Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11. Otewe Halal
Sore itu, halaman rumah mewah milik Ihsan diterangi cahaya jingga senja. Mobil-mobil mahal berjajar di garasi, air mancur di tengah taman berkilau.
Seorang satpam membukakan gerbang ketika seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan wajah penuh ambisi.
Bu Rahayu, dengan baju batik sederhana, membawa tas tangan lusuh namun langkahnya cepat penuh nafsu duniawi.
Ihsan baru saja selesai menerima tamu bisnis, jasnya masih rapi. Ia menatap kedatangan Bu Rahayu dari teras rumah, lalu tersenyum tipis penuh kalkulasi.
“Apa kabar, Bu?” ucapnya singkat, nada suaranya datar.
Bu Rahayu tidak banyak basa-basi, langsung menurunkan suara agar terdengar serius. “Pak Ihsan, saya datang untuk ingetin janji. Katanya kalau Naina jadi istri Bapak, rumah baru, dua mobil, sama uang satu miliar bakal dikasih. Jangan main-main. Saya butuh kepastian sekarang,” ujarnya dengan nada menekan.
Mata Ihsan menyipit, tangannya meremas gelas kopi di meja. “Sabar, Bu. Semua ada waktunya. Janji saya nggak pernah saya tarik. Tapi pernikahan itu harus berjalan dulu. Setelah sah, baru semua yang Ibu minta bisa Ibu dapatkan,” imbuhnya, senyumnya licin.
Bu Rahayu mendengus, meletakkan tas di kursi dengan kasar. “Saya nggak mau ditunda-tunda. Anak saya udah siap. Kalau Bapak main tarik ulur, jangan salahkan saya kalau cerita ini bocor ke orang-orang,” katanya menantang.
Suara pintu mobil terdengar. Rubi baru pulang sekolah, masih dengan seragam putih abu-abu, tasnya disampirkan di pundak. Ia masuk ke ruang tamu, dan mendengar jelas percakapan itu. Wajahnya langsung menegang, langkahnya terhenti.
“Apa-apaan ini… Mama Naina datang nagih rumah dan uang?” batinnya, matanya melebar.
Rubi menatap ayahnya tajam. “Papa jadi benar? Semua ini cuma transaksi? Nikah sama cewek seumuran aku, tapi dibalik itu ada rumah, mobil, uang miliaran?” serunya dengan suara bergetar.
Ihsan menoleh cepat, wajahnya masih dingin tapi jelas terpojok.
“Rubi, jangan salah paham. Papa lakukan semua ini demi keluarga. Naina lebih dari sekadar,” ucapnya tapi terhenti karena sorot mata anaknya membara.
Bu Rahayu justru tersenyum tipis, merasa situasi ada di pihaknya.
“Nah, Rubi. Kamu tahu sendiri kan sekarang. Jangan salahin saya, saya cuma orang tua yang mau masa depan anaknya terjamin,” katanya dengan nada sok bijak.
Rubi mengepalkan tangan, air matanya hampir jatuh. “Papa… ini gila. Aku udah bilang, kalau Papa nikahin dia, aku nggak akan pernah anggap Papa lagi. Dan sekarang aku tahu, semua ini cuma jual-beli anak!” serunya keras, sebelum berlari naik ke kamarnya membanting pintu dengan keras.
Ruangan kembali hening. Ihsan menarik napas panjang, menatap Bu Rahayu dengan tatapan dingin.
“Bagus, Bu. Gara-gara Ibu, anak saya makin benci sama saya. Tapi tenang permainan ini tetap saya yang pegang kendali,” ucapnya datar dengan nada penuh ancaman.
Bu Rahayu hanya terdiam, tapi di sudut bibirnya ada senyum tamak. Ia tak peduli pada drama ayah-anak itu, selama yang dijanjikan akhirnya cair di tangannya.
Ihsan berdiri di dekat jendela besar rumah mewahnya, tangan bersedekap, tatapannya mengarah ke langit senja yang mulai meredup. Suaranya terdengar tenang tapi penuh kuasa.
“Persiapkan Naina. Lusa, Jumat sore, kita akan menikah di Bandung. Jauh dari Jakarta, supaya tidak ada yang curiga dan mengetahui pernikahan kami.”
Bu Rahayu, yang duduk dengan sikap pongah di sofa kulit, langsung mengangkat wajah. Senyumnya sinis, matanya berkilat penuh ambisi. Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya berbisik namun menusuk.
“Baik, Pak Ihsan. Saya pastikan anak saya tidak akan bisa lari. Tapi ingat, begitu ijab qabul selesai, saya ingin kunci rumah, surat kendaraan, dan transfer satu miliar itu segera masuk ke rekening saya. Jangan ada alasan, jangan ada penundaan.”
Ia berhenti sejenak, lalu tertawa kecil tawa penuh kelicikan.
“Anak itu terlalu polos. Dia pikir semua ini demi cintanya, padahal semua ini demi masa depan yang saya atur. Dia akan berterima kasih suatu hari nanti, meskipun caranya menyakitkan.”
Ihsan menoleh, tatapannya dingin menusuk. “Jangan terlalu meremehkan Naina. Gadis itu keras kepala. Kalau sampai ia tahu semua permainan kotor Ibu, ia bisa membalikkan keadaan. Dan kalau itu terjadi jangan salahkan saya bila semua janji batal.”
Bu Rahayu terdiam sejenak, lalu tersenyum licik sambil menggenggam tas tangannya erat.
“Tenang saja, Pak Ihsan. Saya yang melahirkannya, saya yang paling tahu cara membuat Naina tunduk. Dia tidak akan punya pilihan selain menikah dengan Anda. Bagaimanapun, ia hanya bidak dalam papan catur yang saya mainkan.”
