Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Yang Tak Sengaja
Jam baru menunjukkan pukul enam pagi, tapi dapur kontrakan sederhana itu sudah ramai oleh aktivitas Nayla. Tangannya lincah mengaduk wajan, sementara aroma bawang putih tumis bercampur dengan wangi kangkung yang baru saja masuk, langsung memenuhi ruangan kecil itu.
Sambil mengaduk, Nayla mendengung asal, lalu tiba-tiba nyeletuk nyanyi dengan nada fals, “Abang pilih yang mana… perawan atau janda~” sambil menggoyangkan pinggul ke kiri dan kanan, seperti lagi konser pribadi.
Dia ngakak sendiri mendengar suara sumbangnya. “Astaga, merdu banget sih suara gue. Bisa ngalahin penyanyi TikTok,” ucapnya dengan wajah bangga pura-pura serius.
Setelah itu, ia berhenti sebentar, mencicipi masakan dengan ujung sendok. Begitu lidahnya kena rasa, Nayla langsung mengangguk-angguk puas. “Hmm… ini sih bukan level warteg lagi, udah masuk bintang lima. MasterChef, hati-hati gue saingan lo.”
Begitu selesai memasak dan membereskan dapur seadanya, Nayla melangkah ke kamar dengan langkah santai. Pandangannya jatuh ke tempat tidur yang masih acak-acakan, selimut numpuk nggak karuan. Tapi bukannya membereskan, dia malah meraih ponsel di meja samping, mengabaikan ranjang yang seperti kapal pecah.
“Oke, masih jam segini,” gumam Nayla sambil melirik layar ponselnya. “Mandi dulu, sarapan, terus langsung ke kampus deh,” tambahnya dengan semangat.
Ia meletakkan ponselnya kembali, mengambil handuk, lalu berjalan menuju kamar mandi sambil bersenandung kecil. Lagu yang tadi ia nyanyikan di dapur masih terngiang di kepalanya.
Sementara itu, di rumah lain, Arga tengah duduk santai di meja makan bersama putra semata wayangnya, Raka. Pagi itu suasana rumah mewah mereka terasa hangat dan teratur. Raka tampak lahap menyuapkan sarapannya, wajahnya ceria dan matanya berbinar penuh kecerdasan. Arga hanya menyesap kopi hitamnya dengan tenang, ekspresinya datar namun tetap memancarkan wibawa.
Begitu sarapan selesai, Arga meneguk habis sisa kopinya lalu berdiri. Tangannya merapikan jas yang sejak tadi sudah melekat di tubuhnya. Hari ini ia kembali bekerja, tapi seperti biasa, ia akan lebih dulu mengantar Raka ke sekolah.
“Yuk, Pa!” seru Raka penuh semangat sambil menenteng tas sekolahnya. Senyumnya lebar, seolah siap menghadapi hari. Di belakangnya, Bibi rumah tangga keluarga itu ikut berjalan sambil membawa kotak bekal Raka.
“Let’s go,” ucap Arga singkat dengan nada cool. Bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis.
“Let’s go!” sahut Raka menirukan gaya ayahnya dengan ekspresi sok cool, membuat Bibi menahan tawa melihat tingkah bocah itu.
Sesampainya di garasi, Arga masuk ke dalam mobil mewahnya dengan gerakan tenang namun penuh wibawa. Raka segera menyusul, duduk manis di kursi belakang sambil menenteng tasnya. Tak lama, Bibi datang menghampiri sambil membawa kotak bekal.
“Ini, Den, bekalnya,” ucap Bibi dengan senyum tulus.
“Makasih, Bi,” balas Raka sopan, menerima kotak bekal itu dengan kedua tangan.
“Sama-sama, Den,” jawab Bibi hangat, lalu menutup pintu mobil dengan hati-hati sebelum melangkah mundur.
Mesin mobil menderu halus. Perlahan kendaraan itu keluar dari halaman rumah megah, roda-rodanya berputar mulus di jalanan kompleks elit. Dari balik kaca depan, Arga menatap lurus ke jalan, namun pandangannya sempat bergeser ke sebuah rumah sederhana di sisi jalan rumah Nayla.
Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat bibir dinginnya terangkat tipis, nyaris tak terlihat. Ada sesuatu tentang gadis itu yang sulit ia pahami. Nayla seperti membawa warna yang berbeda dalam hidupnya: membuatnya lebih hidup, lebih hangat, bahkan kadang tanpa sadar jadi sedikit genit. Dan itu… bukan dirinya yang biasa.
“Ehem!” suara Raka tiba-tiba memecah lamunan Arga. Bocah itu sengaja berdehem keras, seperti detektif kecil yang baru saja menemukan petunjuk penting. Ia memiringkan kepala, menatap ayahnya penuh selidik.
“Inget ya, Pa…” Raka menyilangkan tangan di dada dengan gaya sok dewasa. “Jangan genit-genit.”
