Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Keras Kepala Dan Egois.
Gyan dan ayah Dirga kini tengah berada dalam perjalanan menuju sebuah hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan, untuk bertemu dengan klien.
Kemarin, Cia mengeluhkan sikap keras kepala Gyan pada ayah Dirga. Sehingga hari ini, pria paruh baya itu mengajak sang putra untuk bertemu dengan klien.
Ayah Dirga ingin menguji mental sang putra, sebelum pemuda itu benar - benar bisa menjadi pemimpin nantinya.
“Apa kamu tidak memiliki kekasih, Gy?” Tanya ayah Dirga pada Gyan yang sedang fokus mengemudikan mobilnya.
Sementara ayah Dirga duduk di samping kiri pemuda itu.
“Bukannya ayah belum mau menjadi seorang kakek?” Gyan berbalik melempar tanya.
“Memiliki kekasih, bukan berarti harus menikah dalam waktu dekat ini, ‘kan?”
Ayah Dirga berbicara dengan Gyan. Namun pria paruh baya itu sibuk berbalas pesan dengan ibu Gista.
Entah keresahan apa yang melanda sang istri? Sehingga wanita yang berusia tiga belas tahun lebih muda darinya itu, memaksa ayah Dirga untuk mencari tau. Apa putra sulung mereka sudah memiliki kekasih atau belum?
Padahal sebelumnya, ibu Gista juga enggan membahas tentang asmara putra - putra mereka.
“Aku belum memiliki kekasih, Yah.” Ucap Gyan pelan.
Namun sang ayah tidak merasa puas dengan jawaban putra sulungnya itu.
“Belum dua? Tetapi satu punya ‘kan?” Gurau pria paruh baya itu.
Terdengar helaan nafas kasar dari bibir Gyan.
“Tidak sama sekali, Yah. Ayah tau aku tidak mudah dekat dengan orang baru.” Tukas pemuda berusia dua puluh lima tahun itu.
Kini giliran ayah Dirga yang menghela nafas kasar. Ia sangat menyadari jika Gyan susah untuk membuka diri.
Terkadang, ayah Dirga ingin menyalahkan sang istri. Karena dulu wanita itu mengurung Gyan di Yogyakarta tanpa bergaul dengan orang luar.
Namun, semua itu bukan salah ibu Gista sepenuhnya. Ayah Dirgalah penyebab sang istri pergi waktu itu.
“Apa perlu ayah yang turun tangan?” Tanya ayah Dirga kemudian.
Gyan tidak langsung menjawab. Ia melirik sang ayah sekilas.
‘Apa ayah bisa membuat aku menikah dengan Cia? Tentu tidak ‘kan?’
“Aku baru berusia dua puluh lima tahun, Yah. Ayah saja menikah dengan ibu saat sudah berusia tiga puluh lima. Jadi, aku masih punya waktu yang cukup lama untuk mencari jodoh yang tepat. Setidaknya, aku tidak mengalami kegagalan yang pernah ayah rasakan.” Ucap Gyan panjang lebar.
Ayah Dirga berdecak pelan. Diantara kelima muda - mudi keluarga Wijaya, Gyan dan Cia sudah mengetahui jika dirinya pernah mengalami kegagalan berumah tangga sebelum bersama ibu Gista.
“Ayah berharap kalian tidak pernah mengalami kegagalan yang pernah ayah rasakan. Kalau perlu, tiru papi Rich mu. Seumur hidup hanya dengan satu wanita.” Ayah Dirga terkekeh di akhir kalimatnya.
‘Gyan belum memiliki kekasih, sayang.’
Tangan pria paruh baya itu dengan cepat mengirim sebaris kalimat kepada sang istri yang sedang berada di kafenya.
“Karena itu aku sedang memilih yang terbaik, Yah.”
\~\~\~
Pukul lima lewat dua puluh menit, Gyan dan ayah Dirga baru kembali ke gedung Wijaya Group.
Setelah memastikan sang ayah masuk ke dalam lift khusus ke lantai dua puluh, Gyan pun melangkah menuju lift lain.
Lantai lima belas — tempat Departemen Keuangan berada, menjadi tujuan pemuda itu.
Ia harus bertemu dengan Cia. Seharian ini, gadis itu telah mengacuhkan Gyan. Bahkan menolak berangkat ke kantor bersama.
Pemuda itu harus menguraikan benang kusut diantara mereka.
Cia mengatakan jika ia masih berada di kubikelnya. Saat Gyan menanyakan lewat pesan singkat tadi.