Hening sejenak, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Dua orang dewasa itu sama-sama menyimpan rencana sendiri, sama-sama tamak dan sama-sama berbahaya bagi seorang gadis bernama Naina yang sama sekali tak tahu bahwa hidupnya akan segera dikorbankan demi ambisi dan keserakahan orang-orang terdekatnya.
Di halaman sanggar tari, suara musik gamelan yang baru saja berhenti masih terasa samar. Para penari lain keluar sambil bercengkerama.
Naina sudah berganti pakaian, memanggul tas ranselnya, berniat pulang bersama Salsabila seperti biasanya.
Namun sore itu berbeda. Sebuah mobil mewah hitam berhenti tepat di depan gerbang sanggar. Catnya berkilau, kacanya gelap.
Pintu bagian belakang terbuka, dan dari dalam muncul sosok Bu Rahayu dengan gaya elegan yang tidak biasa. Baju kebaya modern yang dipadukan perhiasan mencolok, wajahnya tersenyum penuh kemenangan.
Salsabila spontan terbelalak. “Na… itu ibumu kan? Kok naik mobil mewah gitu? Biasanya kan naik motor atau angkot, ya?” tanyanya dengan nada bingung.
Naina tercekat, jantungnya berdegup keras. Ia berusaha tetap tenang meski dalam hati kacau.
Senyum tipis ia paksa keluar, “Iya, itu Mama. Entah kenapa tiba-tiba jemput. Aneh juga sih.” katanya pelan, seolah menutupi sesuatu.
Bu Rahayu melambaikan tangan dari dalam mobil, suaranya lantang.
“Ayo Naina, cepat masuk! Kita langsung pulang, Mama sudah tunggu dari tadi.”
Salsabila menoleh dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Na, kamu nggak cerita apa-apa ke aku. Kok kaya ada yang disembunyiin?”
Naina menarik napas panjang, lalu menunduk. “Nggak ada apa-apa, Sal. Aku cuma capek aja. Besok cerita deh.” ujarnya cepat mencoba mengalihkan.
Ia melangkah mendekati mobil, membuka pintu, dan duduk di samping ibunya. Dari balik kaca, ia masih bisa melihat tatapan heran Salsabila yang menempel di wajahnya, penuh tanda tanya.
Mobil melaju pelan meninggalkan sanggar. Di dalam, Naina hanya diam, menatap jalanan. Pikirannya sesak. Ia pasrah, memilih bungkam, karena satu hal yang paling ditakutkan adalah bila rahasia pernikahannya dengan Ihsan terbongkar.
Sementara Bu Rahayu tersenyum tipis, jemarinya memainkan cincin besar di tangannya.
“Kamu harus nurut sama Mama, Na. Semua sudah diatur. Jangan coba-coba melawan,” ujarnya dingin.
Naina hanya menggigit bibir, menahan gejolak dalam dada. Dalam hati ia berbisik, Seberapa lama lagi aku bisa sembunyikan semua ini dari Salsabila dan teman-teman sekolah.
Mobil mewah itu tidak berhenti di rumah seperti dugaan Naina. Jalanan semakin jauh meninggalkan Jakarta, melewati tol panjang menuju arah Bandung.
Langit sore merona jingga, tetapi bagi Naina, suasana terasa mencekam.
Naina yang duduk di samping Bu Rahayu menoleh dengan curiga.
“Mama kita kok nggak pulang?” tanyanya pelan, suaranya gemetar.
Bu Rahayu melirik putrinya sekilas, senyum licik tersungging di bibirnya.
“Kita langsung ke Bandung. Di sana sudah ada Pak Ihsan dan beberapa orang yang menunggu kedatangan kita. Semua sudah disiapkan, Na. Kamu tinggal jalani saja.”
Naina tercekat, matanya melebar. “Bandung! Mama serius? Tapi,”
“Tidak ada tapi-tapian!” potong Bu Rahayu cepat nada suaranya penuh kuasa.
“Kamu harus ingat siapa yang membesarkanmu, siapa yang berkorban untukmu. Inilah jalanmu, Naina. Jangan bikin Mama marah. Sekali kamu kabur, bukan hanya hidupmu yang hancur, tapi nama baik keluarga kita juga.”
Sepanjang perjalanan Naina hanya terdiam. Tangannya menggenggam erat rok seragamnya, kepalanya bersandar di kaca mobil.
Dalam hati, ia merutuki dirinya yang begitu lemah hingga tidak bisa melawan.
“Apakah benar aku harus menyerahkan hidupku hanya demi ambisi Mama?”
Ketika mobil akhirnya memasuki kawasan hotel mewah di Bandung, suasana semakin jelas.
Di depan lobi, Ihsan sudah berdiri menunggu dengan jas hitam, wajahnya tenang, penuh percaya diri.
Beberapa orang pria dewasa yang tampak seperti saksi keluarga dan seorang penghulu berpakaian rapi juga hadir.
Begitu pintu mobil terbuka, Ihsan langsung menyambut dengan senyum hangat yang menusuk.
“Selamat datang, Naina. Akhirnya saat yang kita tunggu hampir tiba.”
Bu Rahayu turun lebih dulu, lalu menepuk bahu Ihsan matanya berkilat puas.
“Semua sudah sesuai rencana, Pak Ihsan. Tinggal satu langkah lagi dan gadis ini resmi jadi istri Anda.”
Naina hanya bisa berdiri terpaku di depan hotel megah itu, tubuhnya kaku, wajahnya pucat. Dalam benaknya, ia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri.
“Apakah aku benar-benar bisa kabur dari semua ini, atau harus menyerah pada takdir yang Mama tentukan?”
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