Arga yang masih memegang kemudi hanya melirik sekilas, ekspresinya tetap dingin dan cool seperti biasa. Namun sudut bibirnya sempat bergerak tipis. “Papa nggak genit,” balasnya datar, seolah benar-benar tak merasa bersalah.
“Hmm…” Raka menyipitkan mata, pandangan tajamnya membuat Arga jadi seperti sedang diinterogasi. “Iyaa, Raka percaya… percaya banget,” ucapnya dengan nada penuh sindiran, lengkap dengan intonasi dramatis.
Arga akhirnya tak kuasa menahan tawa kecil, meski segera ditepis dengan batuk kecil pura-pura. “Kamu ini kebanyakan nonton sinetron sama Bibi, ya?”
Raka mencondongkan tubuhnya ke depan, kepalanya nyaris menyembul di antara kursi ayahnya. “Bukan sinetron, Pa. Raka kan cerdas. Analisis. Fakta. Tadi Papa senyum sendiri pas lihat rumah sebelah. Itu bukti. Evidence.”
Arga menghela napas panjang, tetap berusaha mempertahankan citra cool-nya. “Papa cuma… lihat jalan,” kilahnya ringan.
“Lihat jalan? Jalanan mana yang bisa bikin Papa senyum-senyum sendiri? Biasanya juga muka Papa kayak es batu.” Raka mengangkat alisnya tinggi-tinggi, sukses membuat Arga hampir tersedak tawanya sendiri.
Arga menoleh sebentar, menatap bocah itu dengan tatapan penuh arti, setengah ingin menyangkal, setengah malas berdebat. “Kamu pintar banget ya, kecil-kecil udah sok jadi pengacara.”
“Bukan pengacara, Pa. Detektif,” sahut Raka cepat, lalu menepuk dadanya dengan bangga. “Detektif Raka. Tugasnya ngawasin Papa biar nggak genit-genit. Soalnya Raka tahu, kalau Papa ketemu kakak yang suka nabrak itu… Papa suka auto berubah.”
Kali ini Arga benar-benar tertawa kecil, suara rendahnya memenuhi kabin mobil yang mewah itu. “Auto berubah apaan?”
“Auto jadi bukan Papa!” Raka menunjuk ke arah ayahnya sambil terkekeh. “Biasanya Papa dingin, cool, kayak pangeran es. Tapi kalau sama kakak itu, Papa mendadak jadi… pangeran genit.”
Arga menggeleng pelan, pura-pura tidak peduli, tapi jelas matanya menyimpan kilau geli sekaligus pasrah. Ia tahu anak semata wayangnya ini memang terlalu cerdas untuk seusianya.
Mobil pun terus melaju, meninggalkan perumahan elit. Di dalamnya, seorang ayah dingin yang diam-diam bisa hangat karena seorang wanita, dan seorang anak cerdas yang dengan lugas menjaga ‘kehormatan’ ayahnya agar tetap terlihat cool.
Setelah selesai mandi dan bersiap, Nayla keluar dari kamar dengan langkah ringan. Rambutnya masih sedikit basah, menempel di bahu, sementara aroma sabun dan shampoo masih segar tercium dari tubuhnya.
Begitu tiba di dapur, matanya langsung berbinar melihat masakan yang tadi sudah ia siapkan. Tumis kangkung masih tampak hijau cerah, uapnya tipis-tipis mengepul, sementara tempe goreng berwarna keemasan tertata rapi di piring. Suara perutnya yang keroncongan seakan menyambut hidangan sederhana itu.
“Wah, chef Nayla emang nggak pernah gagal,” gumamnya sambil tersenyum lebar, nada suaranya penuh percaya diri seperti sedang menilai hasil masakan di acara TV kuliner. Ia bahkan memberi isyarat jempol ke arah piringnya sendiri.
Dengan semangat, Nayla menyiapkan piring, menuangkan nasi hangat, lalu menata lauknya. Setelah semuanya rapi, ia membawa piring ke ruang tamu. Kemudian ia duduk lesehan di lantai. Ia meletakkan piring di atas meja kecil di depannya, lalu bangkit sebentar.
“Hm… kurang lengkap kalau sarapan nggak sambil nonton,” ujarnya sambil berjalan kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya.
Tak lama, Nayla kembali ke ruang tamu. Ia duduk bersila, meletakkan bantal kecil di belakang punggung, lalu menyalakan ponselnya. Dengan cekatan ia membuka aplikasi streaming, matanya berbinar begitu menemukan episode terbaru drakor favoritnya.
“Perfect!” serunya riang, lalu menekan tombol play. Suara opening drakor langsung terdengar, membuatnya tersenyum puas. Sambil menyuapkan tumis kangkung ke mulut, Nayla tampak asyik masuk ke dunia drama Korea, seakan lupa waktu.