Apa segitu susahnya orang ngerti gue?” gumamnya lirih.

Ia terdiam lama, memeluk lutut sambil terus menatap gelap malam.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Dari kejauhan, Azzam muncul bersama dua santri putra yang sedang ronda. Mereka membawa senter kecil, bercanda pelan, lalu berhenti ketika melihat Maya duduk sendirian.

Azzam menoleh ke santri lain. “Kalian lanjut aja, saya nyusul.”

Dua santri itu mengangguk lalu berjalan pergi, meninggalkan Azzam yang kini menghampiri Maya.

“Kok belum tidur?” tanyanya, suaranya pelan, tidak setegas biasanya.

Maya menoleh sebentar, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. “Nggak bisa tidur, Ustadz. Lagi pengen ngadem aja.”

Azzam ikut duduk di bangku panjang sebelahnya. Suasana jadi sepi, hanya suara jangkrik dan tiupan angin malam yang terdengar.

“Seminggu kemarin, kamu bisa menyelesaikan hukuman cuci piring. Saya nggak nyangka kamu kuat juga,” katanya tiba-tiba.

Maya mendengus kecil, pura-pura jutek. “Kuat apanya? Tangan saya lecet, kuku saya rusak. Aura saya meredup drastis. Kalau ada audisi artis, mungkin saya ditolak mentah-mentah.”

Azzam tersenyum samar. “Tapi nyatanya kamu tetap bisa jalanin. Itu bukti kamu lebih tangguh daripada yang kamu kira.”

Maya terdiam, menunduk. Ada perasaan aneh muncul lagi, campuran antara kesal, malu, dan… sedikit bangga. Tapi tentu saja ia gengsi mengakuinya.

“Ustadz tau nggak? Saya tuh sebenernya nggak betah di sini. Pesantren bukan pilihan saya. Kadang saya mikir… kenapa harus saya yang masuk? Kenapa nggak orang lain aja? tempat ini ga cocok buat miss internasional kayak saya ,” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Azzam menoleh, menatapnya lekat. “Saya ngerti. Berat kalau harus jalani sesuatu yang bukan pilihan kita. Tapi, Maya… kadang justru di situ kita belajar hal penting. Nggak semua yang kita mau baik buat kita. Dan nggak semua yang kita nggak mau itu buruk.”

Maya menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepala ke tiang kayu asrama. “Iya sih… cuma tetep aja rasanya kayak jadi burung yang dikurung. Saya pengen bebas.”

Azzam menatapnya, suaranya lembut. “Bebas itu bukan berarti bisa seenaknya. Bebas itu kalau kamu bisa kendaliin diri, walau ada aturan. Dan saya percaya, kamu bisa. Buktinya, seminggu kemarin kamu nggak kabur meski sempat ngancem.”

Maya melirik cepat, bibirnya maju satu senti. “Heh, Ustadz masih inget aja anceman saya.”

Azzam terkekeh kecil. “Jelas inget. Ancamanmu terlalu dramatis buat dilupain.”

Maya pura-pura cemberut, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Entah kenapa, nasihat Azzam malam itu masuk lebih dalam dibanding marah-marahnya waktu siang hari tadi.

Hening sejenak. Lalu Maya berbisik pelan. “Ustadz…”

Azzam menoleh. “Hm?”

“Kalau suatu hari saya jadi artis beneran… Ustadz jangan pernah bilang saya nggak bisa sukses gara-gara cuma cuci piring di sini ya.”

Azzam tersenyum hangat. “Tenang aja. Kalau kamu beneran jadi artis, saya yang pertama bakal tepuk tangan paling kencang.”

Maya mendengus kecil, tapi ada senyum samar yang lolos dari bibirnya. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit lebih damai.

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!