Gyan melangkah tegas keluar dari dalam lift. Masih ada beberapa orang yang duduk di kubikelnya. Namun, pemuda itu tak mendapati Cia disana.
Gyan pun bertanya pada salah seorang wanita disana.
“Maaf, apa anda melihat Cia?” Tanya pemuda itu dengan sopan.
Wanita dewasa itu tertegun sejenak, menatap Gyan tak percaya. Calon Direktur Utama sedang berbicara dengannya.
“Pak Gyan, itu Bu Cia sedang di ruangan pak Bima.” Jawabnya kemudian.
Dahi Gyan berkerut halus. Perlahan memutar tubuhnya untuk mencari keberadaan ruangan kepala Devisi Keuangan.
Ia mendapati sebuah ruangan dengan dinding kaca. Terlihat Cia di dalam sana. Duduk berseberangan dengan pak Bima.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan? Hingga membuat Cia tertawa begitu lebar.
Gyan pun melangkah maju, menuju ruangan pak Bima. Namun, baru hendak melayangkan tangan ke udara, pintu yang terbuat dari kaca tebal itu pun terbuka.
“Gyan.” Cia tertegun di ambang pintu ketika mendapati Gyan menatapnya dengan tatapan yang tak bersahabat.
“Sudah selesai?” Tanya pemuda itu. Ia mencuri lirik ke dalam, dan mendapati pak Bima sedang menatap mereka.
“Sudah. Aku akan mengemasi mejaku dulu. Kamu bisa menunggu sebentar.” Ucap Cia sembari melangkah meninggalkan ruangan pak Bima.
Gyan mengekori gadis itu. Menunggu beberapa menit, hingga mereka pun kembali masuk ke dalam lift.
“Kita ke ruanganku sebentar.” Ucap Gyan sembari menekan tombol angka sembilan belas pada dinding lift.
Cia hanya mengangguk patuh. Meski tadi pagi ia tidak mau berangkat dengan Gyan, namun gadis itu juga tidak membawa mobil sendiri. Ia memilih menumpang dengan sang papi.
Gyan terlalu memanjakan gadis itu selama ini. Membuat Cia menjadi malas untuk menyetir sendiri.
“Duduk.” Perintah Gyan pada Cia, saat mereka sudah tiba di ruangan pemuda itu.
Gyan menarik kursi di seberang meja kerjanya untuk Cia.
Gadis itu menghela nafas pelan. Kemudian menurut begitu saja.
Gyan menatap Cia dengan tatapan sendu. Kemudian menempati kursi lain, yang bersebelahan dengan gadis itu.
“Aku minta maaf sama kamu, Cia.” Ucap pemuda itu dengan serius.
“Maaf untuk apa?” Tanya Cia dengan santai.
“Cia, please. Kamu mengacuhkan aku sejak pagi. Aku tau kamu marah sama aku. Aku minta maaf.” Ucap Gyan dengan memelas. Ia meraih tangan Cia. Dan menggenggamnya dengan lembut.
“Sudah tau salah kamu dimana?” Tanya gadis itu kemudian.
Kepala Gyan mengangguk pelan. “Aku terlalu keras kepala dan egois.”
“Apa kamu mau memperbaiki diri?”
“Tentu.” Ucap Gyan dengan bersungguh - sungguh.
“Asal kamu tidak marah lagi sama aku. Aku akan belajar untuk memperbaiki diri.” Imbuh pemuda itu.
Namun kepala Cia menggeleng pelan.
“Bukan untuk aku, Gy. Tetapi untuk kamu kedepannya.” Cia menarik tangannya dari genggaman pemuda itu.
Gyan menghela nafas kasar. “Iya. Aku janji.”
“Baguslah.” Cia memutar kursi yang ia tempati.
Ia mengamati meja kerja Gyan. Ada figura kecil di sudut kanan. Dan itu, adalah foto dirinya dan Gyan saat lulus SMA.
“Kamu dekat dengan pak Bima?” Tanya Gyan kemudian.
Tangan Cia yang hendak meraih figura itu pun menggantung di udara.
“Apa maksud kamu? Dekat seperti apa?” Tanya gadis itu tak mengerti.
“Aku lihat kalian bicara sampai tertawa bersama.”
Cia mencebik pelan.
“Tidak ada salahnya ‘kan aku memiliki teman?”
“Tapi bukan pak Bima juga ‘kan?”
Mulai lagi! Padahal mereka baru saja berbaikan.
...****************...